Sabtu, 03 Januari 2015

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM



PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh:
Maizul Imran, S.HI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang

Pemilihan Umum. sebagian dari kaum muslimin, menganggap ini hanya sekedar kegiatan politik saja, meskipun kita mengikutinya pasti keadaan akan tetap saja tidak ada perubahan, karena begitu banyak para politisi yang mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Tetapi disisi lain, ada juga sebagian dari mereka enggan mengikuti pemilu dikarenakan demokrasi dengan segala perangkatnya adalah suatu sistem politik modern dari Barat – yang nota bene orang kafir – yang mana ini adalah suatu bentuk tasyabbuh, kesyirikan. Sehingga dengan demikan merekapun mengharamkannya, tanpa melihat sejarah, latar belakang dan fakta  di negara Republik Indonesia dimana  orang-orang diluar Islam terutama Kristen, selalu berusaha untuk “menghabisi” setiap sendi kehidupan umat Islam melalui Parlemen. Bahkan saat ini mereka  sedang menyusun, bahkan bukan tidak mungkin telah melaksanakan, suatu proyek untuk menjadikan Presiden Negara Republik Indonesia dari orang kristen.
Dari sinilah kita mencoba untuk menganalisa pembahasan ini menjadi beberapa bagian pertama : pengertian pemilu ditinjau dari sudut ilmu politik; bagian kedua : sistem pengangkatan khalifah pemimpin dalam Islam; bagian ketiga : hukum pemilu dari tinjauan dalil dan pendapat ulama; bagian keempat : kesimpulan.

BAB II
PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A.    Definisi
Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat[1] dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945[2].
B.     Sistem Pemilihan Umum dalam ilmu politik
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umunya berkisar pada 2 prinsip pokok, yaitu :
a.       single-member constituency (satu daerah memilih atau wakil; biasanya disebut SistemDistrik). Sistem yang mendasarkan pada kesatuan geografis. Jadi setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.
Sistem ini mempunyai beberapakelemahan,diantaranya :
a.       Kurang memperhitungkan adanya partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
b.      Kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya.
Disamping itu sistem ini juga mempunyai kelebihan, antara lain :
a.       Wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat.
b.      Lebih mendorong kearah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama.
c.       Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai yang mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional
d.      Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan
b.      multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Proportional Representation atau SistemPerwakilanBerimbang). Gagasan pokok dari sistem ini adalah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya.
Sistem ini ada beberapa kelemahan :
                          i.      Mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru
                        ii.      Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya
                      iii.      Mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua-partai atau lebih.
Disamping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan besar, yaitu bahwa dia bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan praktis  tidak ada suara yang hilang.[3]

Di Indonesia pada pemilu kali ini, tidak memakai salah satu dari kedua macam sistem pemilihan diatas, tetapi merupakan kombinasi dari keduanya.

Hal ini terlihat pada satu sisi menggunakan sistem distrik, antara lain pada Bab VII pasal 65 tentang tata cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana setiap partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30%[4].

Disamping itu juga menggunakan sistem berimbang, hal ini terdapat pada Bab V pasal 49 tentang Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana :
Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan :
a.      Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1000.000 (satu juta) jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;
b.      Provinsi dengan julam penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (lima puluh lima) kursi;
c.      Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta)  jiwa mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;
d.     Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;
e.      Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa mendapat  75 (tujuh puluh lima) kursi;
f.       Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi;
g.      Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 100 (seratus) kursi.[5]

C.Hukum Pemilu Menurut Para Ulama

1.      Tinjauan ulama tentang Pemilu dari segi DalilNash.

Berdasarkan firman Allah surah an-Nisa :59

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (النساء:59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembali kanlah kepada Allah dan Rasul jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Yang demikian itu adalah yang lebih baik dan sebaik baiknya penyelesaian.” (QS.An-Nisa:59)
Dan berdasarkan hadits Rasulullah:
“…tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu daerah kecuali mereka mengangkat salah seorang dari mereka  menjadi amir (pemimpin), dan tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu tempat berbisik dua orang tanpa dengan kawan yang satunya.” (HR. Ahmad dari Abdullah bin Amr)

Berdasarkan dalil diatas begitu jelas bahwa mu’min diperintahkan agar taat kepada Allah SWT, taat kepada Rasul, dan kepada ulil amri minkum (pemimpin diantara mu’minin). Tiga orang saja harus mengangkat ulil amri (pemimpin)  apalagi kaum muslimin yang berjumlah 1,6miliar dimuka bumi  ini. Abu Hasan Al-Mawardi mendefinisikan ulil amri/ imaamah (kepemimpinan umat islam)sebagai “kedudukan yang diadakan untuk menggantikan kenabian dalam rangkamemelihara agama dan mengatur dunia” .Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata “didalamnya mengandung petunjuk tentang keharusan adanya pemimpin bagi masyarakat (islam) yang akan mengatur urusan mereka dan membawanya ke jalan yang baik serta melindungi orang-orang yang teraniaya” . Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati ulil amri berarti juga memerintahkan untuk mewujudkannya, demikian menurut Taqiyuddin An-Nabhani. Para ulama (Asy Syaikh Muhammad Al-Khudri, Al-Jurjani, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun) mengomentari kewajiban menegakkan khilafah (sistem kepemimpinan umat Islam) sebagai sesuatu yang sangat prinsip dalam dinul Islam. Oleh karena itu muslimin yang tidak memiliki Imam atau Khalifah, maka mereka semuanya menanggung dosa. Karena mereka telah melalaikan satu kewajiban, yaitu fardlu kifayah yang menjadi tanggung jawab mereka bersama untuk melaksanakannya.[6]

Yusuf Al-Qardhawi[7] dalam “Mandzumah Al-Yanharah” menyebutkan “Kewajiban mengangkat imam/khalifah/ulil amri yang adil adalah ketentuan syara bukan ketetapan akal (ro’yu)”. Pengangkatan ulil amri adalah ketentuan syara’ yang diatur menurut Allah dan RasulNya (termasuk dalam lingkup ibadah bukan masalah duniawi/ teknis) bukan dengan ra’yu (hasil pemikiran manusia). Sehingga dalam mengangkat ulil amri harus memperhatikan apa yang diperintahkan Allah dan yang dicontohkan rasul dan para shahabat yang mendapat petunjuk. “Maka hendaklah kalian berpegang pada  Sunnahku dan sunnah khalafaur rasyiddin al mahdiyin  (yang lurus dan mendapat petunjuk) ” [HR. Ahmad, Abu Dawud]. Bila dalam menjawab tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya, carilah sunnah khulafaur rasyiddin al mahdiyyin. Jika tidak ada juga, dengan izin Allah, lakukan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran, pancaindera, dan hati nurani yang dikaruniakan Allah dan dengan bimbingan wahyu Allah pula. Demikianlah cara dalam menghadapi dan menjawab berbagai persoalan agar lengkaplah pengakuan kita, bahwa shalat, ibadah, hidup, dan mati hanyalah untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Hindari cara-cara yang tidak terpimpin wahyu Allah, yaitu mengutamakan ro’yu dan hawa nafsu lalu mencari dalil untuk menguatkan hasil pemikiran tersebut. Cara ini disamping jauh dari tawadlu, juga mendahului Allah dan RasulNya, padahal siksa Allah itu sangat pedih.
Ketahuilah, yang pertama kali menggunakan ra’yu ‘berfilsafat’dalam menerima wahyu ‘perintah” Allah ialah Iblis laknatullah. Ketika diperintah untuk sujud kepada Adam, Iblis berkata “Saya lebih mulia daripada adam karena saya diciptakan dari api, sedangkan Adam dari debu/ tanah”. [QS. 7:11-16, 17:61-65, 38:71-85]. Ia berfikir untuk menolak, bukan berpikir untuk ta’at.
Proses pengangkatan ulil amri di masa khalafaur rasyiddin, Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar Bin Al-Khatab, Utsman Bin Affan, dan Ali Bin Abi Thalib, karena merekalah yang mendapat petunjuk. Secara umum pengangkatan kepemimpinan dalam Islam adalah dengan bai’at. Bai’at menurut bahasa adalah “janji” (Muhithul Muhith:I/64).  Adapun  menurut istilah adalah “Mengikat janji atas sesuatu seraya berjabatan tangan sebagai tanda kesempurnaan perjanjian tersebut dan keikhla sannya. Bai’at pada periode pertama Islam yang ketika itu mereka membai’at khalifah dengan memegang tangan orang yang mereka serahi kekhilafahan, sebagai tanda penerimaan mereka kepadanya dan sebagai janji untuk mentaatinya dan menerima kepemimpinannya.”.
Pertanyaan pertama, siapakah ulil amri minkum? Banyak diantara muslimin mengartikan bahwa ulil amri minkum adalah pemerintahan (baik berbentuk Negara atau kerajaan). Jika dicermati, yang diperintahkan untuk ta’at kepada Allah, ta’at kepada Rasul, dan ulil amri minkum adalah mu’minin (orang-orang yang beriman) bukan minhum (diantara kalian manusia seluruhnya baik yang beriman ataupun yang tidak). Berarti yang dimaksud dengan ulil amri minkum adalah ulil amri/ khalifah yang dalam mengatur urusan ummat berdasarkan wahyu yang benar-benar ta’at kepada Allah dan ta’at kepada RasulNya.
Pertanyaan kedua, ulil amri untuk siapa? Ulil amri adalah pemimpin yang memerintah umat Islam (seluruh kaum muslimin), tidak terbatas dengan batasan  teritorial Begitulah kenyataannya ketika Rasul dan Para shahabat menegakkan dinul Islam di muka bumi ini. Jika terbatasi denganbatas teritorial  berarti telah menyempitkan bahwa Islam Rahmatan Lil Alamin. Apakah batas territorial (Negara) merupakan wahyu dan sunnah. Bisa dicermati dari mana datangnya konsep Negara, yaitu berasal dari para pemikir (filosof) Yunani (Socrates, Plato, dan Aristoteles). Jadi saat ini kita dihadapkan pemilu dalam rangka mengangkat ulil amri di suatu batas territorial (Negara) bukan untuk seluruh kaum muslimin. Bukankah pengangkatan pemimpin disuatu tempat dilakukan atas perintah khalifah (pemimpin untuk seluruh kaum muslimin dipenjuru dunia). Jadi apakah tidak terbalik apa yang sekarang kita lakukan dalam pemilu ini. Cermatilah hadits berikut
(66) إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
(66) “Apabila dibai’at dua khalifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya. (yaitu yang terakhir).”  (HR. Muslim dari Abi Sa’id Al Khudri, Shahih Muslim dalam Kitabul Imaroh: II/137)
Jika disetiap Negara mengangkat seorang pemimpin, tentu mereka harus saling membunuh, karena mereka diangkat dalam satu masa yang sama. Bukankah hal ini merupakan kekonyolan yang dilakukan kaum muslimin saat ini. Menyalahi Allah dan RasulNya tetapi tidak menyadarinya.
Pertanyaan ketiga, sistem apakah yang digunakan dalam pengangkatan ulil amri? Demokrasi adalah hasil buah pikir filsof yunani, yaitu hukum/pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, yaitu rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan. Yang pertama sekali menggunakan istilah demokrasi ini adalah Plato. Demikian pengertian demokrasi yang du bawakan oleh Abdul Ghani ar Rahhal dalam buku Al Islamiyyun wa SarabDekratiyah, dan juga buku Muhammad Quthb dalam buku Mazdzdahib Fikriyh Mi’ashirah dan pengarang-pengarang lainnya. Demokrasi tidak identik dengan musyawarah dalam Islam. Dan keduanya tidak akan bertemu, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
  1. Pencipta demokrasi adalah Yahudi, sedangkan musyawarah dalam Islam yang mensyariatkan adalah Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
              ”Maka patutkan aku mencari hakim selain dari pada Allah.” (Al-an’aam 114)
  1. Musyawarah besar dalam islam berkaitan dengan ummat hanya diikuti oleh ahlul halli wal `aqdi (yaitu para ulama), orang-orang shalih lagi ikhlas. Adapun demokrasi diikuti oleh segala lapisan dan golongan termasuk di dalamnya orang kafir, penjahat, orang jahil, pria maupun wanita.
  2. Musyawarah dalam Islam hanya pada beberapa permasalahan yang belum ada hukum Allah dan Rasul-Nya didalamnya, Adapun demokrasi meletakkan asas-asas untuk menentang dan mengenyampingkan hukum-hukum Allah.
  3. musyawarah dalam Islam bukan merupakan kewajiban dalam tiap waktu. Akan tetapi kebutuhan masyarakat ini tergantung kepada situasi dan kondisi, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang bermusyawarah dengan para sahabat di beberapa peperangan dan terkadang tidak bermusyawarah. Adapun demokrasi adalah wajib bagi penganutnya, tidak boleh menyusun, meletakkan dan melaksanakan sesuatu kecuali setelah melalui proses demokrasi.
  4. Demokrasi menolak mentah-mentah syariat Islam dengan tuduhan tidak mampu memecahkan problem-problem yang tidak layak diterapkan di abad ini. Adapun musyawarah justru ditetapkan sesuai dengan syariat Islam.
  5. Musyawarah dalam Islam lahir seiring dengan datangnya Islam sedangkan system demokrasi lahir abad 18 atau 19. Maka apakah bisa dikatakan bahwa Rasulullah itu seorang Demokrat? Jawabnya adalah tidak sama sekali.
  6. Demokrasi adalah hukum dari rakyat untuk rakyat, sedangkan dalam musyawarah tidak ada penciptaan hukum baru, akan tetapi bentuknya adalah tolong menolong dalam memahami al Haq dan melaksanakannya.

Pemilihan ulil amri atau pemimpin dalam demokrasi yaitu dengan pemilihan dengan suara terbanyak. Jadi siapapun pemimpin yang terpilih adalah yang mendapatkan suara terbanyak dan tidak perlu memandang  ta’at atau tidaknya terhadap wahyu Allah. Inilah salah satu pemikiran bani Israel (Zionist) bahwa “suara terbanyak adalah suara Tuhan”. Bukankah dalam Islam diperintahkan bermusyawarah dan keputusan diambil/ ditentukan berdasarkan Qur’an dan Sunnah, walaupun sedikit orang yang sepakat asal berdasarkan wahyu, maka hanya ada satu kata “sami’na wa atha’na!” . Demikian beberapa hal yang membedakan antara demokrasi dengan musyawarah dalam Islam, oleh karena itu tidak boleh bagi seorang Muslim untuk memberi musyawarah dalam Islam dengan label demokrasi.

Perhatikan Firman Allah:

أَلَمْتَرَإِلَىالَّذِينَيَزْعُمُونَأَنَّهُمْآمَنُوابِمَاأُنْزِلَإِلَيْكَوَمَاأُنْزِلَمِنْقَبْلِكَيُرِيدُونَأَنْيَتَحَاكَمُواإِلَىالطَّاغُوتِوَقَدْأُمِرُواأَنْيَكْفُرُوابِهِوَيُرِيدُالشَّيْطَانُأَنْيُضِلَّهُمْضَلالابَعِيدًا (٦٠)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”[An-Nisaa:60].

Perhatikan ketika shahabat Umar Bin Khatab membawa shuhuf (lembaran) Taurat, Rasul begitu marah terlihat dari wajahnya dan bersabda “ Aku telah membawa kertas yang putih bersih, dan seandainya Musa hidup dizamanku tentu mereka akan mengikuti apa (din/syariat) yang aku bawa ini”. Begitu pula shahabat Yahya Bin Ju’da yang membawa kitab injil, maka rasul bersabda, “cukuplah bagi suatu kaum kesesatannya bahwasanya ia membenci apa yang telah didatangkan kepada mereka sendiri dari apa-apa yang diberikan kepada seorang nabi daripada nabi mereka sendiri”.

Banyak muslimin yang mengaku dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada Rasul Muhammad, tetapi mereka menginginkan dihukumi dengan hukum thaghut (hukum buatan manusia dengan ra’yu mereka sendiri). Padahal Allah telah memerintahkan menjauhi dan mengingkarinya. Bukankah Taurat dan Injil dan kitab-kitab sebelumnya harus kita yakini sebagai firman Allah. Tetapi dimansukh (dihapuskan) ketika Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad, karena merupakan penyempurna dari seluruh kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Tapi lihat betapa ingkar dan kufurnya umat hari ini, mereka mengesampingkan wahyu dan mendahulukan ra’yu ketetapan hukum thoghut yaitu demokrasi, yang bukan wahyu sama sekali.

Pusaka dari Rasul yaitu Al-Qur’an dan Sunnah-lah yang dapat menyelamatkan kita dari kesesatan hidup di dunia ini. Betapa dahsyat kesesatan dan kemusyrikan umat saat ini, sehingga hilang responsibilitas diri mereka terhadap wahyu. Sulit menentukan mana yang haq dan mana yang bathil. Hal tersebut karena mereka enggan berilmu (Islam) dan meninggalkan pusaka RasulNya. Benarlah atsar Umar Bin Al-Khatab, “Berhati-hatilah terhadap kaum rasionalis, mereka adalah penentang sunnah. Mereka enggan mempelajari hadits sehingga melirik kepada rasio/ ro’yu dan mendahulukannya. Mereka sesat lagi menyesatkan”. Bukankah hal ini adalah bid’ah yang dilakukan, membuat tata cara peribadatan baru dalam pengangkatan kepemimpinan Islam yang telah ditetapkan syara’. Sementara begitu jelasnya bagi kita umat Muhammad, bahwa bid’ah adalah sesat dan sesat tempatnya adalah neraka.
2.      Tinjauan Ulama tentang Pemilu dari segi Mashlahat dan Mudharat.

Sebelum kita mengetahui hukum pemilu dalam syariat Islam, ada baiknya kita melihat pandangan para Ulama terhadap pemilu. Dalam hal ini, ada tiga pandangan :

1.      Melarang secara mutlak. Seperti Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh Muhammad bin Hadi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Aqil, Syaikh Muqbil bin Hadi dan muridnya Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam.
2.      Membolehkan memilih jika menghadapi bahaya yang lebih besar, yaitu berkuasanya musuh-musuh Islam dengan memilih partai yang paling ringan bahayanya bagi kaum muslimin. Seperti Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, SyaikhMuhammadbinShalihAl-Utsaimin, Syaikh Abdul MuhsinAl-Abbad dan lain-lain.
3.      Membolehkan memilih jika diperintahkan oleh penguasa. Tentunya dengan memilih yang paling ringan bahayanya bagi kaum muslimin. Keterangan Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili.[8]
4.      Membolehkan mengikuti pemilu dengan alasan :
a.       Hal itu sudah pernah dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara sederhana dan keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)
b.      Bolehnya mengambil sistem lain (selain sistem Islam) selama tidak berlawanan dengan Islam
c.       Pemilu sebagai sarana penegakan hukum dan jaminan dalam pelaksanaan hukum
d.      Pemilu sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran yang bersifat global
e.       Pemilu sebagai perkara yang perlu pembuktian dalil (istidlal)dan tidak sekedar perkara yang jelas dan dapat dipahami oleh umum (badihiyat)
f.       Pemilu sebagai sarana memelihara Adh-dharuriyat Al-Khamsah (PokokTujuanSyariah yang lima).
g.      Hal itu telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an dalam kisahnya Nabi Yusuf AS.

Yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Abdul Karim Zaidan (Pakar Fiqh, Ushul Fiqh dari Irak), Syaikh Abdul Majid Az-Zindani (Pakar Siyasah Islamiyah dan Rektor Universitas Al-Iman Shan’a Yaman) dan Syaikh Al Faqih Muhammad Yusuf Harbah (Salah seorang murid Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).
5.      Membolehkan mengikuti pemilu dan parlemen dengan syarat dengan pemahaman yang benar, menginginkan tegaknya Al-Haq, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan tidak semata-mata ambisi pribadi. Seperti pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Al Muhaddits Ahmad Muhammad Syakir (AhliHadits sebelum SyaikhAl-Albani).[9]


Dari sini secara sekilas dapat dipetakan ada tiga pendapat :pertama : ada ulama yang melarang secara mutlak, kedua : membolehkan secara mutlak , ketiga : membolehkan tetapi dengan syarat-syarat yang ada karena adanya suatu hal-hal yang menuntut dilaksanakannya pemilihan umum.

A.      Pendapat Pertama : mereka melarang secara mutlak mengikuti pemilu karena dilihat dari 2 sisi :  pertama dari substansi pemilu itu sendiri, kedua akibat-akibat dari pelaksanaan pemilu
1.      Dari substansi pemilu.
a.       Syirik kepada Allah
b.      Menuhankan mayoritas manusia
c.       Menuduh syariat tidak lengkap
d.      Meremehkan masalah Al-Wala’ wal Bara’
e.       Tunduk kepada Undang-undang sekuler
f.       Mengelabui kaum muslimin
g.      Memberi label syar’i terhadap demokrasi
h.      Membantu orang-orang Yahudi dan Nasrani
i.        Menyelisihi cara Rasul didalam menghadapi musuh
j.        Pemilu merupakan sarana yang diharamkan.
2.      Dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari pemilu :
a.       memecah belah persatuan kaum muslimin dan ukhuwah islamiyah
b.      fanatisme dan membela golongan atau partai
c.       memberi rekomendasi menurut kepentingan partai
d.      calon pejabat mencari keridhaan rakyat/massa kadang dengan kepalsuan dan kelicikan
e.       menyia-nyiakan waktu, harta dan kerja dengan slogan, janji kosong dan koalisi semu
f.       mementingkan kuantitas dan kursi dan tidak peduli dengan kualitas dan aqidah
g.      calon pejabat terfitnah oleh harta
h.      menerima calon tanpa syarat, keadilan dan ilmu yang syar’i khususnya mengabaikan aqidah dan mengangkat perempuan menjadi penguasa
i.        menyalahgunakan nash-nash syar’i dengan menamakan sesuatu dengan cara yang salah
j.        tidak mengikuti rambu-rambu syar’i dalam memberi kesaksian
k.      menghadiri tempat kedustaan dan bekerja sama dalam dosa dan permusuhan
l.        prinsip persamaan yang tidak syar’i
m.    fitnah gambar dan wanita
n.      memberikan peluang dan loyal kepada minoritas Yahudi dan Nashrani serta lainnya untuk bisa mencapai puncak kekuasaan
o.      mempersulit manusia dalam pekerjaan dan rizki mereka
p.      pemecatan penguasa setelah berlalunya masa yang ditetapkan oleh UU[10]
B.       Pendapat kedua : mereka membolehkan secara mutlak, karena :
1.   Hal itu sudah pernah dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara sederhana[11] dan keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)[12]
2.   Bolehnya mengambil sistem lain (selain sistem Islam) selama tidak berlawanan dengan Islam
3.   Pemilu sebagai sarana penegakan hukum[13] dan jaminan dalam pelaksanaan hukum[14]
4.   Pemilu sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran yang bersifat global[15]
5.   Pemilu sebagai perkara yang perlu pembuktian dalil (istidlal)dan tidak sekedar perkara yang jelas dan dapat dipahami oleh umum (badihiyat)[16]
6.   Pemilu sebagai sarana memelihara Adh-dharuriyat Al-Khamsah (PokokTujuanSyariah yang lima).[17]
7.   Hal itu telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an dalam kisahnya Nabi YusufAS.[18]
C.       Pendapat ketiga : mereka membolehkan mengikuti pemilihan umum, tetapi dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
1.   Membolehkan memilih jika menghadapi bahaya yang lebih besar, yaitu berkuasanya musuh-musuh Islam dengan memilih partai yang paling ringan bahayanya bagi kaum muslimin
2.   Membolehkan memilih jika diperintahkan oleh penguasa.
3.   Membolehkan mengikuti pemilu dan parlemen dengan syarat dengan pemahaman yang benar, menginginkan tegaknya Al-Haq, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan tidak semata-mata ambisi pribadi.

Kajian Ulama kontemporer tentang Pemilu[19]

Dr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar terhadapnya.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan: "Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua majelis.
Pemilihan ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai."Kekuasaan yang terpilih" inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau "pemerintah", menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk dipertahankan.
Dengan kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan.Bentuk ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat padanya.
Saya katakan "secara garis besar", karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di atas.
Kekuasaan terpilih itu tidak memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta'ala. Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mem¬punyai kekuasaan menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah .
Manusia hanya boleh membuat hukum untuk diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta'ala saja. Artinya, hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih salah satu makna dan meng¬gunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syari'at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi para pembuat undang-undang.
Oleh karena itu, harus dikatakan: "Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas syari'at Islam." Sebagaimana dalam Majelis Tasyri' (Badan Legislatif) harus ada komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai berbagai ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan penyimpangannya dari syar'iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa agama negara yang dianut adalah Islam.
Kemudian, para calon wakil rakyat juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama dan akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari seorang penjahat atau pemabuk atau suka mening¬galkan shalat atau orang yang menganggap enteng agama.
Di sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu pekerjaan.
Pertama : Mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di bidangnya.
Kedua : Amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta'ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur'an melalui lisan Yusuf as , di mana dia mengatakan:
"Artinya : Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi ber¬pengetahuan. "' [Yusuf : 55]
Juga dalam kisah Musa as, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua renta:
"Artinya : Karena sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. " [Al-Qashash: 26]
Dengan demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan: "Anehnya, sebagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata, sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan cirinya.
Di antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan (hukum) terhadap sesuatu merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa menghukumi sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang memberi keputusan dengan didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi dengan yang lain.
Lalu apakah demokrasi yang didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan oleh banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan penguasa tirani, yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kuku¬kuku politik campur tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!"
Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan."
Sesungguhnya Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan substansinya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan manusia.
Kelebihan demokrasi adalah, bahwa ia mengarahkan di sela-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari penindasan kaum tirani.
Tidak ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara lain, barang¬kali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan merealisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna me-wujudkan keadilan, permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi ini.
Di antara kaidah syari'at yang ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuan-tujuan syari'at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mempunyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai tujuan tersebut.
Tidak ada satu syari'at pun yang melarang penyerapan pemikiran teori atau praktek empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi saw sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran "penggalian parit", padahal strategi tersebut berasal dari strategi bangsa Parsi.
Selain itu, Rasulullah saw pernah juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar "dari orang-orang yang mampu membaca dan menulis" untuk mengajarkan baca tulis anak-anak kaum muslim.in, meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya, maka dia yang paling berhak atasnya.
Dalam beberapa buku, saya telah mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam (yang jelas) dan tidak juga kaidah syari'at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya."
Ungkapan seseorang yang mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya, harus ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat diterima.
Bagi para penyeru demokrasi tidak perlu harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.
Benar, setiap yang dimaksudkan dengan demokrasi oleh mereka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan mereka, serta menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam: "Jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat," dan mereka juga mem-punyai hak untuk menurtmkan penguasa jika melakukan penyimpangan dan berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau peringatan. "
Sesungguhnya undang-undang menetapkan, di samping berpegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah Islam dan bahwasanya syari'at Islam adalah sumber hukum dan undang­-undang, dan yang demikian itu merupakan penegasan akan kekuasaan Allah atau kekuasaan syari'at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat tertinggi.
Dimungkinkan juga untuk menambahkan pada undang-gundang materi yang secara tegas dan lantang menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan syari'at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil."
Tidak ada ruang untuk pemberian suara dalam berbagai hukum pasti dari syari'at dan juga pokok-pokok agama serta hal¬hal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas jalan raya atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai "mashalihul mursalah." Atau seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau tidak, atau mem¬batasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa pemilihan atau tidak, demikian seterusnya.
Jika banyak pendapat yang berbeda dalam masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung begitu saja, apa¬kah ada tarjih tanpa murajjah (yang diunggulkan)? Ataukah harus ada murajjah?
Sesungguhnya logika akal, syari'at dan realitas menyatakan harus ada murajjah (yang diunggulkan), dan yang diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang, Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa tarjih (pengunggulan satu pendapat) itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh 99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari'at secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak mengandung perbedaan atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah yang dikatakan: Jama'ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran meski engkau hanya sendirian.
Sesungguhnya petaka pertama yang menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan "Khilafah Rasyidah" menjadi "kerajaan penindas" yang oleh sebagian sahabat disebut "kekaisaran". Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah kepadanya. Padahal semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya negara mereka.
Apa yang menimpa Islam, umatnya, serta dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang wenang terhadap umat manusia dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emas¬nya, dan tidaklah syari'at dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan ge¬rakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa kedok dan terkadang dengan meng¬gunakan kedok demokrasi palsu yang diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau diarahkan dari balik layar."
Di sini saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan kata-kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk mengungkapkan pengertian-pengertian Islam.
Tetapi, jika suatu istilah telah menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh banyak orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita tidak me¬mahaminya secara keliru, atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya."
Saya (Dr. Yusuf al-Qaradhawi) termasuk orang yang menuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam, sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan."
Berkenaan dengan hal tersebut, dapat penulis katakan: "Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh Dr.Yusuf al-Qaradhawi dan Jama'ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan upaya.
Yang lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan keindahan.
Jika kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan bebe¬rapa hal yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura (permusyawaratan) misalnya.
Dengan demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perum¬pamaannya adalah sama dengan khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada saat itu tidak lagi disebut se¬bagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian pula demokrasi.
Jadi, yang harus dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan hukum Islam dengan menerap¬kan sistem syura (permusyawaratan) yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.



BAB III
PENUTUP
Bahwa sistem pemilihan umum tidak dapat dipisahkan dari latar belakang historis dari masa khalifah sampai dengan perkembangannya melalui syura.Dan begitu juga sistem politik barat melalui demokrasi.

Dari berbagai pendapat-pendapat diatas.untuk memudahkan bagi pendapat-pendapat itu menjadi 3 bagian.

GolonganI :ada ulama yang melarang secara mutlak,
GolonganII : ada ulama yang membolehkan secara mutlak,
GolonganIII : ada ulama yang membolehkan dengan bersyarat.

Bahwa sebagian besar dari argumen yang diajukan oleh golongan pertama harus kita akui memang seperti itulah kerusakan dan keburukan pemilu dan demokrasi, oleh karena itu harus kita perbaiki terutama bagi partai-partai Islam yang mana dengan cara berpolitik yang baik dan santun, akan menimbulkan simpati dari umat Islam sehingga diharapakan akan mempercayakan hak suaranya kepada mereka. Namun disisi lain, ada argumen yang tidak sependapat dan tidak sepenuhnya sependapat, karena di negara Indonesia tidaklah seperti apa yang mereka tuduhkan.
Adapun argumen yang diajukan oleh golongan kedua, maka kami pun tidak sepenuhnya sependapat, mengingat kerusakan dan keburukan yang telah dijelaskan oleh golongan pertama.Tetapi kaidah-kaidah yang dipakai oleh golongan kedua sangatlah sesuai.
Yang terakhir, golongan ketiga mengajukan argumen yang sangat sesuai, baik secara kaidah-kaidah ilmiyah, maupun relevansinya jika diterapkan di negara Indonesia.
Maka dengan demikian, penulis memilih dan menguatkan pendapat golongan yang ketiga, yaitu kita dibolehkan mengikuti pemilu dan masuk menjadi anggota parlemen, jika memilih madharat yang lebih kecil, dan mempunyai pemahaman yang benar, dengan tujuan untuk menghadang musuh-musuh Islam, dan berusaha untuk menerapkan hukum syariat Islam.
Dan penulis juga meng apresiari pendapat ulama kontemporer seperti yusuf qardhawi dalam memberikan pandangan seputar pemilu melalui jalur demokrasi yang disesuaikan hukum Islam






DAFTARPUSTAKA

1.      AbdulAzisThaba, Islam dan Negara dalam PolitikOrdeBaru, GIP, 1996
2.      AbdulGaniAbdullah, PengantarKompilasiHukum Islam dalam TataHukumIndonesia, GIP, 1994
3.      Abdul Karim Zaidan, Abdul Majid Az-Zindany dan Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu dan Parpol dalam Perspektif Syariah, Syaamil. 2003
4.      Abdul Malik RamadlanAl-Jazairy, BolehkahBerpolitik? jilid 2, Pustaka Imam Bukhari. 2003
5.      Abdul Malik Ramadlan Al-Jazairy, PandanganTajam terhadap Politik jilid 1, Pustaka Imam Bukhari. 2002
6.      Abdussalam bin Barjas bin NashirAluAbdulKarim, SikapPolitikAhlus Sunnah wal Jamaah terhadap Pemerintah, Pustaka As-Salaf
7.      AbuNashrMuhammad bin ‘Abdillah al-Imam, MenggugatDemokrasi dan Pemilu; MenyingkapBorok-Borok Pemilu dan MembantahSyubhatPara Pemujanya. DarulHadits. 2004
8.      Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halaby Al-Atsary, Tashfiyah dan Tarbiyah, Pustaka Imam Bukhari. 2002
9.      As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Pustaka Al-Kautsar. 2001
10.  Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, GIP. 2000
11.  Jimly Asshiddiqie, Islam dan KedaulatanRakyat, GIP. 1995
12.  KautsarAmru, Teori Politik Islam, makalah pengajian. 2002
13.  MiriamBudiardjo, Dasar-dasar IlmuPolitik, PT Gramedia Pustaka Utama. 1993
14.  MuhammadFuadAbdulBaqi, Al-Lu’lu’ wal Marjan jilid 2, BinaIlmu. 1996
15.  Salafy, edisi khusus/33/1420H/1999M
16.  Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, Pustaka Al-Kautsar. 1997
17.  SuaraHidayatullah, 03/XIII/Rabiul Awal-RabiulAkhir 1421
18.  Undang-Undang Politik, PustakaPergaulan. 2003
19.  Al-Mawardi, Ahkam Suthaniyyah, (Beirut: Dar-Kutub Ilmiyyah)
20.  Yusuf Qardhawi, Mandzumah Al-Yanharah (Damaskus:Maktabah wahhaby)
21.  Al-Qaradhawi Fiil-Miizaan, Penulis Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Edisi Indonesia Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradhawi Dalam Timbangan, Penerjemah M. AbdulGhoffar, E.M. Penerbit Pustaka Imam Asy-syafi'i, Cetakan Pertama Dzulqa'dah 1423 H/Januari 2003].


[1] Tentang kedaulatan rakyat – atau kalau boleh dikatakan suatu bentuk demokrasi, yaitu suatu bentuk pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat – sebagian orang memandang, itu adalah suatu sistem dari barat, sehingga haram suatu pemerintahan yang mayoritas penduduknya muslim menggunakannya. Sebenarnya hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Karena memang ada diantara nilai-nilai demokrasi yang sama dengan nilai-nilai yang ada di dalam Islam.
[2]Undang-undang Politik 2003, UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, hal 35.
[3]MiriamBudiardjo, Dasar-dasar IlmuPolitik, hal. 177
[4]Undang-undang Politik 2003, UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, hal. 64
[5] Undang-undang Politik 2003, UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum .hal 58
[6]Al-Mawardi, Ahkam Suthaniyyah, (Beirut: Dar-Kutub Ilmiyyah) hal. 105.
[7]Yusuf Qardhawi, Mandzumah Al-Yanharah (Damaskus:Maktabah wahhaby) hal. 123
[8] Majalah Salafy No.33/1420H/1999M http.// islamic webbook.com
[9] Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul Majid Az-Zindani,dan Syaikh Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu dan Parpol dalam Perpektif Syariah... hal.56
[10] Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam, Menggugat Demokrasi dan Pemilu...hal. 88, Semua argumen dari pendapat pertama penulis ambil dari kitab ini, karena menurut penulis kitab ini paling komprehensif dalam memaparkan 45 argumen borok pemilu. Penulis mengadakan peringkasan disana-sini pada argumen yang hampir sama. Walau sebenarnya masih ada 2 alasan yang belum dimasukkan, hal ini disebabkan 2 alasan tersebut tidak relevan untuk dipakai sebagai dalil pengharaman pemilu. Yaitu (1) keluar/memberontak kepada penguasa muslim, (2) tidak mau mendengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara yang baik. Alasan (1) Menurut beliau, demokrasi membolehkan penentang penguasa muslim dengan 2 cara, yaitu pemberontakan/kudeta dan pemilihan pemimpin secara langsung. Menurut penulis ini tidak relevan karena justru demokrasi/pemilu adalah sarana agar tidak terjadi pemberontakan (2) Menurut beliau, demokrasi tegak diatas prinsip pembolehan untuk tidak taat terhadap pemerintah, kecuali bila pemerintah sesuai dengan demokrasi.Sekali lagi menurut penulis hal ini tidak relevan, karena dalam demokrasi ketika tidak ada yang tidak disetujui dari kebijakan pemerintah, harus ditempuh dengan lembaga-lembaga perwakilan/DPR/Parlemen dan lembaga-lembaga peradilan, seperti Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. Bukan malah pembolehan untuk tidak taat kepada pemerintah..!
[11] Pendapat Abdul Karim Zaidan
[12] Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindani
[13] Pendapat Abdul Karim Zaidan
[14] Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindany
[15] Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindany
[16] Syaikh Muhammad Yusuf Harbah
[17] Syaikh Muhammad Yusuf Harbah
[18] Dr. Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul Majid Az-Zindany dan Syaikh Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu dan Parpol dalam Perspektif Syariah, terjemahan dari “Syar’iyyatul Intikhabat”... hal. 65, Kitab ini merupakan risalah dari sebuah seminar yang diadakan oleh para pakar di Universitas Al-Iman Sana’a. Yaman pada tahun 1996, sebagai salah satu upaya pen-tashil-an (pengembalian kepada dalil-dalil syar’i)
[19] Disalin dari kitab Al-Qaradhawi Fiil-Miizaan, Penulis Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Edisi Indonesia Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradhawi Dalam Timbangan, Penerjemah M. AbdulGhoffar, E.M. Penerbit Pustaka Imam Asy-syafi'i, Cetakan Pertama Dzulqa'dah 1423 H/Januari 2003].

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh: Maizul Imran, S.HI BAB I PENDAHULUAN A.     Latar belakang Pemilihan Umum. sebag...