Sabtu, 03 Januari 2015

ASBAB AL-NUZUL SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM (USHUL FIQH)



ASBAB AL-NUZUL SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM (USHUL FIQH)

 Oleh:

 MAIZUL IMRAN, S.HI


BAB I
PENDAHULUAN
A.                 Latar Belakang Masalah
Asbab al-nuzul  merupakan peristiwa yang terjadi pada masa nabi. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain mengadopsi sumber dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Para ulama menempatkan studi-studi menyangkut hadits Nabi sebagai suatu studi kesejarahan yang paling selektif dibanding studi sejarah manapun. Oleh karena itu, kendati upaya penspesialisasian studi asbab al-nuzul baru dimulai dua ratus tahun setelah Nabi wafat, tetapi nilai akurasinya bisa dipertanggungjawabkan. Secara turun-temurun dari generasi-kegenerasi lainya, riwayat-riwayat menyangkut al-Qur’an, mulai dari Asbab al-Nuzul, penafsiran dan hal-hal lain yang selalu dipelajari secara sungguh-sungguh, kemudian dihafal dan dipelihara otentitasnya melalui hafalan maupun tulisan. Akhirnya, pada tahun 200 H, timbul gagasan dari Ali Ibn al-Madiniy untuk membukukan asbab al-nuzul dalam karyanya yang berjudul  Asbab al-Nuzul.
Usaha al-Madiniy kemudian diikuti oleh Abu al-Mutharif ‘abd al-Rahman Ibn Muhammad al-Qurthubiah dengan karyanya al-Qishash wa al–asalib al-laity nazala min Ajliha Al-qur’an. Tokoh berikutnya adalah Abu Hasan Ali Ibn Ahmad yang menulis asbab al-nuzul, Abu Al-Faraj Al Jawziy yang menulis al I’jab fi Bayan al-Asbab, di abad ke 6 hijriah selanjutnya di abad ke-9. muncul al-Suyutiy dengan karyanya Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul.
Ada bebeapa yang sering muncul ketika membahas asbab al-nuzul, seperti terdapat beberapa riwayat yang berbeda sementara asbab al-nuzulnya hanya satu, atau perbedaan antara turunnya ayat dengan riwayat asbab al-nuzul; ayat turun di Mekah sedang asbab al-nuzul di Madinah, dan atau sebaliknya, bahkan tidak jarang terjadi rentang waktu yang begitu panjang antara turunnya ayat dengan peristiwa yang terjadi, sehingga secara historis hal tersebut sangat tidak logis dan masuk akal.
Menghadapi hal semacam ini, para ulama telah menempuh beberapa metode sesuai dengan problem yang dihadapi dalam kasus beberapa riwayat dengan satu sebab, misalnya metode yang digunakan adalah dengan cara Mentarjih salah satu riwayat. Pentarjihan dilakukan dengan cara memperhatikan riwayat yang lebih shahih atau dengan memperhatikan segi yang memperkuat salah satu nya, seperti; apakah perawi riwayat tersebut melihat langsung peristiwa yang terjadi atau hanya mendengar dari Nabi saja.
Ketika pentarjihan tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing riwayat tersebut kuat, maka ditempuh cara yang kedua yaitu dengan metode al-jam’u wa al-taufiq (dipadukan atau dikompromikan), dan permasalahannya dipandang bahwa ayat tersebut turun bersamaan dengan dua peristiwa, dengan catatan waktu terjadinya berdekatan. Jika kedua metode tersebut tidak bisa ditempuh, karena rentang waktu yang berjauhan antara sebab-sebab turunnya ayat, maka dalam hal ini masalahnya di pandang bahwa ayat tersebut diturunkan berulang-ulang. al-Zarkasyi mengatakan; terkadang suatu ayat turun dua kali sebagai penghormatan kepada kebesaran dan peringatan akan peristiwa yang menyebabkan, khawatir terlupakan, sebagaimana terjadi pada surat al-fatihah dan al-ikhlas yang turun dua kali, di Mekah dan Madinah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Asbab al-Nuzul
Asbabun nuzul secara bahasa berarti sebab turunnya al-Qur’an.Namun, makna dari nuzul itu sendiri mempunyai beberapa arti. Para ulama berbeda pendapat mengenai arti kata nuzul, diantaranya:
Imam Ar- Raghib Al-Ashfihani dalam kitabnya Al-mufradaat, kata nuzul itu mempunyai arti ‘Uluwwin ila safalin (meluncur dari atas ke bawah, atau berarti turun). Contohnya dalam firman Allah SWT:
وَأَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
Artinya:
“Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit.” (Q.S Al- Baqarah:22)[1]
Imam Al-Fairuz Zabadi dalam kamusnya Al-Muhith Al- Hulul Fil Makan, kata nuzul mempunyai arti: bertempat disuatu tempat. Contohnya dalam firman Allah SWT:
وَقُل رَّبِّ أَنزِلْنِي مُنزَلاً مُّبَارَكاً وَأَنتَ خَيْرُ الْمُنزِلِينَ
Artinya:
“dan berdo’alah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.” (Q.S Al-Mu’minun: 29)[2]
Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf, kata nuzul itu berartiAl-ijtima’(kumpul).
Contohnya seperti dalam ungkapan:
المكان في الرجل نزل
(orang-orang telah berkumpul di tempat itu)[3]
Sebagian para ulama mengatakan, kata nuzul itu berarti turun secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Contohnya, seperti dalam ayat al-qur’an:
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
Artinya:
“Dialah yang menurunkan al-qur’an kepada kamu, diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi al-qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat.” (Q.S Ali Imran: 7)
Istilah “penurunan ayat-ayat Alquran” lazimnya dikenal dengan istilah nuzul al-qur’an atau tanzil al-qur’an.Hal yang tidak lazim untuk mengungkapkan maksud tersebut adalah inzal al-Qur’an.
Baik kata nuzul, tanzil dan inzal pada dasarnya berasal dari kata nazal-yanzilu yang berarti turun.Kata tersebut merupakan kata kerja intransitif.Kata tanzil merupakan bentuk mashdar dari nazzala yang merupakan bentuk pen-transitifan untuk kata nazala yang kemudian berarti menurunkan. Secara sekilas, arti yang sama terdapat pada kata inzal yang berasal dari kata anzala yang juga bentuk pentransitifan untuk kata nazala.
Dalam bahasa Indonesia, kata nuzul dapat diartikan sebagai “turun (kata benda)”, tanzil berarti penurunan begitu juga dengan inzal yang berarti penurunan. Dengan demikian, jika dilihat dari arti secara tersirat dalam  bahasa Indonesianya, kata nuzul yang berarti turun, seolah-olah tanpa adanya unsur kesengajaan dalam menurunkan. Sedangkan pada kata inzal atau tanzil yang berarti penurunan, terdapat unsur kesengajaan dalam menurunkan.
Analisa yang lebih mendalam akan mendapatkan bahwa terdapat perbedaan arti ketiga kata tersebut. Antara kata nuzul dengan tanzil perbedaannya memang tidak terlalu samar, namun antara kata inzal dengan tanzil, sekilas terlihat artinya sama.
Bila dibandingkan, dari beberapa ayat yang terdapat alqur’an maka akan didapatkan hasil berikut:
  1. Bahwa kata nazzala lebih sering berobjek Alquran al-Karim.
  2. Pada sedikit ayat nazzal dipakai berobjek air.
  3. Satu ayat berisi nazzala berobjek kepada “sultan” yang diartikan sebagai alasan.
  4. Kata anzala sering dipakai baik untuk Alquran al-Karim atau air.
Dengan demikian, kata nazzala lebih khusus daripada anzala.Kekhususan tersebut terlihat pada bahwa kata nazzala lebih sering berobjek hal-hal abstrak seperti wahyu dan sebagainya.Sementara kata anzala sangat umum baik untuk hal yang abstrak maupun konkrit seperti Alquran al-Karim, air, logam dan sebagainya.
Selain itu, kata nazzala juga berarti menurunkan secara bertahap, tidak menurunkan objek sekaligus langsung. Sementara kata anzala lebih umum pada pengertian menurunkan objek sekaligus.

B.     Kriteria penetapan Asbab al-Nuzul
Asbab Al-Nuzul merupakan sebab yang menjadi latar belakang diturunkannya ayat-ayat Alqur’an. Namun terdapat perbedaan mengenai kriteria-kriteria sebab, diantaranya sebab-sebab nuzul adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat dinuzulkan untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertayaan tertentu. Atau memberi jawaban terhadap pertayaan tertentu. [4]
  1. Asbab al-nuzul ayat dalam bentuk peristiwa, ada tiga macam.
Pertama; contoh Peristiwa berupa pertengkaran yang berkecamuk antara dua federasi, seperti; Aus dan Khazraj. Perselisan ini timbul dari intrik-intrik yang ditiupkan oleh orang-orang Yahudi sehingga mereka berteriak senjata. Peristiwa tersebut menyebabkan dinuzulkannya surat al-imran ayat 100 sampai beberapa ayat sesudahnya.
يا يها الذ ين امنواان تطيعوا فريقا من الذ ين او تواالكتب يردو كم بعد ايما نكم كا فرين
‘hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang  yang diberi al-kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir  sesudah kamu beriman.
Kedua, contoh Peristiwa sebuah kesalahan serius, seperti seorang yang mengimami salat dalam sedang dalam keadaan mabuk sehingga salah dalam membaca surat al-kafirun.
Peristiwa ini menyebabkan diturunkannya surat al–Nisa ayat 43
يا يها الذ ين امنوا لا تقربو االصلوة وانتم سكرى حتى تغلموا ما تقولون….
artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati sholat dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapakan…..”           
Ketiga, contoh berupa cita-cita dan keinginan, seperti relevansi ‘Umar bin al-khatahab dengan ketentuan ayat-ayat al-qur’an. Dalam sejarah, ada beberapa harapan ‘Umar yang dikemukakannya kepada Nabi saw. Kemudian nuzul ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan-harapan ‘Umar tersebut .Misalnya, al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Annas bahwa ‘Umar berkata: “Aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal. Aku katakan kepada Rasul bagaimana sekiranya kita jadikan makam ibrahim sebagai tempat shalat.”maka diturunkan surat al-baqarah ayat 125; (‘…jadikanlah sebaagian dari makam ibrahim tempat shalat…..”); dan aku katakan kepada Rasul, sesungguhnya istri-istrimu masuk kepada mereka itu orang yang baik-baik dan orang yang jahat, maka sekiranya engkau perintahkan mereka agar segera bertabir, maka nuzullah surat al-Ahzab ayat 53″    واذا سا لتمو هن متا عا ا فا سئلوهن من وراء حجب  (“…..jika kamu meminta keperluan kepada mereka  (istri-istri nabi), maka mintalah dari balik tabir….”); dan istri-istri Nabi mengeremuninya pada kecemburuan. Aku katakan kepada mereka: عسى ربه ان طقنكن ان يبد له ازواجا خيرا منكن ( keadanya dengan istri-itri yang lebih baik dari kamu ), maka nuzullah ayat serupa dengan itu dalam surat al-Tahrim ayat 5 (.عسى ربه ……).
2.      Adapaun sebab-sebab dinuzulkan al-qur’an dalam bentuk pertanyaan dapat dikelompokkan kepada tiga macam pula.
Pertama, contoh pertayaan yang berhubungan dengan sesuatu dimasa lampau, seperti pertayaan tentang kisah Dzal-Qurnain
Kedua, contoh pertayaan tentang sesuatu yang berlangsumg pada waktu itu, seperti pertayaan tentang ruh.
Ketiga, contoh pertayaan tentang sesuatu yang berhubungan dengan masa yang akan datang, seperti pertayaan masalah kiamat.

Lebih jauh lagi mengenai penjelasan asbab al-nuzul, menurut Moh.Chirzin, asbab al-nuzul terbagi kedalam lima macam,[5] diantarnya;
Pertama, Asbab al-nuzul yang menafsirkan kemubhaman al-qur’an, maksudnya, yang dikehendaki oleh ayat-ayat tersebut tidak dipahami kecuali jika diteliti dan diselidiki melalui seba al-nuzulnya
Contoh ayat, Allah berfirman dalam surat al-baqarah ayat 158:
ان ا الصفا والمروة من شعائرالله فمن حج البيت اواعتمر فلا جناح عليه ان يتطوف بهما ومن تطوع خيرا فان الله شاكر عليم
“Sesungguhnya shafa dan marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji kebaitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’I antara keduanya. Dan barang siapa mengerjakan suatu kewajiban dengan kerelaaan hati, maha sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri  kebaikan lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah [2] :158)
Menurut pemahaman Urwa Ibn Zubair lafal ayat ini secara tekstual tidak menunujukan bahwa sa’I itu wajib, waka ketiadaan dosa untuk mngerjakan  itu menunjukan “kebolehan” dan bukannya “wajib” tetapi Aisyah telah meolak pemahaman tersebut, dengan argumentasi; seandainya maksud ayat tersebut adalah menunjukan “tidak wajib” maka redaksinya akan berbunyi; “tidak ada dosa bagi orang yang tidak melalukan sa’I”. menurut Aisyah ayat tersebut dinuzulkan karena para sahabat merasa keberatan ber-sa’I antara Shafa dan Marwa disebabkan perbuatan tersebut meniru orang-orang jahiliyah yang biasa mengusap berhala “Isaf” yang ada di Safa dan berhala “Na’ilah” yang ada di Marwa, maka turunlah ayat tersebut.
Kedua, asbab al-nuzul yang menerangkan ayat-ayat Mujmal dan mencegah terjadinya penta’wilan ayat-ayat Mutasyabihat.
Contoh surat al-Maidah ayat 44:
……ومن لم يحكم بماانزل الله فاءلئك هم الظلمون
…….Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.
Jika ada yang menganggap “man” dalam ayat ini menunjukan Syartiyah, maka akan timbul problem “apa seseorang berbuat dosa dalam hukum akan membuat seseoarang menjadi kafir ? akan tetapi jika orang tersebut mengetahui sebab turunya ayat tersebut berkenaan dengan orang-orang Nasrani, maka dia akan tahu bahwa yang dimaksud dalam ayat itu bukanlah Syartiyah melainkan Maushuliyah. Oleh karena itu tidak mengherankan kalaulah orang-orang nasrani dikatakan telah kufur sebab mereka tidak mau berhukum kepada injil yang telah menyuruh mereka beriman kepada Muhammad SAW 
Ketiga, asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang beberapa kejadian, sementara didalam al-qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang sesuai dengan maknanya, sehingga menimbulkan keraguan, ” apakah kejadian-kejadian tersebut adalah yang dimaksud oleh ayat, atau termasuk dalam makna ayat
Contah surat al-Baqarah ayat 223:
نساؤكم حرث لكم فاتوا حرثكم انى شئتم……..
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu menghendaki 
Dalam soal menggauli istri dari arah dhubur (belakang). Sementara Jabir Abdillah mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan orang yahudi yang berkata “orang yang menggauli istrinya dari arah dhubur akan melahirkan anak yang cacat, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tersebut.
Keempat, asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang disyari’atkannya hukum-hukum yang berkenaan dengan beberapa kasus kejadian
Contoh dalam surat al-Baqarah ayat 22
ولا تنكحوا المشركت حتى يؤمن ولامة مؤمنة خير من مشركة ولو اعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبكم اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنة زالمغفرة باذنه ويبين ءايته للناس يتذكرون
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-oraang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik , walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak keneraka sedang Allah mengajak kesurga dan apapun dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat–Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Ayat diatas dinuzulkan sehubungan dengan adanya peristiwa ketika nabi mengutus Murtsid al-Ganawi ke Mekah yang bertugas mengeluarkan orang-orang Islam yang lemah, ia dirayu oleh seorang wanita musyrik yang cantik lagi kaya, tapi ia menolak karena takut kepada Allah, maka setelah pulang keMadinah dia bercerita kepada Rasullulah dan turunlah ayat tersebut diatas.
Kelima, asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang hukum suatu kejadian dengan pelaku tertentu serta melarang yang lain melakukan hal yang serupa .
Contoh kisah al-Asy’ats Ibn Qais bahwa ayat al-qur’an surat la-Imron 77 yang berbunyi :
ان الذين  يشترون بعهد الله وايمنهم ثمنا قليلا…….
Sesungguhnya diantara orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…
Ayat diatas diturunkan berkenaan denganya, sedang Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa ayat tersebut berlaku umum, dengan alasan ketika dia sedang menyampaikan hadits Nabi yang mengatakan: “orang yang melakukan sumpah dengan sumpah palsu agar dapat memperoleh harta seorang muslim, maka kelak akan bertemu dengan Allah dalam keadaan dimurkai oleh-Nya”. Allah menurunkan ayat tersebut untuk membenarkannya.
Ayat Al-Qur’an yang diwahyukan Allah melalui Malaikat Jibril, akan tetapi tidak semua ayat yang turun ada asbab nuzulnya, misalnya saja surah al-Fatihah. Tidak ada riwayat atau pendapat ulama yang menyebutkan tentang sebab turunnya surah al-Faatihah. Oleh sebab itu, surah al-Fatihah diperkirakan merupakan salah satu ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ada asbab nuzulnya.

C.      Beberapa kaidah ushul terkait dengan Sabab
Ditinjau dari segi hubungan sebab dengan hukum. Menurut Izzu Din ibn Abd al-Salam menyatakan beberapa kaidah yang terkait dengan sabab nuzul adalah:
مَا تَقْتَرِنُ أَحْكَامُهُ بِأَسْبَابِهِ
Sesuatu yang mencakup hukum bersamaan dengan sebabnya
مَا يَتَقَدَّمُ أَحْكَامُهُ عَلَى أَسْبَابِهِ.
Sesuatu yang hukumnya didahului oleh sebabnya.
مَا اُخْتُلِفَ فِي وَقْتِ تَرْتِيبِ أَحْكَامِهِ عَلَى أَسْبَابِهِ وَهُوَمُنْقَسِمٌ إلَى مَا يَتَعَجَّلُ أَحْكَامُهُ، وَإِلَى مَا يَتَأَخَّرُ عَنْهُ بَعْضُ أَحْكَامِهِ.
Sesuatu yang berbeda urutan hukum  bagi sebabnya, adakalanya lebih dahulu hukumnya dan munculnya sebagian hukum setelah adanya sebab.[6]
Ditinjau dari segi penunjukan lafadz. Maka terdapat kaidah-kaidah untuk memahami asbab al-nuzul ayat-ayat Al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai kaedah yang sering berlaku. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman dan penafsiran tentang suatu ayat al Qur’an tersebut diturunkan. Di antara kaedah-kaedah tersebut adalah:
(1) . العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بخُصُوْصِ السَّبَبِ ; (Yang dijadikan dasar pegangan adalah umumnya suatu lafadz (ayat), bukan karena khususnya suatu sebab turunnya ayat).
Al-Qur’an adalah  kitab untuk semua manusia dan untuk semua kehidupan. Karena itu Allah menjadikannya sebagai petunjuk bagi manusia dan bagi semesta alam. Oleh sebab itu tidak boleh seseorang membatasi lafadz-lafadz Al Qur’an yang bersifat umum hanya karena adanya pengkhususan sebab dari turunnya ayat al-Qur’an itu sendiri, karena hal itu berseberangan dengan keumuman Al-Qur’an, baik tempat maupun waktu.
Maka, agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami ayat Al Qur’an yang disebabkan oleh peristiwa turunnya, para muhaqqiq dari kalangan ulama ushul fiqh merumuskan suatu kaedah: “Pertimbangan harus dengan keumuman lafadz dan bukan dengan kekhususan sebab.”
Ada beberapa ayat yang turun dan mempunyai sebab-sebab turunnya, tapi para ulama sepakat untuk membawanya keluar dari sebab-sebab turunnya, seperti turunnya ayat tentang zhihar yang berkaiatan dengan diri Salamah bin Shakhr, atau ayat tentang li’an yang berhubungan dengan keadaan Hilal bin Umayyah, atau ayat tentang hukum qadzaf yang berhubungan dengan tuduhan terhadap diri Aisyah, yang semua ayat-ayat ini juga berlaku untuk selain orang-orang yang bersangkutan tersebut.
Misalnya Az-Zamakhsyari – sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Al-Qardhawi – ketika mengomentari surah Al-Humazah menyebutkan: “Bisa saja sebabnya khusus namun ancamannya bersifat umum, agar setiap orang yang melakukan hal yang serupa mencapatkan celaan dan siksaan yang sama pula, sehingga hal itu semacam pemaparan.”
Lebih lanjut Al-Qaradhawi memberikan contoh pada surah Al-Baqarah ayat 204:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِى اْلحيَوَةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَا فِى قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.”
Lalu Sa’id bertanya kepada Muhammad bin Ka’ab: “Apakah engkau tahu tentang siapa ayat ini diturunkan?” Muhammad Ka’ab menjawab, “Ayat ini turun berkaitan dengan seseorang kemudian menjadi umum setelah itu.”
Meskipun begitu, sebagian ulama ushul fiqh masih berselisih pendapat tentang istilah “asbab al-nuzul yang bersifat khusus dengan ayat yang turun berbentuk umum,” mana yang dapat dijadikan pegangan: apakah ayat yang umum atau sebab yang khusus? Di sini akan penulis kemukakan kedua pendapat tersebut, yakni:
Pertama, jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadikan pegangan adalah lafadz yang umum dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu melampau sebab yang khusus. Misalnya ayat li’an yang turun berkenaan dengan tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istriya telah berzina dengan Syuraik bin Sahma yang menyebabkan turunnya ayat ke-6 sampai ke 9 dari surah An-Nuur. Jadi hukum yang diambil dari lafadz umum ayat ini (“Dan orang-orang yang menuduh istrinya”) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain.
Kedua, Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab, bukan lafadz yang umum. Karena lafadz yang umum itu menunjukkan sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain yang menjadi sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti qiyas dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
Dari kedua pendapat di atas, yang paling kuat dan paling shahih adalah pendapat pertama, karena pendapat ini relevan dengan universalitas hukum-hukum syari’at. Selain itu, pendekatan seperti ini juga digunakan oleh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka memberlakukan hukum ayat-ayat yang memiliki sebab-sebab tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunya ayat-ayat tersebut.
(2) .  تَعَدُّدُ السَّبَبِ وَالنَّازِلُ وَاحِدٌ; (Bermacam-macam sebab turunnya sedangkan ayat yang diturunkan hanya satu).
Dalam asbab al-nuzul adakalanya dijumpai beberapa riwayat yang berbeda dalam menjelaskan sebab-sebab turunnya satu ayat Al Qur’an. Maka dalam hal ini para ulama memilih satu di antara sekian banyak riwayat tersebut dengan cara mentarjihkannya dengan cara memilih riwayat yang paling benar dan dapat diterima yang ditempuh dengan ukuran yang ditetapkan dalam ilmu asbabun nuzul.
Lebih lengkap Al-Wahidi menjelaskan bahwa jika terdapat perbedaan asbab al-nuzul untuk satu ayat Al Qur’an, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan, di antaranya:
1.         bahwa jika ditemukan beberapa riwayat asbab al-nuzul, dan di antara riwayat-riwayat yang berbeda itu pasti ada satu riwayat yang paling shahih, maka untuk itu hendaklah dilakukan tarjih dan berpegang pada satu yang benar berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari asbab al-nuzul.
2.         bahwa jika ditemukan dua riwayat asbabun nuzul yang kedua-duanya adalah shahih, namun salah satu di antaranya ada yang lebih rajih (unggul), maka hendaklah dipilih yang paling rajah tersebut.
3.         bahwa jika terdapat dua riwayat, di mana kedua-duanya shahih dan sama rajihnya, serta memungkinkan untuk mengambil kedua riwayat tersebut, maka hal ini dapat dibenarkan dan kedua-duanya dapat dijadikan pegangan.
4.         bahwa jika terdapat dua riwayat asbab al- nuzul, di mana kedua-duanya shahih dan sama rajihnya, tapi keduanya tidak mungkin dijadikan pegangan, maka dalam hal ini hendaklah menyebutkan kedua-dua riwayat tersebut, karena ayat bersangkutan dapat dipandang turun setelah terjadinya dua sebab.
Berikut ini contoh ayat Al-Qur’an yang memilki beberapa riwayat asbab al- nuzul untuk satu ayat yang turun, yaitu:
Contoh 1: Tentang asbab an-nuzul QS. At-Taubah: 113.
Menurut riwayat Imam Bukhari dari Al-Musayyab, bahwa ketika Abu Thalib akan wafat, datanglah Nabi kepadanya. Dan di sampingnya terdapat Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah. Kemudian Nabi bersabda: “Hai paman, katakanlah, Tak ada Tuhan melainkan Allah, aku akan membela engkau dengan ucapan itu (kalimah syahadat) di hadapan Allah. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: “Hai Abu Thalib, apakah engkau tidak suka millah Abdul Muthallib?” Maka berkatalah Nabi: “Sungguh aku akan mohonkan ampunan untuk engkau selama aku tidak dilarang untuk itu.” Maka turunlah firman Allah surat At-Taubah ayat 113:
ماَ كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْا أُولِى قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيْمِ
Artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk meminta ampunan (kepada Allah), bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang musyrik itu adalah isi neraka Jahiim.”
Menurut kronologis kejadian ini, bahwa kejadian meninggalnya Abu Thalib adalah di Makkah, sedangkan surat At-Taubah: 113 ini (sebagaimana disepakati oleh seluruh ulama) diturunkan di Madinah.
Contoh 2: Tentang asbab an-Nuzul QS. Al-Israa’: 85.
Menurut riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud, katanya: Aku berjalan bersama Nabi di Madinah, ketika itu beliau sedang bersandar di sebatang pohon pelepah kurma. Kemudian lewatlah beberapa orang Yahudi dan di antara mereka berkata: “Alangkah baiknya kalau ada menanyakan sesuatu kepadanya (Nabi)”. Karena itu, merekapun bertanya:  “Hai Muhammad, terangkanlah kepada kami tentang ruh.” Maka Nabi berdiri sejenak mengangkat kepalanya. Maka akupun mengetahui bahwasanya beliau sedang menerima wahyu, hingga naiklah malaikat Jibril. Kemudian Nabi membacakan ayat yang baru diterimanya, yaitu: “Katakanlah ruh itu adalah dari urusan Tuhanku, dan tiadalah diberikan ilmu kepada kamu melainkan hanya sedikit.”
Seementara menurut riwayat al-Tarmidzi dari Ibnu Abbas berkata: Orang-orang Quraisy berkata kepada orang-orang Yahudi: “Berilah kepada kami sesuatu yang akan kami tanyakan kepada orang ini (maksudnya kepada Nabi SAW).” Maka orang-orang Yahudi itu berkata: “Tanyakanlah kepada dia tentang hal ruh.” Kemudian mereka bertanya kepada Nabi tentang hal ruh itu, maka Allah menurunkan firman-Nya dalam surah Al-Israa’ ayat 85 itu.
Dalam hal ini, kita menghadapi dua riwayat, yang satu dari Al-Bukhari dan riwayatnya shahih, dan yang satu lagi dari Al-Tirmidzi yang riwayatnya juga shahih. Akan tetapi shahih Al-Bukhari menurut pandangan Jumhur lebih tinggi daripada shahih Al-Tirmidzi. Karena itu riwayat Al-Bukhari lebih dipandang dari segi asbab an nuzul ayat ini. Lagi pula, Ibnu Mas’ud sebagai perawinya menyaksikan sendiri peristiwanya, sedangkan Ibnu Abbas tidak menyaksikan peristiwa tersebut.
(3) . تَعَدُّدُ النَّازِلِ وَالسَّبَبُ وَاحِدٌ ; (bermacam-macam ayat yang turun sedangkan sebabnya hanya satu).
Dalam asbab al-nuzul terkadang juga ditemukan banyak ayat yang turun sedangkan sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan dengan suatu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan Said bin Manshur, Abdurrazzaq, At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani dan Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan; (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” (QS. Ali Imran: 195).
Juga hadits yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasa’I, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ath-Thabarani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah katanya, “Aku telah bertanya: Wahai Rasulullah, mengapakah kami tidak disebutkan dalam Al Qur’an seperti kaum laki-laki?” Maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim…. (Sampai akhir ayat QS. Al-Ahzab: 35).
Al-Hakim juga ada meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, “Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian disbanding laki-laki?” Maka Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kami iri hati terhadap apa yang dikaruniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain; karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan pula… “ (QS. An-Nisaa’: 32).
Ketiga ayat di atas turun karena satu sebab. Dalam hal ini Az-Zarqani mengatakan bahwa tidak ada masalah mengenai hal ini, karena sebab turunnya ayat bukan menjadi penghalang untuk memperoleh hikmah, petunjuk hukum, serta penjelasan berbagai persoalan yang sangat dibutuhkan umat.
(4) . الأَمْرُ لِلرَّسُولِ أَمْرًاِللأُمَّةِ ; (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah SAW juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an, tak jarang kita menemukan perintah yang memang ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW, namun ada beberapa ayat yang khitabnya tetap berlaku umum. Maka dalam hal ini kaedah “perintah yang ditujukan kepada Rasulullah SAW juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas.”
Dalam hal ini, Atabik Luthfi dalam Tafsir Tazkiyah memberikan contoh QS. Ad-Dhuhaa ayat 11, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu (Muhammad) siarkan.” Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan (tahadduts bin ni’mah) pada ayat di atas pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah, namun ayat ini juga tetap berlaku untuk kaum muslimin secara umum..[7]

D.     Pengaruh Asbab al-Nuzul terhadap istinbath
Persoalan Asbab An-Nuzul berkaitan erat dengan permasalahan hukum, hal ini disebabkan adanya kemungkinan bahwa turunnya ayat mengandung hukum syara’, dan apakah hukum itu hanya berlaku kepada orang yang menjadi penyebab turunnya ayat atau berlaku untuk umum. Perbedaan pendapat ulama mengenai tafsir ayat dan istinbat hukum terjadi karena adanya perbedaan mengenai asbab an-nuzul, yaitu apakah ayat tersebut memiliki asbab an-nuzul atau tidak. Karena inilah asbab  an-nuzul memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penafsiran dan istinbat hukum.
Contoh perbedaan pendapat ulama terdapat dalam surah Al-Baqarah (2):232 ; yang artinya :
Apabila  kamu  menalak   istrimu   lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan (bakal) suaminya, apabila mereka telah saling rela dengan yang ma’ruf. “
Pendapat pertama mengatakan :
Ayat  ini  memiliki  asbab an – nuzul yaitu  peristiwa  Mu’aqqal  bin Yasar.  Dia  menghalagi   mantan  suami  dari  adiknya untuk  menikah  kembali dengan adik perempuannya. Kemudian Allah menurunkan ayat ini, dan berdasarkan asbab an-nuzul ini,  diambil   istinbat hukum yaitu khithab (perintah) yang terdapat dalam berbeda dengan khithab yang terdapat pada kata; yaitu  yang pertama ditujukan pada suami sedangkan yang kedua ditujukan kepada wali, dengan demikian dapat diambil menjadi suatu hukum bahwa wali merupakan salah satu rukun yang harus ada dalam perkawinan, tanpa wali maka pernikahan dianggap tidak sah secara hukum agama. Dengan pendapat ini, maka ayat di atas diartikan sebagai berikut : “ Apabila suami telah menceraikan istrinya, kemudian Dia ingin rujuk kembali, maka wali tidakboleh menghalanginya.”
Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak ada asbab an-nuzul ataupun tidak ada riwayat yang shahih dalam peristiwa ini, jadi kedua kata tersebut ditujukan kepada suami, sehingga ayat ini tidak mempunyai hubungan dengan wali. Dari pendapat kedua, maka ayat di atas diartikan sebagai berikut : “ Apabila suami telah menceraikan istrinya, maka dia tidakboleh menghalang isterinya itu menikah dengan laki-laki lain”.
Ada dua kaidah yang dipakai para ulama untuk menetapkan istinbat hukum yang berkaitan erat dengan asbab an-nuzul, yaitu :
         Para ulama lebih dominan menggunakan kaidah ini, karena :
a.       Realitas, hujah yang terdapat dalam lafal bukanlah diambil dari pertanyaan atau sebab.
b.      Kaidah dasar yang menunjukkan bahwa lafal-lafal itu ditanggungkan atas makna yang segera dipahami darinya, selama tidak ada satupun dalil yang dapat memalingkannya.
c.       Para sahabat dan mujtahid berhujjah dengan umum  lafal yg muncul.
               Sedangkan para ulama yang memegang kaidah ini beralasan bahwa :
a.       Lafal umum itu terbatas pada person sebab, ia tidak mencakup yang lainnya.
b. Kisah atau pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat menunjukkan khususnya berlaku pada sebab
c. Dalam ilmu balaghah dinyatakan bahwa antara pertanyaan dan jawaban harus berhubungan.

E.      Perbedaan pendapat ulama tentang Asbab al-Nuzul
Perbedaan pendapat yang terjadi Apakah yang Menjadi Ketentuan tentang sesuatu itu adalah Lafal yang Umum atau Sebab yang Khusus ?
Para ulama berbeda pendapat tentang  ketentuan hukum yang terdapat  pada ayat, apakah ketentuan hukumnya terbatas pada peristiwa yang menyebabkan ayat itu turun atau berlaku secara umum ?
Perbedaan ini dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu :
1)             Sebab nuzul yang bersifat umum dan ayat yang turun bersifat umum
Adapun contoh ayat-ayat yang turun dengan sebab umum tidak sedikit ditemukan dalam al-Qur’an, salah satunya adalah QS. Al-Baqarah ayat 222. Berdasarkan riwayat sebagaimana yang dikutip al-Suyutiy dari Anas dia berkata, bahwa orang Yahudi tidak mau makan dan minum bersama-sama atau mencampuri istrinya bila sedang haid, bahkan mereka mengeluarkan istri mereka yang sedang haid dari rumah. Para sahabat bertanya tentang hal itu, lalu turunlah ayat 222 surat al-Baqarah di atas. Sebagai penjelasan Rasulullah bersabda “ Lakukanlah apa saja (kepada istri kalian), kecuali bersetubuh.”[8]
Dengan demikian, QS. Al-Baqarah ayat 222, adalah surah yang turun karena persoalan yang bersifat umum dan ayat yang turun juga menggunakan redaksi yang umum pula yang merupakan jawaban terhadap permasalahan yang ditanyakan oleh para sahabat.
2)             Sebab nuzul bersifat khusus dan ayat yang turun bersifat khusus pula
Pada   sebab   ini, contoh   ayat  yang  memiliki  asbab  pertanyaan  yang  bersifat  khusus  dan  jawabannya bersifat umum terdapat dalam QS. Al-. Lail ayat 17-21, yaitu :

 “ Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya. Padahal tidak ada seorangpun yang memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan.

Diriwayatkan oleh ‘Urwah bahwa Abu Bakar Shiddiq telah memerdekakan tujuh orang hamba sahaya yang disiksa oleh tuannya. Karena mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berdasarkan kederawanan Abu Bakar itulah kemudian turun ayat di atas. Maka hal ini menunjukkan bahwa ayat tersebut turun karena sebab khusus dan hanya mengikat peristiwa yang khusus terjadi sebab ayat itu turun, artinya tidak berlaku untuk umum.
3)             Sebab nuzul bersifat khusus dan ayat yang turun bersifat umum
Pada sebab ini, Nawir Yuslem dalam buku Ulumul Qur’an, menuliskan :
Al-Suyuthi memberikan argumentasi bahwa suatu ketentuan harus dipandang dari lafal yang umum itu adalah berasal dari sahabat lainnya. Mereka menetapkan pada suatu kasus berdasar lafal yang umum padahal kasusnya bersifat khusus, seperti pada kasus Hilal bin Ummayyah yang menuduh istrinya telah berbuat zina dengan syuraik bin Salma. Berdasarkan kasus itu kemudian turun ayat 6 – 9 dalam surat an-nur 39), yang artinya adalah :
“ Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar (7) Dan (sumpah) yang kelima ; bahwa la’nat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta (8) Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta (9) dan (sumpah) yang kelima ; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. “

Ayat tersebut turun berdasarkan sebab yang khusus, namun lafalnya bersifat umum, oleh karena itu lafal itu mencakup juga orang lain yang menuduh istrinya berbuat zina sebagaimana Hilal bin Ummayyah. Untuk menarik keumuman ketetapan ayat tersebut tidak diperlukan dalil lain seperti qiyas karena sebagaimana diketahui tidak ada qiyas atau ijtihad di dalam nash yang tegas.[9]






















BAB III
KESIMPULAN

1.      Pengertian Asbab al-Nuzul dari beberapa defenisi dapat disimpulkan adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya ayat, baik berupa peristiwa atau kejadian, harapan, dan pertanyaan yang ditujukan kepada Rasulullah yang bertujuan sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terjadi pada masa itu.
2.      Asbab an-nuzul dapat diketahui dari ungkapan yang ditunjukkan oleh ayat. Namun ada ungkapan yang secara pasti dapat diketahui dan ada yang tidak pasti langsung dapat diketahui.
Cara yang dilakukan para mufassir dalam menghadapi satu ayat yang memiliki banyak riwayat di antaranya :
1)   Bentuk redaksi yang tidak mengandung ketegasan.
2)   Jika salah satu redaksi riwayat tidak tegas dan riwayat lain mengatakan asbab an-nuzul yang tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan asbab an-nuzul yang tegas.
3)   Apabila riwayatnya banyak dan kesemuanya menegaskan asbab an-nuzul, dan salah satu riwayatnya adalah shahih, maka riwayat yang shahih inilah yang dijadikan pegangan.
4)   Apabila riwayatnya sama – sama shahih, maka riwayat yang lebih kuat adalah riwayat yang lebih kuat dan dapat dilihat dari kehadiran perawinya atau ada riwayat yang lebih shahih.
5)   Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu di antara sebab itu berdekatan.
6)   Jika tidak mungkin menyatukan beberapa riwayat yang shohih, yang tidak dapat dikompromikan karena jarak antara sebab-sebab berjauhan, maka hal demikian dikukuhkan pada riwayat yang berulang kali turun.
Masalah ketentuan hukum yang terdapat  pada ayat, apakah ketentuan hukumnya terbatas pada peristiwa yang menyebabkan ayat itu turun atau berlaku secara umum ?, pendapat ulama terbagi kepada dua, yaitu :
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa ketentuan itu berdasar keumuman lafal bukan dengan kekhususannya. Hal ini diperkuat oleh Al-Suyuthi dengan memberikan argumentasi bahwa suatu ketentuan harus dipandang dari lafal yang umum itu adalah berasal dari sahabat lainnya. Mereka menetapkan pada suatu kasus berdasar lafal yang umum padahal kasusnya bersifat khusus, seperti pada kasus Hilal bin Ummayyah yang menuduh istrinya telah berbuat zina dengan syuraik bin Salma. Berdasarkan kasus itu kemudian turun ayat 6 – 9 dalam surat an-nur.
2. Pendapat selain Jumhur ulama menyatakan bahwa ketentuan itu berdasarkan atas kekhususan sebab yakni lafal ayat terbatas berlakunya atas orang-orang yang karenanya ayat itu turun. Adapun kasus lain yang serupa, tidak di ambil dari ayat itu, namun di ambil kesimpulan dengan cara lain yaitu qiyas atau ijtihad. Hal itu berdasar satu qaidah yang dikenal di kalangan ahli usul.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ar- Raghib Al-Ashfihani, al-Mufradat fi Gharib al-Quran (Beirut: Dar Ulum, t.th)
Al-Fairuz Zabadi, Al-Muhith Al- Hulul Fil Makan (Beirut: Dar Ulum, t.th)
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf (Beirut: Dar kutub ilmiyyah, t.th)
Manna’ Khalil al-Qattan, Study Ilmu-ilmu Qur’an, PT. Pustaka Lentera Antar Nusa, Bandung: 2009,
Muhammad Chirzin, Al-qur’an Dan Ulumul Qur’an, Dana Bhakti Primayasa, Yogyakarta:1998
Izzu Din ibn Abd al-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalih al-Anam (Kairo. Dar Kutub Ilmiyyah 1991)
Abd Rahman Ali Sa`ad, al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur`an (Riyadh: Maktabah al-Rasyid, 1999)
Muhammad Abd. Al-Azim al-Zarqani, Manahil AL-Irfan fi Ulum Al-Qur’an,  (Beirut: Dar al-Hayat al-kitab al-Arabiah, t.th)
Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2010 )



[1] Ar- Raghib Al-Ashfihani, al-Mufradat fi Gharib al-Quran (Beirut: Dar Ulum, t.th) h.800
[2] Al-Fairuz Zabadi, Al-Muhith Al- Hulul Fil Makan (Beirut: Dar Ulum, t.th) h.756
[3] Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf (Beirut: Dar kutub ilmiyyah, t.th) h.14
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Study Ilmu-ilmu Qur’an, PT. Pustaka Lentera Antar Nusa, Bandung: 2009, h.89
[5] Muhammad Chirzin, Al-qur’an Dan Ulumul Qur’an, Dana Bhakti Primayasa, Yogyakarta:1998, h. 102-103
[6] Izzu Din ibn Abd al-Salam, Qawaidul Ahkam fi Mashalih al-Anam (Kairo. Dar Kutub Ilmiyyah 1991) juz. 2, h.98
[7] Abd Rahman Ali Sa`ad, al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur`an (Riyadh: Maktabah al-Rasyid, 1999) h. 11-12
[8] Muhammad Abd. Al-Azim al-Zarqani, Manahil AL-Irfan fi Ulum Al-Qur’an,  (Beirut: Dar al-Hayat al-kitab al-Arabiah, t.th) h. 107.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Qur’an, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2010 ) h. 24-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh: Maizul Imran, S.HI BAB I PENDAHULUAN A.     Latar belakang Pemilihan Umum. sebag...