ASBAB AL-NUZUL SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM (USHUL FIQH)
Oleh:
MAIZUL IMRAN, S.HI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Asbab
al-nuzul merupakan peristiwa yang terjadi pada masa nabi.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain mengadopsi
sumber dari orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Para ulama
menempatkan studi-studi menyangkut hadits Nabi sebagai suatu studi kesejarahan
yang paling selektif dibanding studi sejarah manapun. Oleh karena itu, kendati
upaya penspesialisasian studi asbab al-nuzul baru dimulai dua ratus
tahun setelah Nabi wafat, tetapi nilai akurasinya bisa dipertanggungjawabkan.
Secara turun-temurun dari generasi-kegenerasi lainya, riwayat-riwayat
menyangkut al-Qur’an, mulai dari Asbab al-Nuzul, penafsiran dan hal-hal
lain yang selalu dipelajari secara sungguh-sungguh, kemudian dihafal dan
dipelihara otentitasnya melalui hafalan maupun tulisan. Akhirnya, pada tahun
200 H, timbul gagasan dari Ali Ibn al-Madiniy untuk membukukan asbab
al-nuzul dalam karyanya yang berjudul Asbab al-Nuzul.
Usaha
al-Madiniy kemudian diikuti oleh Abu al-Mutharif ‘abd al-Rahman Ibn Muhammad
al-Qurthubiah dengan karyanya al-Qishash wa al–asalib al-laity nazala min
Ajliha Al-qur’an. Tokoh berikutnya adalah Abu Hasan Ali Ibn Ahmad yang
menulis asbab al-nuzul, Abu Al-Faraj Al Jawziy yang menulis al I’jab
fi Bayan al-Asbab, di abad ke 6 hijriah selanjutnya di abad ke-9. muncul
al-Suyutiy dengan karyanya Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul.
Ada bebeapa
yang sering muncul ketika membahas asbab al-nuzul, seperti terdapat beberapa
riwayat yang berbeda sementara asbab al-nuzulnya hanya satu, atau perbedaan
antara turunnya ayat dengan riwayat asbab al-nuzul; ayat turun di Mekah sedang
asbab al-nuzul di Madinah, dan atau sebaliknya, bahkan tidak jarang terjadi
rentang waktu yang begitu panjang antara turunnya ayat dengan peristiwa yang
terjadi, sehingga secara historis hal tersebut sangat tidak logis dan masuk
akal.
Menghadapi hal
semacam ini, para ulama telah menempuh beberapa metode sesuai dengan problem
yang dihadapi dalam kasus beberapa riwayat dengan satu sebab, misalnya metode
yang digunakan adalah dengan cara Mentarjih salah satu riwayat.
Pentarjihan dilakukan dengan cara memperhatikan riwayat yang lebih shahih
atau dengan memperhatikan segi yang memperkuat salah satu nya, seperti; apakah
perawi riwayat tersebut melihat langsung peristiwa yang terjadi atau hanya
mendengar dari Nabi saja.
Ketika
pentarjihan tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing riwayat tersebut
kuat, maka ditempuh cara yang kedua yaitu dengan metode al-jam’u wa
al-taufiq (dipadukan atau dikompromikan), dan permasalahannya dipandang
bahwa ayat tersebut turun bersamaan dengan dua peristiwa, dengan catatan waktu
terjadinya berdekatan. Jika kedua metode tersebut tidak bisa ditempuh, karena
rentang waktu yang berjauhan antara sebab-sebab turunnya ayat, maka dalam hal
ini masalahnya di pandang bahwa ayat tersebut diturunkan berulang-ulang.
al-Zarkasyi mengatakan; terkadang suatu ayat turun dua kali sebagai
penghormatan kepada kebesaran dan peringatan akan peristiwa yang menyebabkan,
khawatir terlupakan, sebagaimana terjadi pada surat al-fatihah dan al-ikhlas
yang turun dua kali, di Mekah dan Madinah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Asbab al-Nuzul
Asbabun nuzul secara bahasa berarti sebab turunnya al-Qur’an.Namun,
makna dari nuzul itu sendiri mempunyai beberapa arti. Para ulama berbeda
pendapat mengenai arti kata nuzul, diantaranya:
Imam
Ar- Raghib Al-Ashfihani dalam kitabnya Al-mufradaat,
kata nuzul itu mempunyai arti ‘Uluwwin
ila safalin (meluncur dari atas ke bawah, atau berarti turun). Contohnya
dalam firman Allah SWT:
وَأَنزَلَ
مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
Artinya:
“Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit.” (Q.S Al- Baqarah:22)[1]
Imam
Al-Fairuz Zabadi dalam kamusnya Al-Muhith
Al- Hulul Fil Makan, kata nuzul mempunyai arti: bertempat disuatu tempat.
Contohnya dalam firman Allah SWT:
وَقُل
رَّبِّ أَنزِلْنِي مُنزَلاً مُّبَارَكاً وَأَنتَ خَيْرُ الْمُنزِلِينَ
Artinya:
“dan berdo’alah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada
tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat.” (Q.S Al-Mu’minun: 29)[2]
Imam
Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf, kata nuzul itu berartiAl-ijtima’(kumpul).
Contohnya seperti dalam ungkapan:
Contohnya seperti dalam ungkapan:
المكان
في الرجل نزل
(orang-orang
telah berkumpul di tempat itu)[3]
Sebagian
para ulama mengatakan, kata nuzul itu berarti turun secara berangsur-angsur
sedikit demi sedikit. Contohnya, seperti dalam ayat al-qur’an:
هُوَ
الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
Artinya:
“Dialah yang menurunkan al-qur’an kepada kamu,
diantara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi
al-qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat.” (Q.S Ali Imran: 7)
Istilah
“penurunan ayat-ayat Alquran” lazimnya dikenal dengan istilah nuzul
al-qur’an atau tanzil al-qur’an.Hal yang tidak lazim untuk
mengungkapkan maksud tersebut adalah inzal al-Qur’an.
Baik kata nuzul,
tanzil dan inzal pada dasarnya berasal dari kata nazal-yanzilu yang
berarti turun.Kata tersebut merupakan kata kerja intransitif.Kata tanzil merupakan
bentuk mashdar dari nazzala yang merupakan bentuk pen-transitifan untuk
kata nazala yang kemudian berarti menurunkan. Secara sekilas, arti yang sama terdapat pada kata inzal
yang berasal dari kata anzala yang juga bentuk pentransitifan untuk
kata nazala.
Dalam bahasa Indonesia, kata nuzul
dapat diartikan sebagai “turun (kata benda)”, tanzil berarti
penurunan begitu juga dengan inzal yang berarti penurunan. Dengan
demikian, jika dilihat dari arti secara tersirat dalam bahasa Indonesianya, kata nuzul yang berarti turun, seolah-olah tanpa adanya unsur kesengajaan dalam menurunkan.
Sedangkan pada kata inzal atau tanzil yang berarti penurunan, terdapat unsur kesengajaan dalam menurunkan.
Analisa yang lebih mendalam
akan mendapatkan bahwa terdapat perbedaan arti ketiga kata tersebut. Antara
kata nuzul dengan tanzil perbedaannya memang tidak terlalu samar,
namun antara kata inzal dengan tanzil, sekilas terlihat artinya
sama.
Bila dibandingkan, dari beberapa ayat yang terdapat
alqur’an maka akan didapatkan hasil berikut:
- Bahwa kata nazzala lebih sering berobjek Alquran al-Karim.
- Pada sedikit ayat nazzal dipakai berobjek air.
- Satu ayat berisi nazzala berobjek kepada “sultan” yang diartikan sebagai alasan.
- Kata anzala sering dipakai baik untuk Alquran al-Karim atau air.
Dengan
demikian, kata nazzala lebih khusus daripada anzala.Kekhususan
tersebut terlihat pada bahwa kata nazzala lebih sering berobjek hal-hal
abstrak seperti wahyu dan sebagainya.Sementara kata anzala sangat umum
baik untuk hal yang abstrak maupun konkrit seperti Alquran al-Karim, air, logam
dan sebagainya.
Selain
itu, kata nazzala juga berarti menurunkan secara bertahap, tidak
menurunkan objek sekaligus langsung. Sementara kata anzala lebih umum
pada pengertian menurunkan objek sekaligus.
B. Kriteria penetapan Asbab al-Nuzul
Asbab
Al-Nuzul merupakan sebab yang menjadi latar belakang
diturunkannya ayat-ayat Alqur’an. Namun terdapat perbedaan mengenai
kriteria-kriteria sebab, diantaranya sebab-sebab nuzul adakalanya berbentuk
peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat
dinuzulkan untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu
atau memberi jawaban terhadap pertayaan tertentu. Atau memberi jawaban terhadap
pertayaan tertentu. [4]
- Asbab al-nuzul ayat dalam bentuk peristiwa, ada tiga macam.
Pertama;
contoh Peristiwa berupa pertengkaran yang berkecamuk antara dua federasi,
seperti; Aus dan Khazraj. Perselisan ini timbul dari intrik-intrik yang
ditiupkan oleh orang-orang Yahudi sehingga mereka berteriak senjata. Peristiwa
tersebut menyebabkan dinuzulkannya surat al-imran ayat 100 sampai beberapa ayat
sesudahnya.
يا يها الذ ين امنواان تطيعوا فريقا من الذ ين او تواالكتب يردو كم بعد ايما
نكم كا فرين
‘hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti
sebagian dari orang-orang yang diberi al-kitab, niscaya mereka akan
mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.
Kedua,
contoh Peristiwa sebuah kesalahan serius, seperti seorang yang mengimami salat
dalam sedang dalam keadaan mabuk sehingga salah dalam membaca surat al-kafirun.
Peristiwa ini
menyebabkan diturunkannya surat al–Nisa ayat 43
يا يها الذ ين امنوا لا تقربو االصلوة وانتم سكرى حتى تغلموا ما تقولون….
artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mendekati sholat dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapakan…..”
Ketiga,
contoh berupa cita-cita dan keinginan, seperti relevansi ‘Umar bin al-khatahab
dengan ketentuan ayat-ayat al-qur’an. Dalam sejarah, ada beberapa harapan ‘Umar
yang dikemukakannya kepada Nabi saw. Kemudian nuzul ayat yang kandungannya
sesuai dengan harapan-harapan ‘Umar tersebut .Misalnya, al-Bukhari dan lainnya
meriwayatkan dari Annas bahwa ‘Umar berkata: “Aku sepakat dengan Tuhanku dalam
tiga hal. Aku katakan kepada Rasul bagaimana sekiranya kita jadikan makam
ibrahim sebagai tempat shalat.”maka diturunkan surat al-baqarah ayat 125; (‘…jadikanlah
sebaagian dari makam ibrahim tempat shalat…..”); dan aku katakan kepada
Rasul, sesungguhnya istri-istrimu masuk kepada mereka itu orang yang baik-baik
dan orang yang jahat, maka sekiranya engkau perintahkan mereka agar segera
bertabir, maka nuzullah surat al-Ahzab ayat 53″ واذا سا لتمو هن متا عا ا فا سئلوهن من وراء حجب (“…..jika kamu meminta keperluan kepada mereka
(istri-istri nabi), maka mintalah dari balik tabir….”);
dan istri-istri Nabi mengeremuninya pada kecemburuan. Aku katakan kepada
mereka: عسى ربه ان
طقنكن ان يبد له ازواجا خيرا منكن ( keadanya dengan istri-itri yang lebih baik dari kamu
), maka nuzullah ayat serupa dengan itu dalam surat al-Tahrim ayat 5 (.عسى ربه ……).
2. Adapaun sebab-sebab dinuzulkan al-qur’an dalam bentuk
pertanyaan dapat dikelompokkan kepada tiga macam pula.
Pertama,
contoh pertayaan yang berhubungan dengan sesuatu dimasa lampau, seperti
pertayaan tentang kisah Dzal-Qurnain
Kedua,
contoh pertayaan tentang sesuatu yang berlangsumg pada waktu itu, seperti
pertayaan tentang ruh.
Ketiga,
contoh pertayaan tentang sesuatu yang berhubungan dengan masa yang akan datang,
seperti pertayaan masalah kiamat.
Lebih jauh lagi
mengenai penjelasan asbab al-nuzul, menurut Moh.Chirzin, asbab al-nuzul terbagi
kedalam lima macam,[5]
diantarnya;
Pertama,
Asbab al-nuzul yang menafsirkan kemubhaman al-qur’an, maksudnya, yang
dikehendaki oleh ayat-ayat tersebut tidak dipahami kecuali jika diteliti dan
diselidiki melalui seba al-nuzulnya
Contoh ayat, Allah berfirman dalam surat al-baqarah
ayat 158:
ان ا الصفا والمروة من شعائرالله فمن حج البيت اواعتمر
فلا جناح عليه ان يتطوف بهما ومن تطوع خيرا فان الله شاكر عليم
“Sesungguhnya shafa dan marwa adalah sebagian dari
syi’ar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji kebaitullah atau berumrah,
maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’I antara keduanya. Dan barang siapa
mengerjakan suatu kewajiban dengan kerelaaan hati, maha sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui (Q.S.
Al-Baqarah [2] :158)“
Menurut
pemahaman Urwa Ibn Zubair lafal ayat ini secara tekstual tidak menunujukan
bahwa sa’I itu wajib, waka ketiadaan dosa untuk mngerjakan itu menunjukan
“kebolehan” dan bukannya “wajib” tetapi Aisyah telah meolak pemahaman tersebut,
dengan argumentasi; seandainya maksud ayat tersebut adalah menunjukan “tidak
wajib” maka redaksinya akan berbunyi; “tidak ada dosa bagi orang yang tidak
melalukan sa’I”. menurut Aisyah ayat tersebut dinuzulkan karena para sahabat
merasa keberatan ber-sa’I antara Shafa dan Marwa disebabkan
perbuatan tersebut meniru orang-orang jahiliyah yang biasa mengusap berhala
“Isaf” yang ada di Safa dan berhala “Na’ilah” yang ada di Marwa, maka turunlah
ayat tersebut.
Kedua,
asbab al-nuzul yang menerangkan ayat-ayat Mujmal dan mencegah terjadinya
penta’wilan ayat-ayat Mutasyabihat.
Contoh surat
al-Maidah ayat 44:
……ومن لم يحكم بماانزل الله فاءلئك هم الظلمون
…….Barang siapa yang tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
dzalim.
Jika ada yang
menganggap “man” dalam ayat ini menunjukan Syartiyah, maka akan timbul
problem “apa seseorang berbuat dosa dalam hukum akan membuat seseoarang menjadi
kafir ? akan tetapi jika orang tersebut mengetahui sebab turunya ayat tersebut
berkenaan dengan orang-orang Nasrani, maka dia akan tahu bahwa yang
dimaksud dalam ayat itu bukanlah Syartiyah melainkan Maushuliyah.
Oleh karena itu tidak mengherankan kalaulah orang-orang nasrani dikatakan telah
kufur sebab mereka tidak mau berhukum kepada injil yang telah menyuruh mereka
beriman kepada Muhammad SAW
Ketiga,
asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang beberapa kejadian, sementara didalam
al-qur’an sendiri terdapat ayat-ayat yang sesuai dengan maknanya, sehingga
menimbulkan keraguan, ” apakah kejadian-kejadian tersebut adalah yang dimaksud
oleh ayat, atau termasuk dalam makna ayat
Contah surat al-Baqarah ayat 223:
نساؤكم حرث لكم فاتوا حرثكم انى شئتم……..
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu
bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana
saja kamu menghendaki
Dalam soal
menggauli istri dari arah dhubur (belakang). Sementara Jabir Abdillah
mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan orang yahudi yang berkata
“orang yang menggauli istrinya dari arah dhubur akan melahirkan anak yang
cacat, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tersebut.
Keempat,
asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang disyari’atkannya hukum-hukum yang
berkenaan dengan beberapa kasus kejadian
Contoh dalam surat al-Baqarah ayat 22
ولا تنكحوا المشركت حتى يؤمن ولامة مؤمنة خير من مشركة
ولو اعجبتكم ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو اعجبكم
اولئك يدعون الى النار والله يدعوا الى الجنة زالمغفرة باذنه ويبين ءايته للناس
يتذكرون
Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-oraang musyrik (dengan
wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min
lebih baik dari orang musyrik , walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak
keneraka sedang Allah mengajak kesurga dan apapun dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat–Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
Ayat diatas
dinuzulkan sehubungan dengan adanya peristiwa ketika nabi mengutus Murtsid
al-Ganawi ke Mekah yang bertugas mengeluarkan orang-orang Islam yang lemah, ia
dirayu oleh seorang wanita musyrik yang cantik lagi kaya, tapi ia menolak
karena takut kepada Allah, maka setelah pulang keMadinah dia bercerita kepada
Rasullulah dan turunlah ayat tersebut diatas.
Kelima,
asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang hukum suatu kejadian dengan pelaku
tertentu serta melarang yang lain melakukan hal yang serupa .
Contoh kisah al-Asy’ats Ibn Qais bahwa ayat al-qur’an
surat la-Imron 77 yang berbunyi :
ان الذين
يشترون بعهد الله وايمنهم ثمنا قليلا…….
Sesungguhnya diantara orang yang menukar janji (nya
dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit…
Ayat diatas
diturunkan berkenaan denganya, sedang Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa ayat
tersebut berlaku umum, dengan alasan ketika dia sedang menyampaikan hadits Nabi
yang mengatakan: “orang yang melakukan sumpah dengan sumpah palsu agar dapat
memperoleh harta seorang muslim, maka kelak akan bertemu dengan Allah dalam
keadaan dimurkai oleh-Nya”. Allah menurunkan ayat tersebut untuk
membenarkannya.
Ayat Al-Qur’an
yang diwahyukan Allah melalui Malaikat Jibril, akan tetapi tidak semua ayat
yang turun ada asbab nuzulnya, misalnya saja surah al-Fatihah. Tidak ada
riwayat atau pendapat ulama yang menyebutkan tentang sebab turunnya surah
al-Faatihah. Oleh sebab itu, surah al-Fatihah diperkirakan merupakan salah satu
ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak ada asbab nuzulnya.
C. Beberapa kaidah ushul terkait dengan Sabab
Ditinjau
dari segi hubungan sebab dengan hukum. Menurut Izzu Din ibn Abd al-Salam
menyatakan beberapa kaidah yang terkait dengan sabab nuzul adalah:
مَا تَقْتَرِنُ أَحْكَامُهُ
بِأَسْبَابِهِ
Sesuatu yang mencakup hukum
bersamaan dengan sebabnya
مَا يَتَقَدَّمُ أَحْكَامُهُ
عَلَى أَسْبَابِهِ.
Sesuatu yang hukumnya didahului
oleh sebabnya.
مَا
اُخْتُلِفَ فِي وَقْتِ تَرْتِيبِ أَحْكَامِهِ عَلَى أَسْبَابِهِ وَهُوَمُنْقَسِمٌ
إلَى مَا يَتَعَجَّلُ أَحْكَامُهُ، وَإِلَى مَا يَتَأَخَّرُ عَنْهُ بَعْضُ
أَحْكَامِهِ.
Sesuatu yang berbeda urutan hukum
bagi sebabnya, adakalanya lebih dahulu hukumnya dan munculnya sebagian
hukum setelah adanya sebab.[6]
Ditinjau
dari segi penunjukan lafadz. Maka terdapat kaidah-kaidah untuk memahami asbab
al-nuzul ayat-ayat Al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai
kaedah yang sering berlaku. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman dan
penafsiran tentang suatu ayat al Qur’an tersebut diturunkan. Di antara
kaedah-kaedah tersebut adalah:
(1)
. العِبْرَةُ
بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بخُصُوْصِ السَّبَبِ ; (Yang dijadikan dasar pegangan
adalah umumnya suatu lafadz (ayat), bukan karena khususnya suatu sebab turunnya
ayat).
Al-Qur’an
adalah kitab untuk semua manusia dan
untuk semua kehidupan. Karena itu Allah menjadikannya sebagai petunjuk bagi
manusia dan bagi semesta alam. Oleh sebab itu tidak boleh seseorang membatasi lafadz-lafadz
Al Qur’an yang bersifat umum hanya karena adanya pengkhususan sebab dari
turunnya ayat al-Qur’an itu sendiri, karena hal itu berseberangan dengan
keumuman Al-Qur’an, baik tempat maupun waktu.
Maka,
agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memahami ayat Al Qur’an yang disebabkan
oleh peristiwa turunnya, para muhaqqiq dari kalangan ulama ushul fiqh
merumuskan suatu kaedah: “Pertimbangan harus dengan keumuman lafadz dan bukan
dengan kekhususan sebab.”
Ada
beberapa ayat yang turun dan mempunyai sebab-sebab turunnya, tapi para ulama
sepakat untuk membawanya keluar dari sebab-sebab turunnya, seperti turunnya
ayat tentang zhihar yang berkaiatan dengan diri Salamah bin Shakhr, atau ayat
tentang li’an yang berhubungan dengan keadaan Hilal bin Umayyah, atau ayat
tentang hukum qadzaf yang berhubungan dengan tuduhan terhadap diri Aisyah, yang
semua ayat-ayat ini juga berlaku untuk selain orang-orang yang bersangkutan
tersebut.
Misalnya
Az-Zamakhsyari – sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Al-Qardhawi – ketika
mengomentari surah Al-Humazah menyebutkan: “Bisa saja sebabnya khusus namun
ancamannya bersifat umum, agar setiap orang yang melakukan hal yang serupa
mencapatkan celaan dan siksaan yang sama pula, sehingga hal itu semacam
pemaparan.”
Lebih
lanjut Al-Qaradhawi memberikan contoh pada surah Al-Baqarah ayat 204:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِى
اْلحيَوَةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَا فِى قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ
الْخِصَامِ
Artinya:
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik
hatimu, dan dipersksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal
ia adalah penantang yang paling keras.”
Lalu
Sa’id bertanya kepada Muhammad bin Ka’ab: “Apakah engkau tahu tentang siapa
ayat ini diturunkan?” Muhammad Ka’ab menjawab, “Ayat ini turun berkaitan dengan
seseorang kemudian menjadi umum setelah itu.”
Meskipun
begitu, sebagian ulama ushul fiqh masih berselisih pendapat tentang istilah
“asbab al-nuzul yang bersifat khusus dengan ayat yang turun berbentuk umum,” mana
yang dapat dijadikan pegangan: apakah ayat yang umum atau sebab yang khusus? Di
sini akan penulis kemukakan kedua pendapat tersebut, yakni:
Pertama,
jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadikan pegangan adalah lafadz yang umum
dan bukan sebab yang khusus. Hukum yang diambil dari lafadz yang umum itu
melampau sebab yang khusus. Misalnya ayat li’an yang turun berkenaan dengan
tuduhan Hilal bin Umayyah kepada istriya telah berzina dengan Syuraik bin Sahma
yang menyebabkan turunnya ayat ke-6 sampai ke 9 dari surah An-Nuur. Jadi hukum
yang diambil dari lafadz umum ayat ini (“Dan orang-orang yang menuduh
istrinya”) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan
pula pada kasus serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain.
Kedua,
Kelompok ulama lain berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah kekhususan
sebab, bukan lafadz yang umum. Karena lafadz yang umum itu menunjukkan sebab
yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain yang
menjadi sebab turunnya ayat, diperlukan dalil lainnya seperti qiyas dan
sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung
faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan
dengan jawabannya.
Dari
kedua pendapat di atas, yang paling kuat dan paling shahih adalah pendapat
pertama, karena pendapat ini relevan dengan universalitas hukum-hukum syari’at.
Selain itu, pendekatan seperti ini juga digunakan oleh para sahabat dan para
mujtahid umat ini. Mereka memberlakukan hukum ayat-ayat yang memiliki
sebab-sebab tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab
turunya ayat-ayat tersebut.
(2)
. تَعَدُّدُ السَّبَبِ وَالنَّازِلُ وَاحِدٌ;
(Bermacam-macam sebab turunnya sedangkan ayat yang
diturunkan hanya satu).
Dalam
asbab al-nuzul adakalanya dijumpai beberapa riwayat yang berbeda dalam
menjelaskan sebab-sebab turunnya satu ayat Al Qur’an. Maka dalam hal ini para
ulama memilih satu di antara sekian banyak riwayat tersebut dengan cara
mentarjihkannya dengan cara memilih riwayat yang paling benar dan dapat
diterima yang ditempuh dengan ukuran yang ditetapkan dalam ilmu asbabun nuzul.
Lebih
lengkap Al-Wahidi menjelaskan bahwa jika terdapat perbedaan asbab al-nuzul
untuk satu ayat Al Qur’an, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan, di
antaranya:
1. bahwa jika ditemukan beberapa riwayat
asbab al-nuzul, dan di antara riwayat-riwayat yang berbeda itu pasti ada satu
riwayat yang paling shahih, maka untuk itu hendaklah dilakukan tarjih dan
berpegang pada satu yang benar berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari
asbab al-nuzul.
2. bahwa jika ditemukan dua riwayat
asbabun nuzul yang kedua-duanya adalah shahih, namun salah satu di antaranya
ada yang lebih rajih (unggul), maka hendaklah dipilih yang paling rajah
tersebut.
3. bahwa jika terdapat dua riwayat, di
mana kedua-duanya shahih dan sama rajihnya, serta memungkinkan untuk mengambil
kedua riwayat tersebut, maka hal ini dapat dibenarkan dan kedua-duanya dapat
dijadikan pegangan.
4. bahwa jika terdapat dua riwayat asbab
al- nuzul, di mana kedua-duanya shahih dan sama rajihnya, tapi keduanya tidak
mungkin dijadikan pegangan, maka dalam hal ini hendaklah menyebutkan kedua-dua
riwayat tersebut, karena ayat bersangkutan dapat dipandang turun setelah
terjadinya dua sebab.
Berikut
ini contoh ayat Al-Qur’an yang memilki beberapa riwayat asbab al- nuzul untuk
satu ayat yang turun, yaitu:
Contoh
1: Tentang asbab an-nuzul QS. At-Taubah: 113.
Menurut
riwayat Imam Bukhari dari Al-Musayyab, bahwa ketika Abu Thalib akan wafat,
datanglah Nabi kepadanya. Dan di sampingnya terdapat Abu Jahal dan Abdullah bin
Abi Umayyah. Kemudian Nabi bersabda: “Hai paman, katakanlah, Tak ada Tuhan
melainkan Allah, aku akan membela engkau dengan ucapan itu (kalimah syahadat)
di hadapan Allah. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah berkata: “Hai Abu
Thalib, apakah engkau tidak suka millah Abdul Muthallib?” Maka berkatalah Nabi:
“Sungguh aku akan mohonkan ampunan untuk engkau selama aku tidak dilarang untuk
itu.” Maka turunlah firman Allah surat At-Taubah ayat 113:
ماَ كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْا أُولِى قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيْمِ
Artinya:
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk meminta
ampunan (kepada Allah), bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik
itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang musyrik
itu adalah isi neraka Jahiim.”
Menurut
kronologis kejadian ini, bahwa kejadian meninggalnya Abu Thalib adalah di
Makkah, sedangkan surat At-Taubah: 113 ini (sebagaimana disepakati oleh seluruh
ulama) diturunkan di Madinah.
Contoh
2: Tentang asbab an-Nuzul QS. Al-Israa’: 85.
Menurut
riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Mas’ud, katanya: Aku berjalan bersama Nabi di
Madinah, ketika itu beliau sedang bersandar di sebatang pohon pelepah kurma.
Kemudian lewatlah beberapa orang Yahudi dan di antara mereka berkata: “Alangkah
baiknya kalau ada menanyakan sesuatu kepadanya (Nabi)”. Karena itu, merekapun
bertanya: “Hai Muhammad, terangkanlah
kepada kami tentang ruh.” Maka Nabi berdiri sejenak mengangkat kepalanya. Maka
akupun mengetahui bahwasanya beliau sedang menerima wahyu, hingga naiklah
malaikat Jibril. Kemudian Nabi membacakan ayat yang baru diterimanya, yaitu:
“Katakanlah ruh itu adalah dari urusan Tuhanku, dan tiadalah diberikan ilmu
kepada kamu melainkan hanya sedikit.”
Seementara
menurut riwayat al-Tarmidzi dari Ibnu Abbas berkata: Orang-orang Quraisy
berkata kepada orang-orang Yahudi: “Berilah kepada kami sesuatu yang akan kami
tanyakan kepada orang ini (maksudnya kepada Nabi SAW).” Maka orang-orang Yahudi
itu berkata: “Tanyakanlah kepada dia tentang hal ruh.” Kemudian mereka bertanya
kepada Nabi tentang hal ruh itu, maka Allah menurunkan firman-Nya dalam surah
Al-Israa’ ayat 85 itu.
Dalam
hal ini, kita menghadapi dua riwayat, yang satu dari Al-Bukhari dan riwayatnya
shahih, dan yang satu lagi dari Al-Tirmidzi yang riwayatnya juga shahih. Akan
tetapi shahih Al-Bukhari menurut pandangan Jumhur lebih tinggi daripada shahih
Al-Tirmidzi. Karena itu riwayat Al-Bukhari lebih dipandang dari segi asbab an
nuzul ayat ini. Lagi pula, Ibnu Mas’ud sebagai perawinya menyaksikan sendiri
peristiwanya, sedangkan Ibnu Abbas tidak menyaksikan peristiwa tersebut.
(3)
. تَعَدُّدُ
النَّازِلِ وَالسَّبَبُ وَاحِدٌ ; (bermacam-macam ayat yang turun sedangkan sebabnya
hanya satu).
Dalam
asbab al-nuzul terkadang juga ditemukan banyak ayat yang turun sedangkan
sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada masalah yang cukup penting, karena
itu banyak ayat yang turun di dalam berbagai surat berkenaan dengan suatu
peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan Said bin Manshur, Abdurrazzaq,
At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ath-Thabarani dan
Al-Hakim mengatakan shahih, dari Ummu Salamah, ia berkata:
“Wahai
Rasulullah, aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan sedikitpun
mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: “Maka Tuhan mereka memperkenankan
permohonannya (dengan berfirman): Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan;
(karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain…” (QS. Ali Imran:
195).
Juga
hadits yang diriwayatkan Ahmad, An-Nasa’I, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir,
Ath-Thabarani dan Ibnu Mardawaih dari Ummu Salamah katanya, “Aku telah
bertanya: Wahai Rasulullah, mengapakah kami tidak disebutkan dalam Al Qur’an
seperti kaum laki-laki?” Maka pada suatu hari aku dikejutkan dengan seruan
Rasulullah di atas mimbar. Beliau membacakan: “Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan muslim…. (Sampai akhir ayat QS. Al-Ahzab: 35).
Al-Hakim
juga ada meriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata, “Kaum laki-laki berperang
sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya memperoleh warisan setengah
bagian disbanding laki-laki?” Maka Allah menurunkan ayat: “Dan janganlah kami
iri hati terhadap apa yang dikaruniakan kepada sebagian kamu lebih banyak dari
sebagian yang lain; karena bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan
pula… “ (QS. An-Nisaa’: 32).
Ketiga
ayat di atas turun karena satu sebab. Dalam hal ini Az-Zarqani mengatakan bahwa
tidak ada masalah mengenai hal ini, karena sebab turunnya ayat bukan menjadi
penghalang untuk memperoleh hikmah, petunjuk hukum, serta penjelasan berbagai
persoalan yang sangat dibutuhkan umat.
(4)
. الأَمْرُ
لِلرَّسُولِ أَمْرًاِللأُمَّةِ ; (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah SAW juga
perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).
Dalam
beberapa ayat Al-Qur’an, tak jarang kita menemukan perintah yang memang
ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW, namun ada beberapa ayat yang khitabnya
tetap berlaku umum. Maka dalam hal ini kaedah “perintah yang ditujukan kepada
Rasulullah SAW juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas.”
Dalam
hal ini, Atabik Luthfi dalam Tafsir Tazkiyah memberikan contoh QS. Ad-Dhuhaa
ayat 11, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu (Muhammad) siarkan.”
Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan (tahadduts bin
ni’mah) pada ayat di atas pertama kali memang ditujukan khusus untuk
Rasulullah, namun ayat ini juga tetap berlaku untuk kaum muslimin secara umum..[7]
D. Pengaruh Asbab al-Nuzul terhadap istinbath
Persoalan Asbab An-Nuzul berkaitan erat
dengan permasalahan hukum, hal ini disebabkan adanya kemungkinan bahwa turunnya
ayat mengandung hukum syara’, dan apakah hukum itu hanya berlaku kepada orang
yang menjadi penyebab turunnya ayat atau berlaku untuk umum. Perbedaan pendapat
ulama mengenai tafsir ayat dan istinbat hukum terjadi karena adanya perbedaan
mengenai asbab an-nuzul, yaitu apakah ayat tersebut memiliki asbab an-nuzul
atau tidak. Karena inilah asbab an-nuzul
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penafsiran dan istinbat hukum.
Contoh perbedaan pendapat ulama
terdapat dalam surah Al-Baqarah (2):232 ; yang artinya :
“ Apabila kamu
menalak istrimu lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan (bakal) suaminya, apabila
mereka telah saling rela dengan yang ma’ruf. “
Pendapat pertama mengatakan :
Ayat
ini memiliki asbab an – nuzul yaitu peristiwa
Mu’aqqal bin Yasar. Dia
menghalagi mantan suami
dari adiknya untuk menikah
kembali dengan adik perempuannya. Kemudian Allah menurunkan ayat ini,
dan berdasarkan asbab an-nuzul ini,
diambil istinbat hukum yaitu khithab
(perintah) yang terdapat dalam berbeda dengan khithab yang terdapat pada
kata; yaitu yang pertama ditujukan pada
suami sedangkan yang kedua ditujukan kepada wali, dengan demikian dapat diambil
menjadi suatu hukum bahwa wali merupakan salah satu rukun yang harus ada dalam
perkawinan, tanpa wali maka pernikahan dianggap tidak sah secara hukum agama.
Dengan pendapat ini, maka ayat di atas diartikan sebagai berikut : “ Apabila
suami telah menceraikan istrinya, kemudian Dia ingin rujuk kembali, maka wali
tidakboleh menghalanginya.”
Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak
ada asbab an-nuzul ataupun tidak ada riwayat yang shahih dalam peristiwa
ini, jadi kedua kata tersebut ditujukan kepada suami, sehingga ayat ini tidak
mempunyai hubungan dengan wali. Dari pendapat kedua, maka ayat di atas
diartikan sebagai berikut : “ Apabila suami telah menceraikan istrinya, maka
dia tidakboleh menghalang isterinya itu menikah dengan laki-laki lain”.
Ada dua kaidah yang dipakai para ulama
untuk menetapkan istinbat hukum yang berkaitan erat dengan asbab an-nuzul,
yaitu :
Para ulama lebih dominan menggunakan kaidah ini, karena :
a. Realitas, hujah yang
terdapat dalam lafal bukanlah diambil dari pertanyaan atau sebab.
b. Kaidah dasar yang
menunjukkan bahwa lafal-lafal itu ditanggungkan atas makna yang segera dipahami
darinya, selama tidak ada satupun dalil yang dapat memalingkannya.
c. Para sahabat dan mujtahid
berhujjah dengan umum lafal yg muncul.
Sedangkan
para ulama yang memegang kaidah ini beralasan bahwa :
a. Lafal umum itu terbatas
pada person sebab, ia tidak mencakup yang lainnya.
b. Kisah atau pertanyaan yang menjadi
sebab turunnya ayat menunjukkan khususnya berlaku pada sebab
c. Dalam ilmu balaghah dinyatakan bahwa
antara pertanyaan dan jawaban harus berhubungan.
E. Perbedaan pendapat ulama tentang Asbab al-Nuzul
Perbedaan
pendapat yang terjadi Apakah
yang Menjadi Ketentuan tentang sesuatu itu adalah Lafal yang Umum atau Sebab
yang Khusus ?
Para ulama berbeda pendapat
tentang ketentuan hukum yang
terdapat pada ayat, apakah ketentuan
hukumnya terbatas pada peristiwa yang menyebabkan ayat itu turun atau berlaku
secara umum ?
Perbedaan ini dapat dilihat dari tiga
aspek, yaitu :
1)
Sebab
nuzul yang bersifat umum dan ayat yang turun bersifat umum
Adapun contoh ayat-ayat yang turun
dengan sebab umum tidak sedikit ditemukan dalam al-Qur’an, salah satunya adalah
QS. Al-Baqarah ayat 222. Berdasarkan riwayat sebagaimana yang dikutip al-Suyutiy
dari Anas dia berkata, bahwa orang Yahudi tidak mau makan dan minum
bersama-sama atau mencampuri istrinya bila sedang haid, bahkan mereka
mengeluarkan istri mereka yang sedang haid dari rumah. Para sahabat bertanya
tentang hal itu, lalu turunlah ayat 222 surat al-Baqarah di atas. Sebagai
penjelasan Rasulullah bersabda “ Lakukanlah apa saja (kepada istri kalian),
kecuali bersetubuh.”[8]
Dengan demikian, QS. Al-Baqarah ayat
222, adalah surah yang turun karena persoalan yang bersifat umum dan ayat yang
turun juga menggunakan redaksi yang umum pula yang merupakan jawaban terhadap
permasalahan yang ditanyakan oleh para sahabat.
2)
Sebab
nuzul bersifat khusus dan ayat yang turun bersifat khusus pula
Pada
sebab ini, contoh ayat
yang memiliki asbab
pertanyaan yang bersifat
khusus dan jawabannya bersifat umum terdapat dalam QS.
Al-. Lail ayat 17-21, yaitu :
“ Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling
taqwa dari neraka itu. Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk
membersihkannya. Padahal tidak ada seorangpun yang memberikan suatu nikmat
kepadanya yang harus dibalasnya. Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena
mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak Dia benar-benar mendapat
kepuasan.
Diriwayatkan oleh ‘Urwah bahwa Abu
Bakar Shiddiq telah memerdekakan tujuh orang hamba sahaya yang disiksa oleh
tuannya. Karena mereka telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berdasarkan
kederawanan Abu Bakar itulah kemudian turun ayat di atas. Maka hal ini
menunjukkan bahwa ayat tersebut turun karena sebab khusus dan hanya mengikat
peristiwa yang khusus terjadi sebab ayat itu turun, artinya tidak berlaku untuk
umum.
3)
Sebab
nuzul bersifat khusus dan ayat yang turun bersifat umum
Pada sebab ini, Nawir Yuslem dalam buku
Ulumul Qur’an, menuliskan :
Al-Suyuthi memberikan argumentasi bahwa
suatu ketentuan harus dipandang dari lafal yang umum itu adalah berasal dari
sahabat lainnya. Mereka menetapkan pada suatu kasus berdasar lafal yang umum
padahal kasusnya bersifat khusus, seperti pada kasus Hilal bin Ummayyah yang
menuduh istrinya telah berbuat zina dengan syuraik bin Salma. Berdasarkan kasus
itu kemudian turun ayat 6 – 9 dalam surat an-nur 39), yang artinya adalah :
“ Dan orang-orang yang menuduh istrinya
(berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar (7) Dan (sumpah) yang
kelima ; bahwa la’nat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta
(8) Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta (9)
dan (sumpah) yang kelima ; bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar. “
Ayat tersebut turun berdasarkan sebab
yang khusus, namun lafalnya bersifat umum, oleh karena itu lafal itu mencakup
juga orang lain yang menuduh istrinya berbuat zina sebagaimana Hilal bin Ummayyah.
Untuk menarik keumuman ketetapan ayat tersebut tidak diperlukan dalil lain
seperti qiyas karena sebagaimana diketahui tidak ada qiyas atau ijtihad di
dalam nash yang tegas.[9]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Pengertian Asbab al-Nuzul dari beberapa
defenisi dapat disimpulkan adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya ayat,
baik berupa peristiwa atau kejadian, harapan, dan pertanyaan yang ditujukan
kepada Rasulullah yang bertujuan sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang
terjadi pada masa itu.
2.
Asbab an-nuzul dapat diketahui dari ungkapan
yang ditunjukkan oleh ayat. Namun ada ungkapan yang secara pasti dapat
diketahui dan ada yang tidak pasti langsung dapat diketahui.
Cara yang dilakukan para mufassir dalam
menghadapi satu ayat yang memiliki banyak riwayat di antaranya :
1) Bentuk redaksi yang tidak mengandung
ketegasan.
2) Jika salah satu redaksi riwayat tidak tegas
dan riwayat lain mengatakan asbab an-nuzul yang tegas, maka yang menjadi
pegangan adalah riwayat yang menyebutkan asbab an-nuzul yang tegas.
3) Apabila riwayatnya banyak dan kesemuanya
menegaskan asbab an-nuzul, dan salah satu riwayatnya adalah shahih, maka
riwayat yang shahih inilah yang dijadikan pegangan.
4) Apabila riwayatnya sama – sama shahih, maka
riwayat yang lebih kuat adalah riwayat yang lebih kuat dan dapat dilihat dari
kehadiran perawinya atau ada riwayat yang lebih shahih.
5) Jika riwayat-riwayat tersebut sama kuat,
maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan jika mungkin, hingga
dinyatakan bahwa ayat itu turun sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih
karena jarak waktu di antara sebab itu berdekatan.
6) Jika tidak mungkin menyatukan beberapa
riwayat yang shohih, yang tidak dapat dikompromikan karena jarak antara
sebab-sebab berjauhan, maka hal demikian dikukuhkan pada riwayat yang berulang
kali turun.
Masalah ketentuan hukum yang terdapat pada ayat, apakah ketentuan hukumnya terbatas
pada peristiwa yang menyebabkan ayat itu turun atau berlaku secara umum ?,
pendapat ulama terbagi kepada dua, yaitu :
1.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ketentuan itu berdasar keumuman lafal bukan
dengan kekhususannya. Hal ini diperkuat oleh Al-Suyuthi dengan memberikan
argumentasi bahwa suatu ketentuan harus dipandang dari lafal yang umum itu
adalah berasal dari sahabat lainnya. Mereka menetapkan pada suatu kasus
berdasar lafal yang umum padahal kasusnya bersifat khusus, seperti pada kasus
Hilal bin Ummayyah yang menuduh istrinya telah berbuat zina dengan syuraik bin
Salma. Berdasarkan kasus itu kemudian turun ayat 6 – 9 dalam surat an-nur.
2.
Pendapat selain Jumhur ulama menyatakan bahwa ketentuan itu berdasarkan atas
kekhususan sebab yakni lafal ayat terbatas berlakunya atas orang-orang yang
karenanya ayat itu turun. Adapun kasus lain yang serupa, tidak di ambil dari
ayat itu, namun di ambil kesimpulan dengan cara lain yaitu qiyas atau ijtihad.
Hal itu berdasar satu qaidah yang dikenal di kalangan ahli usul.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ar- Raghib Al-Ashfihani, al-Mufradat fi
Gharib al-Quran (Beirut: Dar Ulum, t.th)
Al-Fairuz Zabadi, Al-Muhith Al- Hulul Fil
Makan (Beirut: Dar Ulum, t.th)
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf (Beirut: Dar
kutub ilmiyyah, t.th)
Manna’ Khalil al-Qattan, Study Ilmu-ilmu
Qur’an, PT. Pustaka Lentera Antar Nusa, Bandung: 2009,
Muhammad Chirzin, Al-qur’an Dan Ulumul
Qur’an, Dana Bhakti Primayasa, Yogyakarta:1998
Izzu Din ibn Abd al-Salam, Qawaidul Ahkam fi
Mashalih al-Anam (Kairo. Dar Kutub Ilmiyyah 1991)
Abd Rahman Ali Sa`ad, al-Qawaid al-Hisan li
Tafsir al-Qur`an (Riyadh: Maktabah al-Rasyid, 1999)
Muhammad Abd. Al-Azim al-Zarqani, Manahil
AL-Irfan fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut:
Dar al-Hayat al-kitab al-Arabiah, t.th)
Nawir
Yuslem, Ulumul Qur’an, (Bandung, Cita Pustaka Media Perintis, 2010 )
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Study Ilmu-ilmu Qur’an, PT. Pustaka Lentera Antar Nusa, Bandung:
2009, h.89
[5] Muhammad Chirzin, Al-qur’an
Dan Ulumul Qur’an, Dana Bhakti Primayasa, Yogyakarta:1998,
h. 102-103
[6] Izzu Din ibn Abd al-Salam, Qawaidul Ahkam
fi Mashalih al-Anam (Kairo. Dar Kutub Ilmiyyah 1991) juz. 2, h.98
[7] Abd Rahman Ali Sa`ad, al-Qawaid al-Hisan li
Tafsir al-Qur`an (Riyadh: Maktabah al-Rasyid, 1999) h. 11-12
[8] Muhammad
Abd. Al-Azim al-Zarqani, Manahil AL-Irfan
fi Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar
al-Hayat al-kitab al-Arabiah, t.th) h. 107.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar