PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh:
Maizul Imran, S.HI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pemilihan Umum. sebagian dari kaum
muslimin, menganggap ini hanya sekedar kegiatan politik saja, meskipun kita
mengikutinya pasti keadaan akan tetap saja tidak ada perubahan, karena begitu
banyak para politisi yang mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Tetapi
disisi lain, ada juga sebagian dari mereka enggan mengikuti pemilu dikarenakan
demokrasi dengan segala perangkatnya adalah suatu sistem politik modern dari
Barat – yang nota bene orang kafir – yang mana ini adalah suatu bentuk
tasyabbuh, kesyirikan. Sehingga dengan demikan merekapun mengharamkannya, tanpa
melihat sejarah, latar belakang dan fakta
di negara Republik Indonesia dimana
orang-orang diluar Islam terutama Kristen, selalu berusaha untuk
“menghabisi” setiap sendi kehidupan umat Islam melalui Parlemen. Bahkan saat
ini mereka sedang menyusun, bahkan bukan
tidak mungkin telah melaksanakan, suatu proyek untuk menjadikan Presiden Negara
Republik Indonesia dari orang kristen.
Dari sinilah kita mencoba untuk menganalisa
pembahasan ini menjadi beberapa bagian pertama : pengertian pemilu ditinjau
dari sudut ilmu politik; bagian kedua : sistem pengangkatan khalifah pemimpin
dalam Islam; bagian ketiga : hukum pemilu dari tinjauan dalil dan pendapat
ulama; bagian keempat : kesimpulan.
BAB II
PEMILU
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A.
Definisi
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat[1]
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945[2].
B.
Sistem Pemilihan Umum dalam ilmu politik
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum,
akan tetapi umunya berkisar pada 2 prinsip pokok, yaitu :
a.
single-member constituency (satu daerah memilih atau wakil; biasanya disebut SistemDistrik).
Sistem yang mendasarkan pada kesatuan geografis. Jadi setiap kesatuan geografis
(yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai
satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.
Sistem ini
mempunyai beberapakelemahan,diantaranya :
a.
Kurang memperhitungkan
adanya partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar
dalam beberapa distrik.
b.
Kurang
representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan
suara-suara yang telah mendukungnya.
Disamping itu sistem
ini juga mempunyai kelebihan, antara lain :
a.
Wakil yang
terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan
penduduk distrik lebih erat.
b.
Lebih
mendorong kearah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan
dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Mendorong partai-partai untuk
menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama.
c.
Berkurangnya
partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai yang mempermudah
terbentuknya pemerintah yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional
d.
Sederhana
dan mudah untuk diselenggarakan
b.
multi-member constituency (satu
daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Proportional
Representation atau SistemPerwakilanBerimbang).
Gagasan pokok dari sistem ini adalah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh
sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang
diperolehnya.
Sistem ini ada
beberapa kelemahan :
i.
Mempermudah
fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru
ii.
Wakil yang
terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan
loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya
iii.
Mempersukar
terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri
atas koalisi dari dua-partai atau lebih.
Disamping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan
besar, yaitu bahwa dia bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara
turut diperhitungkan dan praktis tidak
ada suara yang hilang.[3]
Di Indonesia pada
pemilu kali ini, tidak memakai salah satu dari kedua macam sistem pemilihan
diatas, tetapi merupakan kombinasi dari keduanya.
Hal ini terlihat pada satu sisi menggunakan sistem distrik, antara lain
pada Bab VII pasal 65 tentang tata
cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana
setiap partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang- kurangnya 30%[4].
Disamping itu
juga menggunakan sistem berimbang, hal ini terdapat pada Bab V pasal 49 tentang
Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota dimana :
Jumlah kursi
anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah
penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan :
a.
Provinsi dengan jumlah
penduduk sampai dengan 1000.000 (satu juta) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;
b.
Provinsi dengan julam
penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta)
jiwa mendapat 45 (lima
puluh lima)
kursi;
c.
Provinsi dengan jumlah
penduduk 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta)
jiwa mendapat 55 (lima
puluh lima)
kursi;
d.
Provinsi dengan jumlah
penduduk 5.000.000 (lima
juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;
e.
Provinsi dengan jumlah
penduduk 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa
mendapat 75 (tujuh puluh lima) kursi;
f.
Provinsi dengan jumlah
penduduk 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta)
jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima)
kursi;
g.
Provinsi dengan jumlah
penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 100 (seratus)
kursi.[5]
C.Hukum Pemilu Menurut Para Ulama
1. Tinjauan
ulama tentang Pemilu dari segi DalilNash.
Berdasarkan firman Allah
surah an-Nisa :59
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلاً (النساء:59)
“Hai orang-orang yang
beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri
di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembali
kanlah kepada Allah dan Rasul jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat.
Yang demikian itu adalah yang lebih baik dan sebaik baiknya penyelesaian.” (QS.An-Nisa:59)
Dan berdasarkan hadits
Rasulullah:
“…tidak halal bagi
tiga orang yang berada di suatu daerah kecuali mereka mengangkat salah seorang
dari mereka menjadi amir (pemimpin), dan tidak halal bagi tiga orang yang
berada di suatu tempat berbisik dua orang tanpa dengan kawan yang satunya.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Amr)
Berdasarkan dalil
diatas begitu jelas bahwa mu’min diperintahkan agar taat kepada Allah SWT, taat
kepada Rasul, dan kepada ulil amri minkum (pemimpin diantara mu’minin). Tiga
orang saja harus mengangkat ulil amri (pemimpin) apalagi kaum muslimin yang
berjumlah 1,6miliar dimuka bumi ini. Abu Hasan Al-Mawardi
mendefinisikan ulil amri/ imaamah (kepemimpinan umat islam)sebagai “kedudukan
yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangkamemelihara agama dan
mengatur dunia” .Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata “didalamnya
mengandung petunjuk tentang keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (islam)
yang akan mengatur urusan mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta
melindungi orang-orang yang teraniaya” . Ketika Allah memerintahkan untuk
mentaati ulil amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian
menurut Taqiyuddin An-Nabhani. Para ulama (Asy Syaikh Muhammad
Al-Khudri, Al-Jurjani, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun) mengomentari kewajiban
menegakkan khilafah (sistem kepemimpinan umat Islam) sebagai sesuatu yang sangat
prinsip dalam dinul Islam. Oleh karena itu muslimin yang tidak memiliki Imam
atau Khalifah, maka mereka semuanya menanggung dosa. Karena mereka telah
melalaikan satu kewajiban, yaitu fardlu kifayah yang menjadi tanggung jawab
mereka bersama untuk melaksanakannya.[6]
Yusuf
Al-Qardhawi[7] dalam “Mandzumah Al-Yanharah” menyebutkan “Kewajiban
mengangkat imam/khalifah/ulil amri yang adil adalah ketentuan syara bukan
ketetapan akal (ro’yu)”. Pengangkatan ulil amri adalah ketentuan syara’
yang diatur menurut Allah dan RasulNya (termasuk dalam lingkup ibadah bukan
masalah duniawi/ teknis) bukan dengan ra’yu (hasil pemikiran manusia). Sehingga
dalam mengangkat ulil amri harus memperhatikan apa yang diperintahkan Allah dan
yang dicontohkan rasul dan para shahabat yang mendapat petunjuk. “Maka
hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan sunnah khalafaur rasyiddin
al mahdiyin (yang lurus dan mendapat petunjuk) ” [HR. Ahmad, Abu
Dawud]. Bila dalam menjawab tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah
RasulNya, carilah sunnah khulafaur rasyiddin al mahdiyyin. Jika tidak ada juga,
dengan izin Allah, lakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran,
pancaindera, dan hati nurani yang dikaruniakan Allah dan dengan bimbingan wahyu
Allah pula. Demikianlah cara dalam menghadapi dan menjawab berbagai persoalan
agar lengkaplah pengakuan kita, bahwa shalat, ibadah, hidup, dan mati hanyalah
untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Hindari cara-cara yang tidak terpimpin wahyu
Allah, yaitu mengutamakan ro’yu dan hawa nafsu lalu mencari dalil untuk
menguatkan hasil pemikiran tersebut. Cara ini disamping jauh dari tawadlu, juga
mendahului Allah dan RasulNya, padahal siksa Allah itu sangat pedih.
Ketahuilah, yang
pertama kali menggunakan ra’yu ‘berfilsafat’dalam menerima wahyu ‘perintah”
Allah ialah Iblis laknatullah. Ketika diperintah untuk sujud kepada Adam, Iblis
berkata “Saya lebih mulia daripada adam karena saya diciptakan dari api,
sedangkan Adam dari debu/ tanah”. [QS. 7:11-16, 17:61-65, 38:71-85].
Ia berfikir untuk menolak, bukan berpikir untuk ta’at.
Proses pengangkatan
ulil amri di masa khalafaur rasyiddin, Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar Bin
Al-Khatab, Utsman Bin Affan, dan Ali Bin Abi Thalib, karena merekalah yang
mendapat petunjuk. Secara umum pengangkatan kepemimpinan dalam Islam adalah
dengan bai’at. Bai’at menurut bahasa adalah “janji” (Muhithul
Muhith:I/64). Adapun menurut istilah adalah “Mengikat janji atas
sesuatu seraya berjabatan tangan sebagai tanda kesempurnaan perjanjian tersebut
dan keikhla sannya. Bai’at pada periode pertama Islam yang ketika itu mereka
membai’at khalifah dengan memegang tangan orang yang mereka serahi
kekhilafahan, sebagai tanda penerimaan mereka kepadanya dan sebagai janji untuk
mentaatinya dan menerima kepemimpinannya.”.
Pertanyaan pertama,
siapakah ulil amri minkum? Banyak diantara muslimin mengartikan bahwa ulil amri
minkum adalah pemerintahan (baik berbentuk Negara atau kerajaan). Jika
dicermati, yang diperintahkan untuk ta’at kepada Allah, ta’at kepada Rasul, dan
ulil amri minkum adalah mu’minin (orang-orang yang beriman) bukan minhum
(diantara kalian manusia seluruhnya baik yang beriman ataupun yang tidak).
Berarti yang dimaksud dengan ulil amri minkum adalah ulil amri/ khalifah yang
dalam mengatur urusan ummat berdasarkan wahyu yang benar-benar ta’at kepada
Allah dan ta’at kepada RasulNya.
Pertanyaan kedua,
ulil amri untuk siapa? Ulil amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam
(seluruh kaum muslimin), tidak terbatas dengan batasan teritorial
Begitulah kenyataannya ketika Rasul dan Para shahabat menegakkan dinul Islam di
muka bumi ini. Jika terbatasi denganbatas teritorial berarti telah
menyempitkan bahwa Islam Rahmatan Lil Alamin. Apakah batas territorial (Negara)
merupakan wahyu dan sunnah. Bisa dicermati dari mana datangnya konsep Negara,
yaitu berasal dari para pemikir (filosof) Yunani (Socrates, Plato, dan
Aristoteles). Jadi saat ini kita dihadapkan pemilu dalam rangka mengangkat ulil
amri di suatu batas territorial (Negara) bukan untuk seluruh kaum muslimin.
Bukankah pengangkatan pemimpin disuatu tempat dilakukan atas perintah khalifah
(pemimpin untuk seluruh kaum muslimin dipenjuru dunia). Jadi apakah tidak
terbalik apa yang sekarang kita lakukan dalam pemilu ini. Cermatilah hadits
berikut
(66) إِذَا
بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
(66) “Apabila
dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya.
(yaitu yang terakhir).” (HR. Muslim
dari Abi Sa’id Al Khudri, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/137)
Jika disetiap Negara
mengangkat seorang pemimpin, tentu mereka harus saling membunuh, karena mereka
diangkat dalam satu masa yang sama. Bukankah hal ini merupakan kekonyolan yang
dilakukan kaum muslimin saat ini. Menyalahi Allah dan RasulNya tetapi tidak
menyadarinya.
Pertanyaan ketiga,
sistem apakah yang digunakan dalam pengangkatan ulil amri? Demokrasi adalah
hasil buah pikir filsof yunani, yaitu hukum/pemerintahan dari rakyat untuk
rakyat, yaitu rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan. Yang pertama sekali
menggunakan istilah demokrasi ini adalah Plato. Demikian pengertian demokrasi
yang du bawakan oleh Abdul Ghani ar Rahhal dalam buku Al Islamiyyun wa
SarabDekratiyah, dan juga buku Muhammad Quthb dalam buku Mazdzdahib Fikriyh
Mi’ashirah dan pengarang-pengarang lainnya. Demokrasi tidak identik dengan
musyawarah dalam Islam. Dan keduanya tidak akan bertemu, dengan alasan-alasan
sebagai berikut:
- Pencipta demokrasi adalah Yahudi, sedangkan musyawarah dalam Islam yang mensyariatkan adalah Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Maka patutkan aku mencari hakim selain dari pada Allah.” (Al-an’aam 114)
- Musyawarah besar dalam islam berkaitan dengan ummat hanya diikuti oleh ahlul halli wal `aqdi (yaitu para ulama), orang-orang shalih lagi ikhlas. Adapun demokrasi diikuti oleh segala lapisan dan golongan termasuk di dalamnya orang kafir, penjahat, orang jahil, pria maupun wanita.
- Musyawarah dalam Islam hanya pada beberapa permasalahan yang belum ada hukum Allah dan Rasul-Nya didalamnya, Adapun demokrasi meletakkan asas-asas untuk menentang dan mengenyampingkan hukum-hukum Allah.
- musyawarah dalam Islam bukan merupakan kewajiban dalam tiap waktu. Akan tetapi kebutuhan masyarakat ini tergantung kepada situasi dan kondisi, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang bermusyawarah dengan para sahabat di beberapa peperangan dan terkadang tidak bermusyawarah. Adapun demokrasi adalah wajib bagi penganutnya, tidak boleh menyusun, meletakkan dan melaksanakan sesuatu kecuali setelah melalui proses demokrasi.
- Demokrasi menolak mentah-mentah syariat Islam dengan tuduhan tidak mampu memecahkan problem-problem yang tidak layak diterapkan di abad ini. Adapun musyawarah justru ditetapkan sesuai dengan syariat Islam.
- Musyawarah dalam Islam lahir seiring dengan datangnya Islam sedangkan system demokrasi lahir abad 18 atau 19. Maka apakah bisa dikatakan bahwa Rasulullah itu seorang Demokrat? Jawabnya adalah tidak sama sekali.
- Demokrasi adalah hukum dari rakyat untuk rakyat, sedangkan dalam musyawarah tidak ada penciptaan hukum baru, akan tetapi bentuknya adalah tolong menolong dalam memahami al Haq dan melaksanakannya.
Pemilihan ulil amri
atau pemimpin dalam demokrasi yaitu dengan pemilihan dengan suara terbanyak.
Jadi siapapun pemimpin yang terpilih adalah yang mendapatkan suara terbanyak
dan tidak perlu memandang ta’at atau tidaknya terhadap wahyu Allah.
Inilah salah satu pemikiran bani Israel (Zionist) bahwa “suara terbanyak adalah
suara Tuhan”. Bukankah dalam Islam diperintahkan bermusyawarah dan keputusan
diambil/ ditentukan berdasarkan Qur’an dan Sunnah, walaupun sedikit orang yang
sepakat asal berdasarkan wahyu, maka hanya ada satu kata “sami’na wa atha’na!”
. Demikian beberapa hal yang membedakan antara demokrasi dengan musyawarah
dalam Islam, oleh karena itu tidak boleh bagi seorang Muslim untuk memberi
musyawarah dalam Islam dengan label demokrasi.
Perhatikan Firman Allah:
أَلَمْتَرَإِلَىالَّذِينَيَزْعُمُونَأَنَّهُمْآمَنُوابِمَاأُنْزِلَإِلَيْكَوَمَاأُنْزِلَمِنْقَبْلِكَيُرِيدُونَأَنْيَتَحَاكَمُواإِلَىالطَّاغُوتِوَقَدْأُمِرُواأَنْيَكْفُرُوابِهِوَيُرِيدُالشَّيْطَانُأَنْيُضِلَّهُمْضَلالابَعِيدًا
(٦٠)
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan
kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim
kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan
syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”[An-Nisaa:60].
Perhatikan ketika
shahabat Umar Bin Khatab membawa shuhuf (lembaran) Taurat, Rasul begitu marah
terlihat dari wajahnya dan bersabda “ Aku telah membawa kertas yang putih
bersih, dan seandainya Musa hidup dizamanku tentu mereka akan mengikuti apa
(din/syariat) yang aku bawa ini”. Begitu pula shahabat Yahya Bin Ju’da yang
membawa kitab injil, maka rasul bersabda, “cukuplah bagi suatu kaum
kesesatannya bahwasanya ia membenci apa yang telah didatangkan kepada mereka
sendiri dari apa-apa yang diberikan kepada seorang nabi daripada nabi mereka
sendiri”.
Banyak muslimin yang
mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada Rasul Muhammad,
tetapi mereka menginginkan dihukumi dengan hukum thaghut (hukum buatan manusia
dengan ra’yu mereka sendiri). Padahal Allah telah memerintahkan menjauhi dan
mengingkarinya. Bukankah Taurat dan Injil dan kitab-kitab sebelumnya harus kita
yakini sebagai firman Allah. Tetapi dimansukh (dihapuskan) ketika Al-Qur’an
diturunkan kepada Muhammad, karena merupakan penyempurna dari seluruh kitab
yang telah diturunkan sebelumnya. Tapi lihat betapa ingkar dan kufurnya umat
hari ini, mereka mengesampingkan wahyu dan mendahulukan ra’yu ketetapan hukum
thoghut yaitu demokrasi, yang bukan wahyu sama sekali.
Pusaka dari Rasul
yaitu Al-Qur’an dan Sunnah-lah yang dapat menyelamatkan kita dari kesesatan
hidup di dunia ini. Betapa dahsyat kesesatan dan kemusyrikan umat saat ini,
sehingga hilang responsibilitas diri mereka terhadap wahyu. Sulit menentukan
mana yang haq dan mana yang bathil. Hal tersebut karena mereka enggan berilmu
(Islam) dan meninggalkan pusaka RasulNya. Benarlah atsar Umar Bin Al-Khatab,
“Berhati-hatilah terhadap kaum rasionalis, mereka adalah penentang sunnah.
Mereka enggan mempelajari hadits sehingga melirik kepada rasio/ ro’yu dan
mendahulukannya. Mereka sesat lagi menyesatkan”. Bukankah hal ini adalah bid’ah
yang dilakukan, membuat tata cara peribadatan baru dalam pengangkatan
kepemimpinan Islam yang telah ditetapkan syara’. Sementara begitu jelasnya bagi
kita umat Muhammad, bahwa bid’ah adalah sesat dan sesat tempatnya adalah
neraka.
2.
Tinjauan Ulama tentang Pemilu dari
segi Mashlahat dan Mudharat.
Sebelum kita
mengetahui hukum pemilu dalam syariat Islam, ada baiknya kita melihat pandangan
para Ulama terhadap pemilu. Dalam hal ini, ada tiga pandangan :
1.
Melarang
secara mutlak. Seperti Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh Muhammad bin Hadi, Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab Al-Aqil, Syaikh Muqbil bin Hadi dan muridnya Syaikh Muhammad bin Abdullah
Al-Imam.
2.
Membolehkan
memilih jika menghadapi bahaya yang lebih besar, yaitu
berkuasanya musuh-musuh Islam dengan memilih partai yang paling ringan
bahayanya bagi kaum muslimin. Seperti Syaikh
Al-Muhaddits Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, SyaikhMuhammadbinShalihAl-Utsaimin,
Syaikh Abdul MuhsinAl-Abbad dan lain-lain.
3.
Membolehkan memilih jika
diperintahkan oleh penguasa. Tentunya dengan memilih yang paling ringan
bahayanya bagi kaum muslimin. Keterangan Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili.[8]
4.
Membolehkan mengikuti pemilu
dengan alasan :
a.
Hal itu sudah pernah
dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara sederhana dan keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)
b.
Bolehnya mengambil sistem
lain (selain sistem Islam) selama tidak berlawanan dengan Islam
c.
Pemilu sebagai sarana
penegakan hukum dan jaminan dalam pelaksanaan hukum
d.
Pemilu sebagai sarana untuk
mengubah kemungkaran yang bersifat global
e.
Pemilu sebagai perkara yang
perlu pembuktian dalil (istidlal)dan
tidak sekedar perkara yang jelas dan dapat dipahami oleh umum (badihiyat)
f.
Pemilu sebagai sarana
memelihara Adh-dharuriyat Al-Khamsah (PokokTujuanSyariah yang lima).
g.
Hal itu telah diisyaratkan
dalam Al-Qur’an dalam kisahnya Nabi Yusuf AS.
Yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Abdul
Karim Zaidan (Pakar Fiqh, Ushul Fiqh dari Irak), Syaikh Abdul Majid Az-Zindani
(Pakar Siyasah Islamiyah dan Rektor Universitas Al-Iman Shan’a Yaman) dan
Syaikh Al Faqih Muhammad Yusuf Harbah (Salah seorang murid Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz).
5.
Membolehkan mengikuti pemilu
dan parlemen dengan syarat dengan pemahaman yang benar, menginginkan tegaknya
Al-Haq, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan tidak semata-mata ambisi pribadi. Seperti
pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz dan Syaikh Al Muhaddits Ahmad Muhammad Syakir (AhliHadits
sebelum SyaikhAl-Albani).[9]
Dari sini secara
sekilas dapat dipetakan ada tiga pendapat :pertama : ada ulama yang melarang secara
mutlak, kedua : membolehkan
secara mutlak , ketiga : membolehkan
tetapi dengan syarat-syarat yang ada karena adanya suatu hal-hal yang menuntut
dilaksanakannya pemilihan umum.
A.
Pendapat Pertama :
mereka melarang secara mutlak mengikuti pemilu karena dilihat dari 2 sisi : pertama dari substansi pemilu itu sendiri, kedua akibat-akibat dari pelaksanaan
pemilu
1.
Dari substansi pemilu.
a.
Syirik kepada Allah
b.
Menuhankan mayoritas manusia
c.
Menuduh syariat tidak
lengkap
d.
Meremehkan masalah Al-Wala’
wal Bara’
e.
Tunduk kepada Undang-undang
sekuler
f.
Mengelabui kaum muslimin
g.
Memberi label syar’i
terhadap demokrasi
h.
Membantu orang-orang Yahudi
dan Nasrani
i.
Menyelisihi cara Rasul didalam menghadapi musuh
j.
Pemilu merupakan sarana yang
diharamkan.
2.
Dari akibat-akibat yang
ditimbulkan dari pemilu :
a.
memecah belah persatuan kaum
muslimin dan ukhuwah islamiyah
b.
fanatisme dan membela
golongan atau partai
c.
memberi rekomendasi menurut
kepentingan partai
d.
calon pejabat mencari
keridhaan rakyat/massa kadang dengan kepalsuan dan kelicikan
e.
menyia-nyiakan waktu, harta
dan kerja dengan slogan, janji kosong dan koalisi semu
f.
mementingkan kuantitas dan
kursi dan tidak peduli dengan kualitas dan aqidah
g.
calon pejabat terfitnah oleh
harta
h.
menerima calon tanpa syarat,
keadilan dan ilmu yang syar’i khususnya mengabaikan aqidah dan mengangkat
perempuan menjadi penguasa
i.
menyalahgunakan nash-nash
syar’i dengan menamakan sesuatu dengan cara
yang salah
j.
tidak mengikuti rambu-rambu
syar’i dalam memberi kesaksian
k.
menghadiri tempat kedustaan
dan bekerja sama dalam dosa dan permusuhan
l.
prinsip persamaan yang tidak
syar’i
m.
fitnah gambar dan wanita
n.
memberikan peluang dan loyal
kepada minoritas Yahudi dan Nashrani serta lainnya untuk bisa mencapai puncak
kekuasaan
o.
mempersulit manusia dalam
pekerjaan dan rizki mereka
p.
pemecatan penguasa setelah
berlalunya masa yang ditetapkan oleh UU[10]
B.
Pendapat
kedua : mereka membolehkan secara mutlak, karena :
1.
Hal itu sudah pernah
dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara sederhana[11] dan
keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)[12]
2.
Bolehnya mengambil sistem
lain (selain sistem Islam) selama tidak berlawanan dengan Islam
4.
Pemilu sebagai sarana untuk
mengubah kemungkaran yang bersifat global[15]
5.
Pemilu sebagai perkara yang
perlu pembuktian dalil (istidlal)dan
tidak sekedar perkara yang jelas dan dapat dipahami oleh umum (badihiyat)[16]
6.
Pemilu sebagai sarana
memelihara Adh-dharuriyat Al-Khamsah (PokokTujuanSyariah yang lima).[17]
7.
Hal itu telah diisyaratkan
dalam Al-Qur’an dalam kisahnya Nabi YusufAS.[18]
C.
Pendapat
ketiga : mereka membolehkan mengikuti pemilihan umum, tetapi dengan
syarat-syarat tertentu, antara lain:
1.
Membolehkan memilih jika
menghadapi bahaya yang lebih besar, yaitu berkuasanya musuh-musuh Islam dengan
memilih partai yang paling ringan bahayanya bagi kaum muslimin
2.
Membolehkan memilih jika
diperintahkan oleh penguasa.
3.
Membolehkan mengikuti pemilu
dan parlemen dengan syarat dengan pemahaman yang benar, menginginkan tegaknya
Al-Haq, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan tidak semata-mata ambisi pribadi.
Kajian Ulama kontemporer
tentang Pemilu[19]
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung
demokrasi seraya berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk
diktatorisme dan pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf
al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar terhadapnya.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan:
"Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya
adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di
dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan
legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis.
Pemilihan ini hanya bisa ditempuh
melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah
yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai
politik atau non-partai."Kekuasaan yang terpilih" inilah yang akan
memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai
kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau "pemerintah",
menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan
demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan.
Dengan kekuasaan yang terpilih,
maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat
menjadi sumber kekuasaan.Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat
diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan
secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal
negatif yang terdapat padanya.
Saya katakan "secara garis
besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap
beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Kekuasaan terpilih itu tidak
memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta'ala.
Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mem¬punyai kekuasaan
menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah .
Manusia hanya boleh membuat hukum
untuk diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta'ala saja. Artinya,
hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu
nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih
salah satu makna dan meng¬gunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah
syari'at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi para
pembuat undang-undang.
Oleh karena itu, harus dikatakan:
"Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas syari'at
Islam." Sebagaimana dalam Majelis Tasyri' (Badan Legislatif) harus ada
komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil
kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai berbagai ketetapan
undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan penyimpangannya
dari syar'iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak mensyaratkan hal
tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa agama negara yang dianut
adalah Islam.
Kemudian, para calon wakil rakyat
juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama dan
akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang
kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari
seorang penjahat atau pemabuk atau suka mening¬galkan shalat atau orang yang
menganggap enteng agama.
Di sana terdapat dua sifat yang
disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu pekerjaan.
Pertama : Mampu mengemban pekerjaan ini dan
mempunyai pengalaman di bidangnya.
Kedua : Amanah. Dengan sifat amanah
inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah
Ta'ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur'an melalui lisan Yusuf as , di mana
dia mengatakan:
"Artinya : Berkata Yusuf, jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga
lagi ber¬pengetahuan. "' [Yusuf : 55]
Juga dalam kisah Musa as, melalui lisan
puteri seorang yang sudah tua renta:
"Artinya : Karena sesungguhnya, orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya. " [Al-Qashash: 26]
Dengan demikian, kekuatan dan ilmu
memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu
pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan
mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi
mengungkapkan: "Anehnya, sebagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu
yang jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata,
sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada
substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan cirinya.
Di antara kaidah yang ditetapkan
oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan (hukum) terhadap sesuatu
merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa menghukumi
sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara
kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang tidak
disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang
memberi keputusan dengan didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di
neraka, sebagaimana orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan
atau menghukumi dengan yang lain.
Lalu apakah demokrasi yang
didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan oleh
banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana ada sebagian
bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan
penguasa tirani, yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan
korban manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan
yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa
diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kuku¬kuku politik
campur tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi
ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang
tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!"
Sesungguhnya substansi demokrasi
-tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada
rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka,
sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau
diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai
hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi
jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada
aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka
kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka
balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan."
Sesungguhnya Islam telah
mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan
substansinya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum
muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka, kepentingan dunia mereka,
serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan juga
pembaharuan keadaan manusia.
Kelebihan demokrasi adalah, bahwa
ia mengarahkan di sela-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan
kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai
sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari
penindasan kaum tirani.
Tidak ada larangan bagi umat
manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara
lain, barang¬kali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan
ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan merealisasikannya ke
dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa hal
dari cara-cara demokrasi guna me-wujudkan keadilan, permusyawaratan,
penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri melawan kesewenangan para
penguasa yang angkuh di muka bumi ini.
Di antara kaidah syari'at yang
ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak sempurna
kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuan-tujuan
syari'at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mempunyai sarana
pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai tujuan
tersebut.
Tidak ada satu syari'at pun yang
melarang penyerapan pemikiran teori atau praktek empiris dari kalangan
non-muslim. Karena, Nabi saw sendiri pada perang Ahzab telah mengambil
pemikiran "penggalian parit", padahal strategi tersebut berasal dari
strategi bangsa Parsi.
Selain itu, Rasulullah saw pernah
juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar "dari orang-orang
yang mampu membaca dan menulis" untuk mengajarkan baca tulis anak-anak
kaum muslim.in, meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu adalah
barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya, maka dia yang paling
berhak atasnya.
Dalam beberapa buku, saya telah
mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran,
strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak
bertentangan dengan nash muhkam (yang jelas) dan tidak juga kaidah syari'at
yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk
selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta
hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan
identitas pertamanya."
Ungkapan seseorang yang
mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya,
harus ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah
semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat diterima.
Bagi para penyeru demokrasi tidak
perlu harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak pernah
terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi
konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak
pemerintahan otoriter terhadap rakyat.
Benar, setiap yang dimaksudkan
dengan demokrasi oleh mereka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai
dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan mereka, serta
menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang undang rakyat,
atau dengan ungkapan Islam: "Jika mereka memerintahkan untuk berbuat
maksiat," dan mereka juga mem-punyai hak untuk menurtmkan penguasa jika
melakukan penyimpangan dan berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau
peringatan. "
Sesungguhnya undang-undang
menetapkan, di samping berpegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah
Islam dan bahwasanya syari'at Islam adalah sumber hukum dan undang-undang, dan
yang demikian itu merupakan penegasan akan kekuasaan Allah atau kekuasaan
syari'at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat tertinggi.
Dimungkinkan juga untuk
menambahkan pada undang-gundang materi yang secara tegas dan lantang
menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan
syari'at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil."
Tidak ada ruang untuk pemberian
suara dalam berbagai hukum pasti dari syari'at dan juga pokok-pokok agama serta
hal¬hal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada
masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah
menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal tersebut, misalnya
pemilihan salah satu calon yang akan menempati suatu jabatan, meskipun itu
jabatan kepala negara, dan seperti juga pengeluaran undang-undang untuk
mengatur lalu lintas jalan raya atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan
atau industri atau rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih
disebut sebagai "mashalihul mursalah." Atau seperti juga
pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan
pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau
tidak, atau mem¬batasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa
pemilihan atau tidak, demikian seterusnya.
Jika banyak pendapat yang berbeda
dalam masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung begitu
saja, apa¬kah ada tarjih tanpa murajjah (yang diunggulkan)? Ataukah harus ada
murajjah?
Sesungguhnya logika akal, syari'at
dan realitas menyatakan harus ada murajjah (yang diunggulkan), dan yang
diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak.
Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu
orang, Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa tarjih (pengunggulan satu
pendapat) itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun
pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh 99 dari
100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari'at
secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak
mengandung perbedaan atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit
sekali. Itulah yang dikatakan: Jama'ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran
meski engkau hanya sendirian.
Sesungguhnya petaka pertama yang
menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan
terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan "Khilafah Rasyidah" menjadi
"kerajaan penindas" yang oleh sebagian sahabat disebut "kekaisaran".
Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari
berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah kepadanya. Padahal semestinya
mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari berbagai kemaksiatan dan
perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya negara mereka.
Apa yang menimpa Islam, umatnya,
serta dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan
pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang wenang terhadap umat manusia
dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emas¬nya, dan tidaklah syari'at
dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke
barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan
ge¬rakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya
dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang
tanpa kedok dan terkadang dengan meng¬gunakan kedok demokrasi palsu yang
diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau
diarahkan dari balik layar."
Di sini saya (Dr. Yusuf
al-Qaradhawi) perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka
menggunakan kata-kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk
mengungkapkan pengertian-pengertian Islam.
Tetapi, jika suatu istilah telah
menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh banyak
orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita
harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita tidak me¬mahaminya
secara keliru, atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak
dikehendaki oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita
terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari
luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak
pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya."
Saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi)
termasuk orang yang menuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang
sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang
mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam,
sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke dalam
penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan."
Berkenaan dengan hal tersebut,
dapat penulis katakan: "Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga
membela demokrasi dalam menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan
tirani yang berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh Dr.Yusuf al-Qaradhawi
dan Jama'ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha
keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan upaya.
Yang lebih baik dilakukan oleh Dr.
Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat
konsep musyawarah Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan
demokrasi ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan
keindahan.
Jika kita menyaring demokrasi ini,
lalu menambahkan bebe¬rapa hal yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi
beberapa hal darinya yang memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita
harus menyebutnya demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura (permusyawaratan)
misalnya.
Dengan demikian, demokrasi Barat
tidak disebut demikian kecuali diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi,
jika diambil dengan melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal
itu secara otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut
lagi sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perum¬pamaannya adalah sama dengan khamr
jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada saat itu tidak
lagi disebut se¬bagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian pula demokrasi.
Jadi, yang harus dilakukan oleh
Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan hukum Islam dengan
menerap¬kan sistem syura (permusyawaratan) yang adil, daripada mengobati suatu
penyakit dengan penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.
BAB III
PENUTUP
Bahwa sistem pemilihan
umum tidak dapat dipisahkan dari latar belakang historis dari masa khalifah
sampai dengan perkembangannya melalui syura.Dan begitu juga sistem
politik barat melalui demokrasi.
Dari berbagai pendapat-pendapat
diatas.untuk memudahkan bagi pendapat-pendapat itu menjadi 3 bagian.
GolonganI :ada ulama yang melarang secara mutlak,
GolonganII : ada ulama yang membolehkan secara mutlak,
GolonganIII : ada ulama yang membolehkan dengan
bersyarat.
Bahwa sebagian besar dari argumen yang
diajukan oleh golongan pertama harus kita akui memang seperti itulah kerusakan
dan keburukan pemilu dan demokrasi, oleh karena itu harus kita perbaiki
terutama bagi partai-partai Islam yang mana dengan cara berpolitik yang baik
dan santun, akan menimbulkan simpati dari umat Islam sehingga diharapakan akan
mempercayakan hak suaranya kepada mereka. Namun disisi lain, ada argumen yang
tidak sependapat dan tidak sepenuhnya sependapat, karena di negara Indonesia
tidaklah seperti apa yang mereka tuduhkan.
Adapun argumen yang diajukan oleh golongan
kedua, maka kami pun tidak sepenuhnya sependapat, mengingat kerusakan dan
keburukan yang telah dijelaskan oleh golongan pertama.Tetapi kaidah-kaidah yang
dipakai oleh golongan kedua sangatlah sesuai.
Yang terakhir, golongan ketiga mengajukan
argumen yang sangat sesuai, baik secara kaidah-kaidah ilmiyah, maupun
relevansinya jika diterapkan di negara Indonesia.
Maka dengan demikian, penulis memilih
dan menguatkan pendapat golongan yang ketiga, yaitu kita dibolehkan mengikuti pemilu dan masuk
menjadi anggota parlemen, jika memilih madharat yang lebih kecil, dan mempunyai
pemahaman yang benar, dengan tujuan untuk menghadang musuh-musuh Islam, dan
berusaha untuk menerapkan hukum syariat Islam.
Dan penulis juga meng apresiari pendapat
ulama kontemporer seperti yusuf qardhawi dalam memberikan pandangan seputar
pemilu melalui jalur demokrasi yang disesuaikan hukum Islam
DAFTARPUSTAKA
1.
AbdulAzisThaba, Islam dan Negara dalam PolitikOrdeBaru,
GIP, 1996
2.
AbdulGaniAbdullah, PengantarKompilasiHukum Islam dalam TataHukumIndonesia, GIP,
1994
3.
Abdul Karim Zaidan, Abdul
Majid Az-Zindany dan Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu
dan Parpol dalam Perspektif Syariah, Syaamil. 2003
4.
Abdul Malik RamadlanAl-Jazairy,
BolehkahBerpolitik? jilid 2, Pustaka Imam Bukhari.
2003
5.
Abdul Malik Ramadlan
Al-Jazairy, PandanganTajam terhadap Politik jilid 1, Pustaka Imam Bukhari.
2002
6.
Abdussalam bin Barjas bin NashirAluAbdulKarim,
SikapPolitikAhlus Sunnah wal Jamaah terhadap Pemerintah, Pustaka
As-Salaf
7.
AbuNashrMuhammad bin ‘Abdillah
al-Imam, MenggugatDemokrasi dan Pemilu; MenyingkapBorok-Borok
Pemilu dan MembantahSyubhatPara
Pemujanya. DarulHadits. 2004
8.
Ali bin Hasan bin Ali bin
Abdul Hamid Al-Halaby Al-Atsary, Tashfiyah
dan Tarbiyah, Pustaka Imam Bukhari. 2002
9.
As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Pustaka Al-Kautsar.
2001
10. Imam al-Mawardi, Hukum Tata
Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, GIP. 2000
11. Jimly Asshiddiqie, Islam dan KedaulatanRakyat,
GIP. 1995
12. KautsarAmru, Teori Politik Islam, makalah pengajian.
2002
13. MiriamBudiardjo, Dasar-dasar IlmuPolitik,
PT Gramedia Pustaka Utama. 1993
14. MuhammadFuadAbdulBaqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan jilid 2, BinaIlmu.
1996
15. Salafy, edisi
khusus/33/1420H/1999M
16. Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah
Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar. 1997
17. SuaraHidayatullah, 03/XIII/Rabiul Awal-RabiulAkhir
1421
18. Undang-Undang Politik, PustakaPergaulan. 2003
19. Al-Mawardi,
Ahkam Suthaniyyah, (Beirut: Dar-Kutub Ilmiyyah)
20. Yusuf
Qardhawi, Mandzumah Al-Yanharah (Damaskus:Maktabah wahhaby)
21. Al-Qaradhawi
Fiil-Miizaan, Penulis Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Edisi Indonesia
Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradhawi Dalam Timbangan, Penerjemah M. AbdulGhoffar,
E.M. Penerbit Pustaka Imam Asy-syafi'i, Cetakan Pertama Dzulqa'dah 1423
H/Januari 2003].
[1] Tentang kedaulatan rakyat – atau kalau boleh dikatakan suatu bentuk
demokrasi, yaitu suatu bentuk pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat –
sebagian orang memandang, itu adalah suatu sistem dari barat, sehingga haram
suatu pemerintahan yang mayoritas penduduknya muslim menggunakannya. Sebenarnya
hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Karena memang ada diantara nilai-nilai
demokrasi yang sama dengan nilai-nilai yang ada di dalam Islam.
[2]Undang-undang Politik 2003, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum, hal 35.
[4]Undang-undang Politik 2003, UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum, hal. 64
[6]Al-Mawardi, Ahkam Suthaniyyah, (Beirut:
Dar-Kutub Ilmiyyah) hal. 105.
[7]Yusuf Qardhawi, Mandzumah Al-Yanharah
(Damaskus:Maktabah wahhaby) hal. 123
[9] Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul Majid
Az-Zindani,dan Syaikh Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu dan Parpol dalam Perpektif Syariah... hal.56
[10] Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah
al-Imam, Menggugat Demokrasi dan Pemilu...hal. 88, Semua argumen dari pendapat
pertama penulis ambil dari kitab ini, karena menurut penulis kitab ini paling
komprehensif dalam memaparkan 45 argumen borok pemilu. Penulis
mengadakan peringkasan disana-sini pada argumen yang hampir sama. Walau
sebenarnya masih ada 2 alasan yang belum dimasukkan, hal ini disebabkan 2
alasan tersebut tidak relevan untuk dipakai sebagai dalil pengharaman pemilu.
Yaitu (1) keluar/memberontak kepada penguasa muslim, (2) tidak mau mendengar
dan taat kepada pemerintah dalam perkara yang baik. Alasan (1) Menurut beliau, demokrasi membolehkan penentang penguasa
muslim dengan 2 cara, yaitu
pemberontakan/kudeta dan pemilihan pemimpin secara langsung. Menurut penulis
ini tidak relevan karena justru demokrasi/pemilu adalah sarana agar tidak
terjadi pemberontakan (2) Menurut
beliau, demokrasi tegak diatas prinsip pembolehan untuk tidak taat terhadap
pemerintah, kecuali bila pemerintah sesuai dengan demokrasi.Sekali lagi menurut
penulis hal ini tidak relevan, karena dalam demokrasi ketika tidak ada yang
tidak disetujui dari kebijakan pemerintah, harus ditempuh dengan
lembaga-lembaga perwakilan/DPR/Parlemen dan lembaga-lembaga peradilan, seperti
Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. Bukan malah pembolehan
untuk tidak taat kepada pemerintah..!
[11] Pendapat Abdul Karim Zaidan
[12] Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindani
[13] Pendapat Abdul Karim Zaidan
[14] Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindany
[15] Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindany
[16] Syaikh Muhammad Yusuf Harbah
[17] Syaikh Muhammad Yusuf Harbah
[18] Dr. Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul
Majid Az-Zindany dan Syaikh Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu dan Parpol dalam Perspektif Syariah, terjemahan dari “Syar’iyyatul Intikhabat”... hal. 65, Kitab
ini merupakan risalah dari sebuah seminar yang diadakan oleh para pakar di
Universitas Al-Iman Sana’a. Yaman pada tahun 1996, sebagai salah satu upaya
pen-tashil-an (pengembalian kepada
dalil-dalil syar’i)
[19] Disalin dari kitab Al-Qaradhawi Fiil-Miizaan, Penulis Sulaiman bin
Shalih Al-Khurasyi, Edisi Indonesia Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradhawi Dalam
Timbangan, Penerjemah M. AbdulGhoffar, E.M. Penerbit Pustaka Imam Asy-syafi'i,
Cetakan Pertama Dzulqa'dah 1423 H/Januari 2003].