Sabtu, 03 Januari 2015

PENGUPAHAN DA`I PERSPEKTIF HUKUM ISLAM



PENGUPAHAN DA`I PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Oleh:

MAIZUL IMRAN, S.HI


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia secara umum memilih hidup beragama karena agama diyakini oleh mereka memiliki fungsi-fungsi yang membantu menjawab kebutuhan asasi dari kehidupan mereka. Di antara fungsi agama sebagaimana dirangkum oleh para pakar sosiologi adalah fungsi edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, pemupuk persaudaraan, dan fungsi transformatif.[1]
Fungsi edukatif agama adalah mengajarkan nilai-nilai otoritatif tentang makna dan tujuan hidup, mengenalkan manusia tentang Sang Pencipta, dan memberikan ganjaran atau hukuman yang setimpal atas perbuatan baik dan buruk. Fungsi penyelamatan artinya memberikan jaminan keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Fungsi pengawasan sosial agama adalah menjadi pengawal kaidah-kaidah susila yang dipandang baik dan berkembang di masyarakat serta melakukan kritik terhadap fenomena yang melanggar kaidah-kaidah susila. Agama disebut memiliki fungsi pemupuk persaudaraan karena dianggap mampu mempersatukan sekian banyak bangsa yang berbeda ras dan kebudayaan dalam satu keluarga besar di mana mereka menemukan ketenteraman dan kedamain. Sedangkan disebut memiliki fungsi transformatif karena diyakini dapat mengubah sebuah kondisi dari bentuk kehidupan masyarakat lama menuju bentuk kehidupan baru.[2]
Mengingat besarnya fungsi agama Ibnu Khaldun (w.808 H) memandang bahwa agama adalah salah satu pilar kekokohan suatu bangsa. Beliau mengatakan bahwa sebuah negara akan menjadi kuat dan besar jika negara tersebut berbasis agama atau selalu menyerukan nilai-nilai kebenaran.[3] Senada dengan Ibnu Khaldun, Jean-Jacques Rousseau (w.1782 M) berpandangan bahwa pemerintahan yang sehat dan kuat adalah pemerintahan yang dipimpin langsung oleh seorang khalifah atau pemimpin politik yang sekaligus juga pemimpin agama sebagaimana yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad dan Khulafā’urrāshidīn.[4] Bangsa Indonesia sejak lahirnya memiliki semangat keagamaan yang baik. Bukti nyata dari kesadaran beragama itu tertuang dalam dokumen negara Indonesia, yaitu dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pembukaan tersebut dicantumkan bahwa Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Meskipun redaksi yang dikenal sebagai Piagam Jakarta di atas akhirnya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Ir. Sukarno tanggal 18 Agustus 1945, penghapusan beberapa kata tersebut tidak mengurangi arti pengamalan nilai-nilai agama bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[5]
Pemerintah Indonesia dalam konsep kenegaraannya memandang bahwa pembangunan agama merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak memeluk agama dan beribadat menurut agama dan keyakinan masingmasing. Selain memenuhi salah satu kebutuhan dasar rakyat, pemerintah juga meyakini bahwa agama mampu membendung kerusakan moral masyarakat. Pemerintah Indonesia sangat menyadari akan adanya korelasi yang kuat antara kerusakan moral yang terjadi saat ini dengan lemahnya komitmen untuk menerapkan nilai-nilai agama.
Meskipun agama diyakini umatnya memiliki peran yang sangat strategis, namun ia tidak dapat berfungsi dengan sendirinya manakala tidak dikenalkan dan diajarkan oleh orang yang mengerti secara luas dan mendalam tentang ajaran agama tersebut. Bahkan agama bisa berubah menjadi momok yang menakutkan jika tidak dipahami secara baik, karena bisa berakibat pada pelegalan pembunuhan dan perusakan atas nama agama.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Da`i dan Ruang Lingkupnya
Orang yang mengajak, mendorong dan memotivasi orang lain berdasarkan baṣīrah (pemahaman yang luas dan mendalam) untuk meniti jalan Allah dan istikamah di jalan-Nya serta berjuang bersama meninggikan agama Allah dalam terminologi ilmu dakwah dinamakan dai.
Para dai dalam definisi di atas adalah para ulama ‘āmilīn, mubalig,[6] dan orang-orang yang bekerja di bidang agama yang bisa dijadikan uswah,[7] yaitu ulama yang sekaligus berperan sebagai praktisi, bukan sekedar konseptor atau orator. Dai dalam Islam mencakup semua kriteria di atas. Sepeninggal Rasulullah saw mereka dianggap sebagai pengganti Rasul. Di tangan merekalah fungsi-fungsi agama di atas diembankan. Rasulullah menyatakan bahwa para dai yang tampil menyuarakan nilainilai kebenaran akan selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, dai sangat diharapkan memiliki ilmu keislaman yang mendalam karena materi yang akan mereka sampaikan adalah tentang ajaran Islam. Selain itu, mereka juga diharuskan menguasai ilmu-ilmu dakwah serta ilmu komunikasi yang memadai, karena ajaran Islam yang mereka sampaikan bisa diterima dan berpengaruh pada audiens.
Di antara bentuk pengaruh strategis ilmu komunikasi dalam kontribuasinya terhadap dakwah adalah: 1) Dapat mengubah pendapat orang lain; Kekuatan mengubah pendapat orang lain disebut Nabi Muhammad sebagai ‟sihir‟, karena bisa mengalihkan perhatian pendengar kepada makna yang diinginkan oleh pembicara, meskipun keliru. 2) Menjadi faktor yang menentukan baik buruknya manusia, karena pada saat melakukan komunikasi kita hanya dihadapkan kepada dua pilihan, yaitu mempengaruhi atau dipengaruhi. 3) Dapat mendatangkan kenyamanan psikologis bagi komunikator dan sekaligus komunikan; 4) Jika diungkapkan dengan bahasa yang penuh optimistis, komunikasi mampu membangkitkan semangat untuk melakukan perubahan.
Selain menyampaikan pesan, dai juga diharapkan mampu menjadikan dirinya teladan buat masyarakatnya. Tutur kata dan perilaku yang baik dari dai sangat potensial ditiru dan dicontoh oleh masyarakat. Gabriel Tarde menyebut fenomena peniruan sikap dan perilaku seseorang dengan istilah imitasi.[8] Paduan antara pesan yang dikemas dengan baik dan perilaku yang dapat ditiru dan diteladani oleh masyarakat membuat peran dai sangat strategis untuk melakukan perubahan, meskipun pada akhirnya perubahan itu sendiri sangat tergantung dari tekad komunikan untuk berubah.
Mengingat pentingnya agama bagi masyarakat, maka beramal di lapangan dakwah dan mengajarkan agama kepada masyarakat dalam pandangan Islam adalah pilihan pekerjaan yang paling mulia.
Secara umum dai dapat dikelompokkan dalam kategori pemimpin agama (religious leader).[9] Di antara pekerjaan yang dilakukan oleh pemimpin agama adalah: a) Melakukan pelayanan ibadah dan menyelenggarakan upacara-upacara ritual, seperti kelahiran, pernikahan, kematian; b) Menyelenggarakan pendidikan agama untuk komunitas di mana mereka berada; c) Melakukan pertemuan-pertemuan kelompok; d) Memberikan konseling kepada seseorang atau pasangan terkait dengan masalah spiritual, emosional, dan kebutuhan-kebutuhan personal; e) Mengunjungi orang-orang di penjara, rumah sakit, dan dari rumah ke rumah.
Bidang pekerjaan yang digeluti oleh para dai sebagaimana disebutkan di atas dirasakan sangat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dan sejalan dengan usaha pemerintah untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat.
Kalau melihat agenda pembangunan nasional Indonesia, terutama dalam kebijakan meningkatkan kualitas kehidupan beragama tahun 2004 hingga 2009, kita dapat membaca bahwa pemerintah sebenarnya memahami peran dai untuk menyukseskan agenda tersebut. Di antara arah kebijakan pemerintah tahun 2004-2009 dalam upaya meningkatkan kualitas beragama adalah meningkatkan kualitas penyuluh agama dan pelayanan keagamaan lainnya.
Dalam tataran kebijakan, langkah yang diambil pemerintah sudah benar dan sangat strategis. Jika kebijakan ini diterapkan secara serius dengan segala perangkat pendukungnya maka kegundahan pemerintah akan gejala negatif yang berkembang di masyarakat seperti perilaku asusila, praktik KKN, penyalahgunaan narkoba, perjudian, meningkatnya angka perceraian, ketidakharmonisan keluarga, pornografi, dan pornoaksi akan dapat diminimalisir.
Sayangnya, pekerjaan yang membawa dampak positif terhadap perubahan ini belum masuk dalam prioritas pekerjaan yang mendapatkan perhatian besar dari pemerintah, tidak seperti guru atau dokter. Sedangkan di kalangan para ulama, mereka sepakat bahwa dakwah adalah profesi paling mulia, tetapi mereka berselisih pendapat tentang hukum boleh tidaknya dai mengambil upah dari profesinya itu.
Ide memasukkan kerja dakwah sebagai salah satu pekerjaan dilontarkan oleh Ibnu Khaldun (w. 808 H). Dalam kitabnya al-Muqaddimah, saat menyebutkantentang bentuk-bentuk profesi dan pekerjaan, salah satu profesi yang beliau masukkan adalah ’al-qā’imīn biumūr al-dīn (orang-orang yang bekerja di bidang agama). Yang dimaksud oleh Ibnu Khaldun adalah kadi, mufti, guru agama, imam, khatib, muazin, dan yang sejenisnya. Menurut beliau, orang yang bekerja di bidang ini secara umum aset kekayaan mereka tidak besar. Sebabnya, menurut beliau, adalah karena tidak banyak orang yang memiliki kepentingan langsung dengan pekerjaan ini. Mereka tidak menganggap ruang lingkup pekerjaan dakwah sebagai kebutuhan dasar. Karena itu tidak banyak yang merasa berkepentingan dengan mereka.[10] Ulama-ulama sebelum Ibnu Khaldun sebenarnya, sudah memberikan isyarat di dalam kitab-kitab mereka tentang adanya gejala sosial ini. Isyarat itu setidaknya dapat dilihat dari kontroversi pendapat sekitar boleh tidaknya dakwah dijadikan profesi sejak abad pertama Hijriyah. Mazhab empat, Imam Hanafi (80-150 H), Imam Malik (93-179 H), Imam Syafii, (150- 204 H) dan Imam Hambali (164 -241 H) telah berbicara tentang masalah ini dalam konteks respons terhadap pertanyaan boleh tidaknya mengambil upah dari berdakwah. Dalam kajian-kajian fiqh, pekerjaan dan pengupahan dai dapat ditemukan dalam kajian tentang ijārah [11] dan jiʻālah.[12]
Di antara kitab-kitab Mazhab Hanafi yang mengkaji masalah ini adalah SharMaʻāni al-Âtsār, karya Abu Ja‟far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salamah al-Azdi al-Ṭaḥāwi. Beliau memasukkan kajian pengupahan dai dalam kitab ijārah.[13] Ibnu Maudūd al-Mūṣili dalam kitab al-Ikhtiyār li Ta'līl al-Mukhtār juga memasukkan kajian ini dalam kitab ijārah.[14]
Sedangkan Mazhab Maliki seperti al-Mudawwanah juga memasukkan kajian ini dalam kitab al-ju’lu wa al-ijārah.[15] Mazhab Syafii juga demikian, memasukkan kajian ini dalam kitab al-ijārah. Sedangan kitab al-Mughni karya Ibnu Qudāmah al- Ḥanbali memasukkannya dalam pasal al- jiʻālah.
Para ulama fiqh yang menjadi rujukan umat Islam secara umum memiliki pendapat yang beragam dalam menyikapi persoalan ini. Kitab fiqh Mazhab Hanafi, al-Ikhtiyār li Taʻlīl al-Mukhtār menyebutkan dua pendapat Mazhab Ḥanafi dalam hukum menerima upah dari kerja dakwah. Para ulama mutaqaddimīn (terdahulu) berpendapat tidak boleh menerima upah, sedangkan muta’akhkhirīn-nya mengatakan boleh. Mazhab Maliki sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Mudawwanah, ketika ditanya tentang hukum mengontrak seseorang untuk menjadi muazin atau guru agama, Imam Malik berpendapat bahwa hal tersebut tidak menjadi masalah. Imam al-Syafii berpendapat bahwa muazin sebaiknya tidak dibayar, kecuali tidak menemukan muazin yang sukarela melakukannya.[16] Sedangkan Mazhab Hambali secara umum memandang bahwa muazin tidak boleh mengambil upah dari pekerjaannya sebagai muazin.
Hingga hari ini di dalam masyarakat masih terjadi kontroversi hebat seputar status dai yang hidup dari aktivitas dakwah. Awal tahun 2001, majalah Saksi menurunkan headline berjudul ‟Dai Matre‟, membahas adanya kecenderungan dai untuk mencari hidup dari lahan kerja dakwah. Selanjutnya Majalah Harkat di tahun yang sama juga menurunkan headline yang berjudul “Menyingkap Gaya Hidup ParaUstadz‟, isinya menunjukkan kontroversi seputar dai yang menghidupi dirinya dari kerja dakwah.[17]
Sebuah situs berbahasa Arab yang bernama ‟Muntadayāt al-Shabakah al- Alma‘i‟ membuka rubrik diskusi bertemakan ‟alab al-Dunya bi al- Dîn’ (mencari dunia dengan agama). Ada lima tema sentral yang didiskusikan: pertama, mencari nafkah dengan Alquran dalam bentuk menjadi imam, menghafal Alquran dalam rangka untuk mendapatkan pekerjaan mengajarkan Alquran, atau mempelajari dan menghafal Alquran agar mendapatkan perhatian pemerintah; kedua, membangun masjid agar bisa diangkat menjadi imam, muazin, atau petugas masjid; ketiga, berceramah dengan mendapatkan imbalan; keempat, bisnis barang-barang islami seperti kaset murattal, dsb; kelima, berpenampilan beda dengan masyarakat atas nama agama dengan mempertontonkan perilaku yang aneh-aneh. Peserta diskusi dengan berbagai belakang masih terbelah dalam dua pendapat besar, antara setuju dan tidak setuju. Kalangan yang menolak menganggap bahwa ceramah seharusnya tidak dijadikan mata pencaharian. Mereka beralasan bahwa amplop dapat menyebabkan dai tidak kritis, tidak independen, dan tidak berwibawa dalam dakwahnya. Bahkan dengan metoda pemberian amplop seperti ini, yang menjadi raja adalah pihak pemilik kapital. Jika tidak suka, maka dia memiliki hak penuh untuk tidak memakai dai tersebut, padahal sangat mungkin apa yang dikatakan dai itu adalah benar. Kalau ini terjadi, maka pesan dakwah tidak mungkin tersampaikan dengan utuh. Akibatnya, ada dai yang dianggap tidak berani menyuarakan kebenaran secara gamblang karena khawatir tidak diundang lagi.
Ketidakjelasan status hukum terhadap masalah ini berdampak kepada kurangnya perhatian berbagai pihak terhadap kehidupan para dai. Sebagian mereka hidup atas pemberian sukarela masyarakat di mana mereka beraktivitas. Mereka diminta untuk mengajar di banyak tempat, kadang-kadang satu hari penuh melayani kebutuhan masyarakat, pagi, siang, sore, dan malam. Di antara mereka ada yang pulang dengan tangan kosong, ada yang pulang dengan membawa sekotak nasi, dan ada juga yang membawa amplop.
Kesimpangsiuran pendapat tentang hukum mengambil upah ini juga menimbulkan ketidakjelasan pendapatan dai. Budaya kontrak kerja, berapa lama mereka akan menimba ilmu dari dai, berapa imbalan yang layak untuk mereka terima, belum menjadi budaya masyarakat kita. Ada dai yang tidak mendapatkan imbalan materi sama sekali, ada yang mendapatkan bayaran sangat rendah, ada yang mendapat imbalan sedang dan ada pula yang mendapatkan imbalan sangat tinggi.
Akibat ketidakjelasan perjanjian di awal ini sering menimbulkan penyakit hati. Sebagian dai karena tidak puas menerima imbalan sedikit atau tidak diberi imbalan, sedang di tempat lain dia pernah mendapatkan hasil yang lumayan, maka terjadilah penolakan halus terhadap permintaan masyarakat yang tidak member imbalan atau minim imbalannya, meskipun sebenarnya dia belum memiliki jadwal di tempat yang lain. Sebaliknya, jika tawaran datang dari tempat yang cukup menjanjikan, dia terima secara spontan meskipun harus mengorbankan janji yang telah dibuat dengan pihak lain. Sebenarnya tidak layak dai bersikap seperti itu, tetapi kasus di lapangan sering terjadi. Dampak lain adalah penyebaran dai menjadi tidak merata, banyak menumpuk di daerah perkotaan, sedangkan di desa mencari orang yang bisa khutbah saja kesulitan. Di antara sebab tidak idealnya sebaran dai adalah kekhawatiran mereka tidak dapat hidup layak jika terjun ke pedesaan, karena secara umum pedesaan tidak menjanjikan pendapatan sebagaimana di kota.
Kondisi dai seperti ini akan mengancam gerak laju dakwah. Dakwah yang bertujuan untuk melakukan transformasi sosial, budaya, ekonomi, politik, dan lainnya dari kondisi tertentu menuju kondisi ideal memerlukan orang-orang profesional, inovatif, dan mandiri. Sedangkan orang yang sibuk memikirkan kehidupan harian keluarganya tidak akan produktif dalam kerja-kerjanya. Menurut Rasulullah Saw, kemiskinan dan kefakiran membuat orang tidak bisa berfikir merancang masa depan. Beliau menyebutnya dengan ’faqran munsiya’. Sedangkan pemerintah sampai hari ini belum menjadikan program ini sebagai salah satu program prioritas. Dari 224.778.700 penduduk Indonesia hari ini, jumlah penyuluh agama fungsional yang diangkat oleh Kementerian Agama menurut data tahun 2007 berjumlah 4.086 orang. Artinya, satu penyuluh harus melayani sekitar 55.000 masyarakat. Penyuluh-penyuluh tersebut dikategorikan dalam tiga tingkatan, yaitu penyuluh fungsional, penyuluh terampil dan penyuluh profesional. Pembagian ini berdasarkan kepada kepangkatan dan masa bakti masing-masing penyuluh di Kementerian Agama.
Kurangnya perhatian pemerintah dalam hal ini juga tampak dari pemberian honorer terhadap penyuluh non PNS. Jumlah penyuluh yang dipilih dan besaran honornya masih sangat jauh dari harapan. Selain itu, pembinaan dan peningkatan kualitas para dai dan penyuluh juga sangat jarang diselenggarakan.
Di sisi lain, beberapa kalangan melangkah sangat jauh dari tradisi di atas. Mereka bahkan terang-terangan memasang tarif jika diundang untuk ceramah atau mengajar di tempat tertentu, meskipun biasanya melalui para manajernya. Kalangan ini betul-betul mengelola dakwah dengan manajemen bisnis modern. Mereka dating menawarkan program, menandatangani nota kesepahaman, dan akhirnya berlangsunglah acara sesuai dengan kesepakatan.
Kalangan lain merasa risih dengan kevulgaran kelompok kedua dalam menetapkan tarif. Mereka mengambil jalan tengah. Ketika membicarakan nota kesepahaman dan sampai pada pembicaraan tarif, mereka tidak menetapkan tarif, tetapi mengatakan : ”jika Bapak memiliki dana yang cukup jangan pelit, kalau tidak memadai, kami siap menerima apa adanya.”
Penulis menduga, munculnya improvisasi tentang masalah pengupahan baik dari para dai maupun orang-orang yang meminta dai untuk membimbing mereka berawal dari simpang siurnya pendapat para ulama mazhab tentang status upah dalam kerja dakwah.
Perbedaan pendapat para Imam mazhab dan pengikutnya ini adalah masalah yang penting untuk diteliti. diharapkan akan menemukan rumusan tentang konsep pengupahan yang seharusnya untuk para dai.
Mengingat mulianya kerja dakwah di dalam Islam dan strategisnya peran dakwah dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta berangkat dari prinsip hidup modern yang menuntut kerja secara profesional, maka saya menganggap penting untuk mengangkat permasalahan ini dalam sebuah penulisan yang mendalam.

B.     Qurbah Sebagai Ciri Khas Kerja Dakwah
Hukum pengupahan dalam bidang dakwah tidak akan bisa dipahami tanpa didekati dengan kajian tentang qurbah, karena bekerja di bidang dakwah masuk dalam wilayah ini. Menurut bahasa, qurbah didefinisikan dengan danâ ( د ىّ ) yang berarti dekat sebagai lawan dari buʻd ( ثعد ) yang berarti jauh. Dari sini kata kurban diambil. Menyembelih hewan disebut kurban karena perbuatan tersebut diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.[18]
Hampir sama dengan definisi menurut bahasa, para ulama mendefinisikan qurbah dengan segala sesuatu yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta‟ala.[19] Kata ‟segala sesuatu‟ mengisyaratkan bahwa qurbah mencakup semua hal, baik pekerjaan tersebut memang bersifat qurbah seperti ibadah, atau muamalah seperti bersedekah, maupun bukan untuk qurbah seperti membangun rumah, menjahit pakaian, dsb, baik dilakukan oleh muslim maupun non muslim. Ungkapan ‟mendekatkan diri‟ mengisyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan tidak untuk mendekatkan diri tidak termasuk kategori qurbah. Sedangkan ungkapan ‟kepada Allah‟ mengisyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada sesama makhluk atau untuk mendapatkan manfaat dunia tidak termasuk kategori qurbah.
Di antara ayat yang menjelaskan tentang kata qurbah adalah QS. al-Taubah 99 dan QS. Al-Mā‟idah 27. QS. Al-Taubah 99 menampilkan pujian Allah terhadap sikap sebagian orang Arab Badui yang menginfaqkan hartanya dengan tujuan hanya untuk mendekatkan dirinya kepada Allah. Sedangkan QS. Al-Mā‟idah 27 menjelaskan tentang dua anak Adam, Habil dan Qabil, yang mempersembahkan hartanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Persembahan Hâbîl diterima oleh Qâbîl tidak diterima karena yang diberikan adalah harta yang paling tidak layak.[20]
Pembagian Qurbah
Untuk memahami qurbah secara mudah, penulis mendekatinya dengan tiga kategori: pertama, pembagian qurbah berdasarkan cakupan dan dampaknya; kedua, pembagian qurbah berdasarkan persyaratan niat atau tidak; ketiga; pembagian qurbah berdasarkan hukum taklîfî.
1. Qurbah Berdasarkan Cakupan dan Dampaknya
Dari segi cakupannya qurbah terbagi dua, khaṣṣah (khusus) dan ʻammah (umum). Khaṣṣah adalah qurbah yang diwajibkan atau disunnahkan kepada seseorang untuk melakukannya yang manfaatnya tidak dirasakan oleh orang lain,.
Contoh qurbah jenis ini adalah ibadah maḥḍah, seperti salat untuk dirinya, puasa, iktikaf untuk dirinya, haji untuk dirinya, umrah untuk dirinya, zakat, qiyāmullail, ibadah-ibadah nawāfil yang manfaatnya hanya dirasakan oleh pelakunya.[21] Semua perkara yang wajib dilakukan oleh seseorang atau pekerjaan sunnah yang dilakukan oleh seseorang karena pilihan yang manfaatnya kembali kepada pribadi yang melakukannya dan tidak berdampak secara langsung kepada orang lain masuk dalam kategori qurbah khaṣṣah (khusus).
Para ulama sepakat bahwa mengambil upah untuk pekerjaan yang bersifat pribadi dan dampaknya untuk dirinya sendiri hukumnya tidak boleh. Alasannya, karena upah adalah pengganti dari jasa atau manfaat yang diberikan, padahal dalam kasus di atas, tidak ada manfaat nyata dari pekerjaannya untuk orang lain.[22] Contoh yang nyata dari masalah ini adalah tidak mau melaksanakan salat kecuali diberi upah oleh pihak lain; tidak mau iktikaf kecuali mendapatkan upah, dsb.
Adapun qurbah ʻammah (umum) adalah qurbah yang hasilnya tidak hanya dirasakan oleh pelakunya tetapi juga dirasakan oleh orang lain. Qurbah ʻammah ini dapat digolongkan dalam dua kelompok: pertama, manfaat qurbahnya dirasakan oleh orang lain tetapi pelakunya tidak harus dari kalangan orang Islam atau yang mendekatkan diri kepada Allah. Perbuatan qurbah ini boleh dilakukan oleh orang kafir. Contoh kelompok ini adalah mengajar baca tulis, mengajar berhitung, membangun masjid, membangun jembatan, jalan, dan sebagainya.[23] Untuk qurbah jenis ini, para ulama sepakat bahwa mengambil upah dari pekerjaan ini hukumnya adalah boleh.[24] Kedua, manfaat qurbahnya dirasakan oleh orang lain dan pelakunya harus berasal dari kalangan muslim atau kalangan yang mendekatkan diri kepada Allah. Contoh qurbah jenis ini adalah menjadi imam salat, menjadi muazin, menjadi
khatib, menjadi kadi, memberikan fatwa, mengajar Alquran, fiqh, hadis, ilmu-ilmu agama secara umum, melakukan isbah, dll. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat apakah mengambil upah dari pekerjaan ini dibolehkan atau tidak.
2. Qurbah Berdasarkan Persyaratan Niat atau Tidak
Para ulama dari kalangan Mazhab Syafii membagi qurbah berdasarkan persyaratan niat dalam dua kategori besar, yaitu: pertama, qurbah yang tidak diterima kecuali dengan niat; dan kedua, qurbah yang bisa diterima meskipun tidak dengan niat.
Qurbah yang tidak diterima kecuali dengan niat terbagi lagi dalam dua bagian: qurbah yang tidak bisa digantikan oleh orang lain dan qurbah yang bias digantikan oleh orang lain. Adapun qurbah yang tidak bisa digantikan oleh orang lain seperti fardu ain yang mampu dilakukan sendiri, status hukum mengambil upah dari pekerjaan seperti ini adalah tidak boleh. Sedangkan qurbah yang boleh digantikan oleh orang lain seperti haji, orang yang mengerjakannya boleh mengambil upah dari pekerjaan qurbah tersebut.
Sedangkan qurbah yang bisa diterima tanpa menghadirkan niat juga terbagi dua; pertama fardu kifayah, dan kedua, qurbah syiar selain fardu. Gambaran qurbah dari fardu kifayah adalah memandikan, mengafankan, dan menguburkan mayit yang sebenarnya bukan kewajiban dirinya, karena dia tidak punya hubungan langsung dengan simayit dan bukan pula dari daerah tempat tinggal simayit, tetapi dia diminta oleh pihak keluarga atau orang kampung asal simayit untuk melakukan pekerjaan qurbah tersebut. Menurut Imam Nawawi, mengambil upah dari pekerjaan qurbah seperti ini adalah boleh.[25]
Adapun qurbah syiar selain fardu seperti mengumandangkan azan, status hukumnya menjadi perdebatan panjang para ulama. Hal ini akan dibicarakan dalam kajian khusus. Qurbah berdasarkan niat atau tidak juga sangat bermanfaat dalam disertasi ini, karena sebagian amal qurbah boleh menerima upah dan sebagian yang lain tidak boleh menerima karena faktor niat.
3. Qurbah Berdasarkan Hukum Taklīfī
Para ulama membagi qurbah berdasarkan hukum taklīfī dalam lima perkara:1) Qurbah wajib; 2) Qurbah mandūb; 3) Qurbah mubah; 4) Qurbah haram; 5) Qurbah makruh.
Qurbah wajib adalah qurbah yang wajib dilakukan oleh seorang muslim terhadap Tuhannya, seperti salat, zakat, puasa dan haji. Qurbah inilah yang disebut oleh ulama dengan istilah qurbah maqṣūdah. Masuk dalam kategori ini juga adalah qurbah yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya, seperti nazar untuk salat tertentu, puasa tertentu, melaksanakan haji selain yang wajib, dan nazar lainnya.
Qurbah mandūb meliputi semua hal yang dianjurkan oleh Islam untuk dilakukan seperti salat-salat sunnah, puasa sunnah, haji lebih dari satu kali, sedekah, membaca Alquran, wakaf, sedekah, silaturrahim, menjenguk orang sakit, melayat jenazah, dll.
Qurbah mubah adalah semua pekerjaan yang boleh dilakukan, tidak diwajibkan, tidak juga disunnahkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Hukum asal mubah tidak terkait dengan pahala atau dosa. Tetapi pekerjaan mubah bias berubah menjadi mustaab (dianjurkan), atau wajib, atau haram, atau hukum lainnya karena niat orang yang melakukannya. Contoh, makan makanan hukumnya mubah, tetapi kalau yang makan niatnya untuk memperkuat diri agar mampu memenuhi perintah Allah maka makan menjadi mustaab dan diberikan pahala.[26] Muʻadh bin Jabal menganggap bahwa bangun dan tidurnya adalah ibadah.
Qurbah haram adalah melakukan pekerjaan yang mendekatkan diri kepada Allah tetapi dengan cara yang melanggar sunnatullah, seperti berlebihan dalam ibadah, atau membebani diri dengan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan dalam waktu yang lama secara kontinyu. Seperti kisah teguran Nabi kepada sahabatnya Utsman bin Maẓʻūn yang menghabiskan waktu malamnya untuk salat dan waktu siangnya untuk puasa, bahkan menelantarkan istrinya. Uthman bin Maẓʻûn menganggap hal itu sebagai qurbah, tetapi dugaan itu ternyata ditepis oleh Rasul dan memerintahkan beliau untuk puasa dan berbuka, salat malam dan juga tidur, karena keluarga punya hak, tamu punya hak, dan diri juga punya hak. Di antara contoh qurbah haram adalah melakukan qurbah di bidang harta, seperti wakaf, sedekah, hibah, padahal dia masih berhutang atau memiliki tanggungan keluarga yang merupakan kewajibannya.
Sedangkan qurbah makruh adalah melakukan qurbah secara berlebihan tetapi tidak mampu menjaga hatinya atau melakukan hal-hal yang tidak prioritas dan meninggalkan hal-hal yang lebih penting. Contoh, menyedekahkan semua harta yang dimiliki tetapi tidak sabar hidup dengan kondisi apa adanya, atau mengeluarkan wasiat untuk orang miskin padahal dia masih memiliki ahli waris yang membutuhkan.
Qurbah adalah di antara kajian sangat penting dalam menentukan apakah pekerjaan yang masuk kategori ini -kategori untuk mendekatkan diri kepada Allahbaik mutaʻaddiyah (dirasakan manfaatnya oleh orang lain) maupun bukan, termasuk pekerjaan yang boleh dihargai dengan uang atau harta lainnya ataukah pekerjaan ini adalah khusus untuk mengkhidmatkan diri kepada Sang Pencipta, ataukah ada perbedaan antara qurbah yang mutaʻaddiyah dengan yang bukan, atau antara yang perlu niat dengan yang tidak atau antara qurbah yang wajib, sunnah, boleh, makruh, dan haram?
Pertanyaan-pertanyaan di atas akan membantu penulis membuat klasifikasi pekerjaan yang boleh mendapatkan upah dan pekerjaan lain yang tidak boleh mendapatkan upah, atau klasifikasi ketiga, pekerjaan yang boleh atau tidak boleh secara bersyarat.
Pekerjaan para dai secara umum masuk dalam wilayah qurbah. Karena masuk dalam wilayah ini, maka status mengambil upah dari kerja dakwah menjadi diperdebatkan. Sebagian ulama berpendapat bahwa mengambil upah bertentangan dengan keikhlasan, padahal amal qurbah ini adalah amal yang khusus diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Apakah semua jenis upah tidak diperbolehkan dalam kerja dakwah atau ada jenis-jenis upah yang mendapat toleransi? Pertanyaan ini akan dikaji dalam kajian di bawah ini.
C. Hakikat Profesi dan Upah untuk Kerja Dakwah
Kerja profesi dalam tinjauan modern adalah pekerjaan yang sangat diperlukan oleh masyarakat dengan basis ilmu pengetahuan dan keterampilan yang tinggi, dikerjakan dengan dedikasi yang baik, dan mereka hidup dari pekerjaan tersebut.
Teori tentang profesi dalam tinjauan modern ini penulis anggap penting diangkat untuk menjajaki kemungkinan apakah dakwah layak dimasukkan ke dalam jajaran profesi atau tidak menurut teori-teori di atas.
Kata yang tidak bisa dipisahkan dari profesi adalah profesional. Jika profesi adalah pekerjaan, maka profesional adalah pekerjaan yang dikerjakan dengan kualitas tinggi. Profesional selalu dikaitkan dengan profesi yang dikerjakan dengan kepandaian khusus dan dibayar sesuai dengan tingkat kepandaiannya.[27]
Jansen H.Sinamo (1958-...)[28] mengatakan bahwa manusia profesional memiliki tujuh mentalitas yang membedakannya dengan manusia lain. Ketujuh mentalitas itu adalah: 1) Mentalitas mutu. Dia berusaha untuk menjadi yang terbaik dalam pekerjaannya. 2) Mentalitas altruistik. Dia melakukan hal itu dengan tujuan untuk memberikan manfaat yang terbaik bagi orang lain. 3) Mentalitas melayani. Dia merasa puas dengan pekerjaannya jika konstituen, pelanggan, atau pemakai jasa profesionalnya telah terpuaskan lebih dahulu via interaksi kerja. 4) Mentalitas pembelajar. Dia tidak boleh berhenti belajar untuk meningkatkan keahliannya. 5) Mentalitas pengabdian. Dia sudah tidak berpikir untuk pindah ke profesi yang lain, dan bekerja dengan sepenuh hati karena kecintaan dengan profesinya. 6) Mentalitas kreatif. Dia tidak hanya menguasai kompetensi teknis, tetapi karena penghayatan atas pekerjaannya, dia mampu melahirkan ide-ide baru dan segar di bidang profesinya. 7) Mentalitas etis. Dia setia dengan kode etik profesinya, dan tidak akan mengorbankan profesinya karena faktor materi.
Dengan tingkat kepandaiannya yang mumpuni ditambah dengan mentalitas mereka yang tinggi, maka masyarakat sangat menaruh kepercayaan tinggi terhadap mereka dan tidak mempercayakan pekerjaan itu kepada orang lain.[29]
Konsekwensi logis dari bekerja yang professional adalah penghargaan terhadap pekerja dalam bentuk memberikan upah. Menurut Ibnu Manẓūr, ajr (upah) berarti imbalan atas kerja.[30] Dalam al-Muʻjam al-Wasīṭ, ajr (upah) adalah pengganti dari kerja dan jasa yang dikeluarkan. Al-Ajr al-haqq (upah yang benar) diartikan sebagai imbalan yang membuat pekerjanya tercukupi kebutuhannya untuk hidup tenang dan nyaman.

1. Upah dalam Pandangan Ulama Fiqh
Kajian tentang upah di dalam kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab hadis dapat ditemukan dalam kitab ijārah atau ijārāt atau kitab/ bab tentang sewa menyewa. Sebagian ulama lain menggabungkan kajian tentang sewa menyewa dengan kajian tentang jual beli (buyūʻ).
Berbagai ungkapan dikemukakan oleh para ulama fiqh ketika mendefinisikan kata ijārah, tetapi semuanya bermuara kepada makna yang sama. Al-Sarkhasi dari Mazhab Hanafî mendefinisikan ijārah sebagai akad untuk mengambil manfaat dengan penggantian.[31] Al-Qarafi dari Mazhab Maliki mengatakan bahwa ijārah adalah menjual manfaat.[32] Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Imam Nawawi dari Mazhab Syafii, dan Ibnu Qudâmah dari Mazhab Hambali.[33]
Memberikan upah kepada manusia pada hakikatnya adalah membayar sewa kepada orang yang bekerja atas pekerjaan yang dia lakukan. Para ulama membagi ijārah dalam dua kategori. Pertama, ijārah atas manfaat suatu barang; kedua, ijārah atas manfaat pekerjaan manusia.[34] Pada kategori pertama (ijārah atas manfaat suatu barang), obyek yang diakadkan adalah manfaat, seperti menyewakan rumah, ruko, kendaraan, pakaian, perhiasan, bejana, dll. Manfaat yang bisa diambil dari orang yang menyewa adalah dengan menempati, mengendarai, dan memakai. Rumah dan ruko manfaatnya dengan ditempati, kendaraan bisa dikendarai. Pakaian, perhiasan, dan bejana bisa dipakai.
Sedangkan ijārah atas manfaat pekerjaan manusia, obyek yang diakadkan adalah pekerjaan (ʻamal), yaitu usaha yang dikerahkan oleh manusia untuk melakukan pekerjaan tertentu dengan penggantian upah tertentu. Seperti membangun rumah, menjahit pakaian, mengantarkan seseorang ke tempat tertentu, memperbaiki mobil, motor, dan kendaraan lainnya. Akad jenis kedua ini sangat akrab dengan dunia profesi, di mana seorang yang berprofesi tertentu disewa oleh seseorang yang memerlukan untuk memberikan manfaat kepadanya. Seperti seorang insinyur bangunan dikontrak untuk merancang gambar sebuah bangunan, seorang dokter dikontrak untuk mengobati masyarakat yang sakit, dsb. Semua pegawai pemerintah, karyawan di sebuah perusahaan, orang yang bekerja di lembaga-lembaga swasta, bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan sebagainya masuk dalam kategori ijārah atas manfaat pekerjaan manusia. Kajian tentang upah dai masuk dalam
kategori kedua ini.
2. Al-Ijārah, al-Rizqu, al-Juʻlu, dan al-‘Aṭā’
Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan pengupahan yang kadangkadang dipakai dalam makna yang sama, tetapi juga tidak jarang dipakai untuk makna yang berbeda satu dengan lainnya. Kata-kata itu adalah al-ijârah, al-rizqu, alju ʻlu, dan al-‘aṭā’. Kata ijārah sudah dijelaskan pada sub tema sebelumnya. Penulis menganggap penting untuk memaparkan tiga istilah selain ijārah karena memiliki relevansi yang kuat dengan penulisan ini.
Makna al-Rizqu
Al-rizqu menurut bahasa berarti apa yang bisa dimanfaatkan.[35] Secara umum, al-rizqu terbagi dua, fisik dan non fisik. Al-Rizqu untuk fisik adalah hal-hal yang bermanfaat untuk badan seperti makanan, sedangkan al-rizqu non fisik adalah yang bermanfaat untuk hati dan jiwa, seperti ilmu dan wawasan.
Menurut istilah, al-rizqu didefinisikan sebagai harta yang diberikan oleh pemerintah dari sumber baitulmal untuk kemaslahatan kaum muslimin.[36] Al-Jurjani mengatakan bahwa al-rizqu al-asan adalah sesuatu yang diperoleh oleh seseorang tanpa perjuangan yang susah payah.[37]
Definisi yang menyatakan bahwa sumber al-rizqu harus berasal dari sumber baitulmal seperti yang tersebut di atas ternyata tidak disepakati oleh semua ulama. Ada yang mengatakan bahwa al-rizqu bisa bersumber dari pribadi, atau lembaga sosial, atau dari sumber lain. Ibnu Qudāmah umpamanya, ketika menjelaskan tentang sumber pendapatan seorang qadhi mengatakan bahwa apabila seorang kadi tidak memiliki sumber penghasilan (al-rizqu), lalu dia mengatakan: “aku tidak akan mengurus perkara ini sampai kalian berdua membayar uang perkara (al-rizqu) untukku.” Menurut Ibnu Qudāmah, hal itu bisa dibolehkan dan bisa juga tidak.”
Kasus di atas menunjukkan bahwa kata „al-rizqu‟ tidak selalu bersumber dari baitulmal, tapi bisa dari orang yang berperkara. Al-Ramli ketika menjelaskan tentang hukum memberikan upah kepada muadzdzin mengatakan bahwa seorang warganegara boleh memberikan al-rizqu (honor) dari harta pribadinya untuk muazin.[38]
Perbedaan antara al-Ijārah dan al-Rizq
Ada ulama yang berpendapat bahwa al-rizqu digunakan untuk makna yang berbeda dengan al-ijārah. Sedangkan yang lain berpendapat bahwa al-rizqu kadangkadang dipakai untuk makna yang sama dengan ijārah. Ulama yang berpendapat bahwa dua kata ini berbeda mengatakan bahwa al-rizqu artinya bantuan dari pemimpin yang diberikan kepada seseorang yang melaksanakan sesuatu yang bermanfaat. Al-rizqu bukan ʻiwaḍ (imbalan pengganti) dari kerja yang dilakukan.
Berdasarkan pendapat di atas, al- ijārah dan al-rizqu bertemu pada makna memberikan dan mengeluarkan harta untuk memberikan penghargaan kepada orang yang telah mendatangkan manfaat. Tetapi keduanya berbeda dalam pendekatan motif pemberian. Al-rizqu diberikan dengan pendekatan kebaikan (isān), sedangkan ijārah diberikan dengan pendekatan tukar menukar (muʻāwaah). Dari pos pengeluaranpun berbeda. Pemberian dalam bentuk al-rizqu ini berasal dari pos baitulmal, sedangkan upah (ijārah) bersumber dari siapa yang melakukan kontrak kerja dengan pihak yang bekerja.
Tetapi Imam al-Mawardi menggunakan kata al-rizqu untuk makna al-ijārah. Beliau berpandangan bahwa al-rizqu tidak selalu diberikan dengan pendekatan pemberian, tetapi juga bisa diberikan karena pendekatan tukar menukar. Kajian ini sangat relevan ketika mengkaji pengupahan dai. Pos pendapatan mana yang paling memungkinkan untuk diberikan kepada dai? Ternyata, para ulama tidak berbeda pendapat untuk memberikan al-rizqu kepada imam masjid, tetapi mereka berbeda pendapat kalau memberikan upah kepada mereka dengan menggunakan akad ijārah.[39] Perbedaan pendapat ini akan dikaji dalam bab empat.
Makna al-Juʻlu
Al-Juʻlu adalah juʻālah atau jiʻālah adalah janji yang diucapkan oleh orang yang sudah baligh dan berakal untuk memberikan sejumlah harta tertentu kepada orang yang melakukan pekerjaan tertentu apakah orang yang melakukannya itu tertentu atau tidak tertentu, dan orang yang berjanji memberikan harta wajib memenuhi janjinya jika orang yang dijanjikan telah merealisasikan pekerjaan yang telah ditetapkan olehnya.[40] Seperti memberikan upah kepada dokter dengan syarat kesembuhan, dan memberikan upah kepada guru dengan syarat yang diajar menjadi pintar.[41]
Al-juʻlu dan ijārah bertemu pada kepastian upah. Artinya, pada saat akad dibuat, harus disebutkan besaran upah yang akan diberikan apabila pekerjaan yang tertera dalam akad selesai dilakukan. Tetapi al-juʻlu berbeda dengan ijārah dalam tiga aspek: pertama, kebolehan melakukan akad untuk pekerjaan yang tidak pasti70; kedua, al-juʻlu tidak diberikan kecuali setelah pekerjaan yang disebutkan dalam klausul perjanjian telah dilaksanakan. Sedangkan ijārah boleh diberikan dengan cicilan; ketiga, ijārah berstatus wajib dengan terjadinya aqad, sedangkan al-ju‟lu tidak wajib diberikan kecuali setelah pekerjaan selesai dilaksanakan.
Hukum bolehnya akad juʻālah ini didasari oleh Alquran dan Sunnah. Dasar dari Alquran adalah kisah Nabi Yusuf yang mengatakan kepada saudara-saudaranya bahwa pihak kerajaan kehilangan piala raja, dan dia menjamin akan memberikan makanan seberat beban unta bagi siapa yang dapat mengembalikannya. Sedangkan dari sunnah adalah cerita dari Abu Saʻid al-Khudri tentang beberapa sahabat Nabi yang sedang mendatangi sebuah perkampungan. Ternyata mereka tidak diterima dengan baik oleh penduduk kampung. Dalam kondisi seperti itu, ternyata pemuka desa tersebut tersengat oleh binatang dan akhirnya mereka meminta tolong kepada para sahabat Nabi untuk mengobati pemuka mereka. Para sahabat menolak untuk mengobati pemuka kampung tersebut kecuali jika penduduk kampung mau menjamu dan memberikan sesuatu kepada mereka. Akhirnya mereka memberikan daging kambing kepada para sahabat. Lalu salah seorang sahabat mengobati pemuka kampung itu dengan membacakan al-Fatihah dan mengumpulkan air ludah lalu meludahkannya kepada pemuka kampung tersebut. Ternyata dia sembuh dan menghadiahkan seekor kambing kepadanya. Para sahabat ragu untuk memakan hasil pengobatan itu sehingga bertanya tentang status hukumnya kepada Rasulullah. Ternyata Rasulullah tertawa dan bahkan meminta bagian dari daging kambing tersebut.
Baik dalil Alquran maupun Sunnah secara jelas menyebutkan tentang akad untuk memberikan sesuatu kepada orang yang bisa melakukan pekerjaan yang belum jelas tingkat kesuksesannya.
Makna al-‘Aṭa’
Para ulama menggunakan istilah ‘aṭa’ untuk dua hal. Ada yang menggunakannya untuk pengganti materi yang diberikan oleh negara kepada orang yang telah melaksanakan tugas yang diembankan kepadanya. Pernyataan Imam al- Mawardi tentang kewajiban negara memberikan gaji kepada pasukan perang menggunakan terminologi „aa‟.
Ulama lain menggunakan istilah ‘aṭa’ untuk pemberian jaminan sosial yang diberikan negara kepada warganya yang berhak untuk menerimanya. Umar bin Abdul Aziz ketika menulis surat kepada Abdul Hamid bin Abdurrahman- gubernurnya di Irak- tentang perintah mengeluarkan jaminan social kepada masyarakat dari baitulmal, beliau menggunakan kata uʻṭiyah yang merupakan jama‟ dari ‘aṭa’. Ketika semua orang yang berhak menerima jaminan sosial sudah menerimanya, ternyata sisa anggaran di baitulmal masih ada. Gubernurpun menulis surat kembali kepada khalifah tentang sisa anggaran yang ada. Khalifah memerintahkan beliau untuk mencari data orang yang memiliki hutang, jejaka yang ingin menikah, dan orang yang berat untuk membayar jizyah agar dibantu. Empat bentuk kompensasi di atas sangat berharga dalam penulisan ini, agar kompensasi yang diberikan kepada dai dapat dipertimbangkan secara akurat.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan besar di atas dirinci dalam poin-poin kesimpulan di bawah ini:
1. Karena dakwah memiliki ciri khas sebagai amal qurbah yang orang biasa melakukannya karena ingin mendekatkan diri kepada Allah dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, maka para ulama berbeda pendapat tentang hukum menerima upah dari kerja dakwah antara boleh dengan tidak boleh. Perdebatan tersebut diakibatkan oleh perbedaan cara memahami ayat-ayat dan hadis-hadis tentang masalah ini serta perubahan situasi dan kondisi pada saat fatwa dikeluarkan.

2. Kelayakan kerja dakwah masuk ke dalam jajaran profesi seperti kerja profesi lainnya penulis ambil setelah semua syarat-syarat profesionalitas bisa diterapkan untuk kerja dakwah meskipun ada kekhasan yang tidak dimiliki oleh profesi lainnya, yaitu tentang sifat dakwah yang di dalam Islam masuk dalam kategori amal qurbah. Syarat-syarat utama profesi adalah masalah keilmuan, lembaga yang menopang berkembangnya keilmuan, wadah yang menaungi para lulusan, kode etik dan masalah upah sebagai konsekwensi dari profesionalitas.

3. Pendapat penulis tentang bolehnya mengambil upah dari kerja dakwah tidak sejalan dengan pendapat Imam Hanifah dan Mazhab Hanafi Mutaqaddimīn, seperti Abu Yusuf dan Muhammad yang melarang dai untuk mengambil upah dari kerja dakwahnya. Pendapat penulis juga tidak sejalan dengan pandangan Albāni yang sama sekali tidak membolehkan dai mengambil upah dari dakwah atas nama ujrah. Penulis setuju dengan pendapat Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad dengan kekuatan dalil yang mereka kemukakan. Meskipun penulis menganggap untuk saat sekarang pendapat Abu Hanifah dan ulama awal Hanafiyyah tidak relevan lagi, tetapi penulis sangat menghargai pendapat ini, karena fatwa ini keluar dalam rangka menjaga izzah para dai dan agar orang-orang yang bergelut dalam profesi ini tidak berubah niatnya hanya untuk mengejar keuntungan dunia.

Tentang keharusan memperhatikan ekonomi dai agar hidup dalam tingkat ekonomi yang baik tidak sejalan dengan pandangan skeptis Ibnu Khaldun tentang nasib ekonomi orang-orang yang memilih terjun ke dunia dakwah. Pandangan beliau berangkat dari perspektif hukum permintaan dan penawaran. Menurut beliau, karena dakwah bukan kebutuhan arūrah (primer) maka permintaannya tidak banyak, dan karena permintaan tidak banyak, maka pemasukan menjadi tidak besar. Berdasarkan data-data historis yang diungkapkan oleh Ahmad Shalabi, penulis lebih setuju dengan pendapat Ahmad Shalabi yang mengatakan bahwa tidak selamanya dai hidup dalam taraf ekonomi yang rendah, tetapi sebagian mereka mendapatkan penghargaan yang tinggi baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.



DAFTAR KEPUSTAKAAN
D. Hendropuspito, O.C, Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbit Kanisisus, 1983)
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2005),
Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, al- Muqaddimah (Beirut: Al-Maktabah Al- „Aṣriyyah, 1420-2000), cet. 2,
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract and Discourses (U.K. and U.S, Everyman‟s Library, 1979),
_____________________; Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1989, cet.1, Alih Bahasa, Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat).
Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi (Jakarta: Tintamas, 1970), cet. 2.
Ibnu Man ūr, Lisān al-ʻArab, (Beirut: Dār ādir,1412-1992), juz. 14, h.30.
Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h. 248.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Panduan Tugas Penyuluh Agama Islam (Jakarta, 2007), h.11.
Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Al-Maktabah al- „Aṣriyyah, 1420-2000), cet.2.
Ahmad Syalabi, Tārīkh al- Tarbiyah al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Ittiḥād al-‟Arabi li al-Ṭibāʻah, 1976),
Abu Jaʻfar Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salamah al-Azdi al ahāwi, SharMaʻāni al-Ătsār,
Ibnu Maudūd al- Mūṣilī, al-Ikhtiyār li Taʻlīl al -Mukhtār, juz 1,
Malik bin Anas, al -Mudawwanah (Beirut: Dār al- Kutub al- ʻIlmiyyah, , 1415- 1994), juz 1,
Imam al-Nawawi, Al Majmūʻ Sharḥ al-Muhadhdhab (Beirut: Dār Iḥya‟ al -Turāth al – „Arabi,1422-2001), , juz 3, cet.1,
Majalah Harkat, Vol. 1-No.7, 7 Desember 2001.
Abu al-Ḥusain Ahmad Ibnu Fāris, Muʻjam Maqāyīs al-lughah (Beirut: Dār al-Jalīl, 1411), cet.1, ,
Ibnu ʻĀbidīn, Ḥāshiyah Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al- Mukhtār Syarḥ Tanwīr al-Abṣār, yang dikenal dengan nama Ḥāshiyah Ibnu Ābidīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1421-2000),
Abu ʻAbdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurṭubi al-Anṣāri, Al Jāmiʻ li Aḥkām Alquran ( Beirut: Dàr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 1408-1988),
Abu Jaʻfar al-Ṭabari, Tafsīr Jāmiʻ al-Bayān fî Ta’wīl al-Quran, yang dikenal dengan Tafsīr al-abari (Muassasah al-Risālah, 1420 -2000),.
Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl Al-Sarkhasi, Al-Mabsūṭ, (Beirut: Dār al-Maʻrifah, 1409),
Ibnu Qudāmah, al-Mughni,
Taqiyyuddin Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah,, Majmūʻ al-Fatāwā (Rubāṭ, Maghrib: Maktabah al-Maʻārif, t.th),
Alā‟uddin Abu Bakar bin Masʻud,Al-Kāsāni, Badā’iʻ al-Ṣanā’iʻ fî Tartīb al Sharā’iʻ, (Beirut : Muassasah al-Tārīkh al-„Arabī, 1421 H),
Muḥyiddin bin Sharaf al- Nawawi, , Rauat al- Ṭālibīn wa Umdat al Muftīn (Beirut: Al- Maktab al-Islāmi, 1412), cet.3,
Muhammad Sulaiman Abdullah al-Ashqar, al-Wāḍifî Uṣūl al-Fiqh (ʻAmmān: Dār al- Nafā-is,1428), cet. 4, h. 44.
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum (Jakarta: Ciputat Pers),
George Ritzer, Encyclopedia of Social Theory ( London: Sage Publications, Inc, 2004),
Shihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarâfi, Al-Dzakhīrah (Beirut: Dār al-Gharbi, 1994),
Ibnu ʻÃbidîn, Hāshiyah Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al-Mukhtār (Beirut: Dār al- Fikr, 1421-2000),
Muhammad bin Idris al-Syafii al-Umm, (Beirut: Dār al- Kutub al- ʻIlmiyyah, 1415-1994),
Al-Fairuz Ābādi, al-Qāmūs al-Muhīṭ, bab Qāf, Faṣl Rā‟ (Beirut: Dār Ihyā‟ al-Turāts al- „Arabiy, 1991), cet. 1,
Ahmad bin ʻAli bin Hajar al -„Asqalāni, Fatal-Bāri, (Kairo: Dār al-Bayān Li al- Turāts, 1409-1988),
Al-Jurjani, al-Taʻrīfāt, (Kairo: Percetakan Musṭafa al-Bâbi al-Ḥalabi, 1357 H)
Shihābuddīn Muhammad bin Abu al-ʻAbbās al-Ramli, Nihāyat al-Mutāj ila Sharal- Minhāj (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1414 H),
Al-Mawardi, al-Ḥāwi al-Kabīr (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1994), cet. 1,
Ibnu Ḥajar, Tufat al-Mutâj (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1994), cet.1,
Ibnu Rushd, Bidāyat al-mujtahid wa Nihāyat al-muqtaid, (Beirut: Dār Ihya‟ al-Turāth al- „Arabiy, 1992), cet.1,



[1] D. Hendropuspito, O.C, Sosiologi Agama (Jakarta: Penerbit Kanisisus, 1983) h.38-
[2] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2005), h.39.
[3] Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, al- Muqaddimah (Beirut: Al-Maktabah Al- „Aṣriyyah, 1420-2000), cet. 2, h. 124.
[4] Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract and Discourses (U.K. and U.S, Everyman‟s Library, 1979), h. 271; Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 1989, cet.1, h. 118. Alih Bahasa, Ida Sundari Husen dan Rahayu Hidayat).
[5] Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi (Jakarta: Tintamas, 1970), cet. 2, h. 66-71.
[6] Muballigh berasal dari kata ballagha, artinya ablagha. Ablagha adalah menyampaikan
pesan kepada orang lain hingga pesan itu benar-benar sampai. (Majmaʻ al-Lughah al-ʻArabiyyah, Al-
Muʻjam al-Wasît , Istanbul: al-Maktabah al-Islāmiyyah), h. 69.
[7] Uswah berasal dari kata usa, artinya yang bisa dijadikan teladan (qudwah). (Ibnu Man ūr,
Lisān al-ʻArab, (Beirut: Dār ādir,1412-1992), juz. 14, h.30.
[8] Gabriel Tarde dari Perancis adalah salah seorang yang berpengaruh dalam ilmu komunikasi
gaya Amerika. Teori imitasi adalah bagaimana seseorang dipengaruhi oleh perilaku orang lain yang
berinteraksi sehari-hari. Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Jakarta: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003), h. 248.
[9] Lihat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Panduan Tugas Penyuluh Agama
Islam (Jakarta, 2007), h.11.
[10] Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah (Beirut: Al-Maktabah al- „Aṣriyyah, 1420-2000), cet.2. h. 364. Tidak semua sepakat dengan teori Ibnu Khaldun tentang kecilnya sumber pendapatan orang-orang yang bekerja di bidang agama. Ahmad Syalabi mengatakan bahwa tidak semua pendapat orang-orang yang bekerja di bidang agama mendapatkan penghasilan yang kecil tetapi sebagian mereka hidup dalm taraf ekonomi yang cukup tinggi. (Ahmad Syalabi, Tārīkh al- Tarbiyah al-Islāmiyyah (Kairo: Dār al-Ittiḥād al-‟Arabi li al-Ṭibāʻah, 1976), juz 4, h. 237.
[11] Ijārah adalah akad atas suatu manfaat dengan memberikan ganti harta kepada yang
memberikan manfaat. (Al-Jurjani, al-Taʻrīfāt, juz 1, h.1).
[12] Juʻālah adalah sesuatu yang diberikan kepada sesorang atas sesuatu pekerjaan yang
dilakukannya. (Al-Jauhari, al-iḥāḥ fi-al-lughah, juz 1, h.94).
[13] Abu Jaʻfar Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin Salamah al-Azdi al ahāwi, Shar
Maʻāni al-Ătsār, juz 5, h.129.
[14] Ibnu Maudūd al- Mūṣilī, al-Ikhtiyār li Taʻlīl al -Mukhtār, juz 1, h.17.
[15] Lihat, Malik bin Anas, al -Mudawwanah (Beirut: Dār al- Kutub al- ʻIlmiyyah, , 1415-
1994), juz 1, h. 121.
[16] Imam al-Nawawi, Al Majmūʻ Sharḥ al-Muhadhdhab (Beirut: Dār Iḥya‟ al -Turāth al –
„Arabi,1422-2001), , juz 3, cet.1, h. 93-94.
[17] Majalah Harkat, Vol. 1-No.7, 7 Desember 2001.
[18] Abu al-Ḥusain Ahmad Ibnu Fāris, Muʻjam Maqāyīs al-lughah (Beirut: Dār al-Jalīl, 1411), cet.1, juz 5, h. 80-81; Ibnu Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirut: Dār Ṣādir,1412-1992), juz 1, h. 662.
[19] Ibnu ʻĀbidīn, Ḥāshiyah Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al- Mukhtār Syarḥ Tanwīr al-Abṣār, yang dikenal dengan nama Ḥāshiyah Ibnu Ābidīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1421-2000), juz 1 h. 272; Lihat juga, Abu ʻAbdillah Muhammad bin Ahmad al-Qurṭubi al-Anṣāri, Al Jāmiʻ li Aḥkām Alquran ( Beirut: Dàr al-Kutub al-‟Ilmiyyah, 1408-1988), juz 4, h. 296.
[20] Abu Jaʻfar al-Ṭabari, Tafsīr Jāmiʻ al-Bayān fî Ta’wīl al-Quran, yang dikenal dengan Tafsīr al-abari (Muassasah al-Risālah, 1420 -2000), juz 10, h. 202.
[21] Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl Al-Sarkhasi, Al-Mabsūṭ, (Beirut: Dār al-Maʻrifah, 1409), juz 4 h. 158.
[22] Ibnu Qudāmah, al-Mughni, juz 8 h. 141.
[23] Taqiyyuddin Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah,, Majmūʻ al-Fatāwā (Rubāṭ, Maghrib: Maktabah al-Maʻārif, t.th), juz 30 h. 206.
[24] Alā‟uddin Abu Bakar bin Masʻud,Al-Kāsāni, Badā’iʻ al-Ṣanā’iʻ fî Tartīb al Sharā’iʻ, (Beirut : Muassasah al-Tārīkh al-„Arabī, 1421 H), Badā’iʻ al-Ṣanâ’i, juz 4, h. 191-192.
[25] Muḥyiddin bin Sharaf al- Nawawi, , Rauat al- Ṭālibīn wa Umdat al Muftīn (Beirut: Al- Maktab al-Islāmi, 1412), cet.3, juz 5, h.187.
[26] Muhammad Sulaiman Abdullah al-Ashqar, al-Wāḍifî Uṣūl al-Fiqh (ʻAmmān: Dār al-
Nafā-is,1428), cet. 4, h. 44.
[27] Syafruddin Nurdin, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum (Jakarta: Ciputat Pers),
h.18.
[28] Jansen H.Sinamo adalah penggagas, pencipta, pengembang, sekaligus pengemban „pelatihan sumberdaya manusia berbasis etos yang pertama di Indonesia. Bersama Andrias Harefa, pada 1998 ia juga mendirikan Institut Darma Mahardika, lembaga pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia dan organisasi berdasarkan etos kerja profesional.
[29] George Ritzer, Encyclopedia of Social Theory ( London: Sage Publications, Inc, 2004), h.
603.
[30] Ibnu Manẓūr, Lisān al-ʻArab (Beirut: Dār Ṣādir, 1412-1992), juz 4, h. 10.
[31] Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl al-Sarkhasi, Al-Mabsūṭ, juz 18, h. 3.
[32] Shihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarâfi, Al-Dzakhīrah (Beirut: Dār al-Gharbi, 1994), juz 5, h. 371.
[33] Ibnu Qudāmah, al-Mughni, juz 11, h.371.
[34] Ibnu ʻÃbidîn, Hāshiyah Radd al-Mukhtār ‘ala al-Durr al-Mukhtār (Beirut: Dār al- Fikr, 1421-2000), juz 6, h. 4; Muhammad bin Idris al-Syafii al-Umm, (Beirut: Dār al- Kutub al-
ʻIlmiyyah, 1415-1994), juz 3, h. 250.
[35] Al-Fairuz Ābādi, al-Qāmūs al-Muhīṭ, bab Qāf, Faṣl Rā‟ (Beirut: Dār Ihyā‟ al-Turāts al- „Arabiy, 1991), cet. 1, juz 3 h. 343.
[36] Ahmad bin ʻAli bin Hajar al -„Asqalāni, Fatal-Bāri, (Kairo: Dār al-Bayān Li al- Turāts, 1409-1988), juz 13, h. 160.
[37] Al-Jurjani, al-Taʻrīfāt, (Kairo: Percetakan Musṭafa al-Bâbi al-Ḥalabi, 1357 H), h. 98.
[38] Shihābuddīn Muhammad bin Abu al-ʻAbbās al-Ramli, Nihāyat al-Mutāj ila Sharal- Minhāj (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1414 H), juz 1, h. 418.
[39] Al-Mawardi, al-Ḥāwi al-Kabīr (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1994), cet. 1, jilid 16 h. 246.
[40] Ibnu Ḥajar, Tufat al-Mutâj (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1994), cet.1, jilid 7, h. 497.
[41] Ibnu Rushd, Bidāyat al-mujtahid wa Nihāyat al-muqtaid, (Beirut: Dār Ihya‟ al-Turāth al- „Arabiy, 1992), cet.1, jilid 2, h.301.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh: Maizul Imran, S.HI BAB I PENDAHULUAN A.     Latar belakang Pemilihan Umum. sebag...