HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA TURKI
Oleh:
Maizul Imran, S.HI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan
sistematis dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat itu
merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuskan
oleh otorita hukum setempat di masing-masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh)
yang mengatur hal-hal pokok dilaksanakan secara seragam. Namun berkaitan dengan
hal-hal yang detail banyak terjadi perbedaan karena praktek-praktek setempat
dan variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.[1]
Legislasi hukum-hukum baru untuk melengkapi hukum Islam dalam skala
besar telah dilakukan oleh penguasa-penguasa Turki Usmani pada abad ke-10 H/16
M yang menghasilkan qanun (canon). Qanun adalah produk kesultanan, dan
bukan produk kekhalifahan.[2]
Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum
keluarga.[3]
dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya the ottoman law of family rights
(Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki.[4]
Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum
keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan
hukum keluarga di negara-negara lain.
Perkembangan hukum islam, seperti yang telah dapat kita pahami dari
penelitian baru-baru ini, menggambarkan dengan cara yang amat bermakna fenomena
saling bergantungan dari kesatuan dan keragaman dalam peradaban islam.[5]
Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad 20 adalah
adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan)
di negara-negara mayoritas muslim. Turki misalnya, melakukan pembaharuan pada
tahun 1917.
Turkiye Cumhuriyeti (Republik of Turkey) yang diproklamirkan sebagai negara modern
sejak tahun 1924, yang memiliki motto nasional yurthha sulh, cihandra sulh
(peace at home, peace in the world) bukanlah negara agama, tetapi ia menjamin
kebebasan beragama.[6]
Bahkan menurut sejarah, sikap kerajaan Turki pada masa kejayaannya cenderung
tidak memaksakan agama setelah berhasil menaklukan dan menguasai suatu wilayah,
mereka tetap memberikan kebebasan pihak gereja untuk menangani urusan umatnya,
selain itu dengan melindungi sejumlah gereja Kristen telah menimbulkan simpatik
masyarakat setempat terhadap penguasa utsmaniyyah.
Untuk itu pemakalah akan menyajikan perkembangan serta pembaharuan
hukum keluarga Islam terutama mengenai hukum perkawinan Islam di Turki dan
hukum lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Letak Geografis dan keadaan
Penduduk negara Turki
Turki negara Eropa Tenggara dan Asia kecil, berbatsan dengan
Georgia, Armenia, Azerbaijan, dan Iran di timur, Irak, Suriah dan laut tengah
di selatan, laut hitam di utara, laut Aegea di barat, dan Yunani serta di barat
laut. Luas :779.452 km2, diantaranya 755.688 km2 di Asia kecil (Semenanjung
Anatolia) da 23.764 km2 di Eropa Tenggara. Penduduk :56.941.000 (1990),
sebagian besar diantaranya termasuk etnis Turki. Agama : Islam (98%). Ibu kota
:Ankara.
Persinggungan islam dengan Turki melalui sejarah panjang, terhitung
sejak abad pertama hijriah hingga suku-suku Turki menjadi penganut dan pembela
islam.[7]
Dalam proses politik, ketika politik multi partai diperkenalkan di Turki pada
tahun 1946, dakwaan bahwa umat islam tidak dapat beribadah dengan bebas muncul
secara menonjol diantara tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepada Partai Rakyat
Republik yang telah berkuasa selama 27 tahun. Dakwaan ini datang dari sejumlah
partai politik yang baru saja terbentuk dengan suatu ideologi islam yang
samar-samar sebagai dasarnya. Partai-partai itu antara lain :
• Partai Pembangunan
Nasional (Party of National
Development)
• Partai Keadilan
Sosial (Party of Social Justice)
• Partai Tani (the
cultivator peasent party)
• Partai Pembela
Kemurnian (party of purification protection)
• Dan Partrai
Konservatif Turki (Turkish conservative Party)
Akan tetapi setelah pemilu tahun 1950 (pemilu bebas pertama
Turki) semua partai itu harus bubar cepat atau lambat karena tidak memiliki
dukungan pemilih.[8]
Dalam periode 1960-1978, angka rata-rata kenaikan GNP perkapita
Turki mencapai 3,6 persen/tahun. Ini merupakan sukses besar. Sementara itu
pertambahan penduduk Turki sangat mencolok. Kalau tahun1940 penduduknya
berjumlah 17 juta, maka kini mencapai 56.941.000 jiwa. Turki merupakan
satu-satunya negara Timur Tengah yang memiliki dua kota besar yang berkembang
dengan rata-rata diatas 5 persen/tahun.
Meskipun Turki termasuk negara sekular, pertumbuhan keagamaannya
sangat mencolok. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penduduk yang menjadi
anggota sekte-sekte keagamaan. Pembangunan gama itu sendiri dilakukan oleh
pemerintah.
Dalam bidang sarana keagamaan, Turki sekarang ini memiliki tidak
kurang dari 62.000 masjid dan pembangunan masjid mencapai 1500 buah/tahun.
Penjualan buku-buku dan kaset-kaset
keagamaan menunjukan angka peningkatan yang sangat besar. Selain itu telakh
dibangun lebih dari 2.000 unit sekolah Al-qur’an.
B. Perkembangan Hukum Islam di negara Turki
Ketika Imperium kerajaan utsmani masih berkuasa, imperium
memberlakukan sistem yudisial dan legal yang digabungkan dengan syariah
khususnya yurisprudensi mazhab Hanafi dimana pengadilan diarahkan untuk
menerapkan keputusan berbagai kasus. Sistem ini ditopang oleh lembaga keagamaan
yang nyaris independen dari kekuasaan sultan
(kepala pemerintahan).[9]
Sultan tidak boleh sewenang-wenang memberlakukan hukum syariah
tanpa legitimasi berupa fatwa dari lembaga mufti. Di pihak lain, mufti memiliki
kewenangan untuk memilih para hakim yang mengatur pemberlakuan syariah di
seluruh wilayah kerajaan. Namun pada masa abad 19, bersamaan dengan lengsernya
kekuasaan ustmani, semua lembaga-lembaga keagamaan ini tidak lagi diberlakukan.
Untuk sistematisasi serta kodifikasi sistem hukum, pada tahun 1839
dikeluarkan dekrit Imperium Hatt-I Syarif sebagai pondasi bagi rezim
legislative modern.[10]
Revolusi politik yang telah memporak-porandakan wilayah imperium utsmani
dan melengserkan jabatan khalifah ikut memberi dampak terhadap penggantian UU
sipil tahun 1876 dan hukum keluarga yang baru ditetapkan pada tahun 1915 dan
1917 serta hukum waris dalam mazhab Hanafi yang belum sempat terkodifikasi
dengan UU sipil pada tahun 1926.
Sebelumnya untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan status
perseorangan, hubungan keluarga dan waris, telah diatur oleh pemerintah utsmani
secara formal dengan mengadopsi hukum dari mazhab Hanafi, tetapi hanya
berlangsung sampai tahun 1915, perubahan terjadi karena tuntutan perubahan
kondisi sosial yang terjadi, sekalipun upaya perealisasiannya dilakukan secara
bertahap.
Eksistensi
hukum keluarga di dunia sebagai hukum positif mempunyai bentuk yang
berbeda-beda. Tahir Mahmood membagi tiga kategori negara berdasarkan hukum
keluarga yang dianut :[11]
1.
Negara yang menerapkan hukum keluarga tradisional
Jumlah negara yang masuk kategori ini adalah Saudi
Arabia. Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia,
dan lain-lain.
2.
Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler
Termasuk dalam kategori ini adalah Turki, Albania, Tanzania,
minoritas muslim Philiphina dan Uni Soviet .
3.
Negara yang menerapkan hukum keluarga yang diperbarui
Kategori ketiga ini adalah negara yang melakukan pembaruan
substantif dan atau pembaruan peraturan. Pembaruan hukum keluarga Islam untyuk
pertama kalinya dilakukan di Turki, diikuti Lebanon dan Mesir. Negara Brunei,
Malaysia dan Indonesia juga masuk kategori ini.
Turki mempunyai
peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di asia barat. Hukum perdata
Turki pada awalnya didasarkan pada mazhab Hanafi, namun kemudian juga menampung
mazhab-mazhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al adhiya[12] yang telah
dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang
hukum keluarga.
Aturan hukum
yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun 1915.
Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut
cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami.[13]
Seorang isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau
suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar
bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya.
Pada tahun yang
sama dikeluarkan dua ketetapan umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri
yang ditinggalkan suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga
ajaran mazhab Maliki sebagai alasan pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi
tuntutan perceraian dari pihak isteri dengan alasan suaminya mengidap penyakit
tertentu yang membahayakan kelangsungan rumah tangga.[14]
Hukum tentang hak-hak keluarga (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun
al-huquq al Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 kemudian diundangkan pada
tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam.
Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan
Turki Usmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak
termasuk waris, wasiat dan hibah). Undang-undang ini bersumber pada berbagai
mazhab sunni Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 dalam bagian tertentu
berlaku bagi golongan minoritas Yahudi dan Nasrani, karena undang-undang
tersebut dimaksudkan untuk menyatukan yurisdiksi hukum pada
pengadilan-pengadilan nasional. Undang-undang yang terdiri dari 156 pasal ini
hanya berlaku singkat selama dua tahun, namun munculnya undang-undang ini
memberikan inspirasi bagi negara lain untuk mengadopsinya dengan beberapa
modifikasi.
Beberapa tahun
setelah pencabutan Hukum tantang hak-hak keluarga tahun 1917 situasi politik di
Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca
konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi
hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha
menempatkan Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, Majallah al-ahkam al
adhiya tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum
baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis
dan tradisional – seperti pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam
hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar – menjadikan komite
hukum kacau dan dibubarkan.
Guna mengisi
kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut Pemerintah Turki
mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland,
1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan
diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish civil code of
1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926
sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan
wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912.[15]
C. Materi Hukum
Keluarga Turki
1. Pertunangan
Hukum keluarga Turki mendorong pengadilan untuk tidak mengadakan perjanjian
khusus pernikahan.[16]Jika
pesta pertunangan sudah dilakukan, ternyata perjanjian pernikahan batal, pihak
yang dianggap bertanggung jawab dengan pembatalan dibebani kewajiban membayar
ganti rugi berupa ganti biaya pesta yang telah dikeluarkan. Ulama Hanafiyah
menjelaskan bahwa khitbah bertujuan menjajaki kedua belah pihak sehingga
dimungkinkan muncul perasaan cinta dan suka sama suka. Jika ada hadiah yang
diberikan dalam pesta pertunangan yang gagal tersebut, hadiah yang dimaksud
harus dikembalikan nilainya dalam batas waktu satu tahun.
2. Umur Pernikahan
Dalam undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak nikah
adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.Dalam kasus-kasus
tertentu pengadilan dapat mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagui
laki-laki dan14 tahun bagi perempuan setelah mendapat izin dari orang tua atau
wali.[17]
Di Turki perkawinan pada usia lebih rendah dari usia minimum yang
mendapat izin dari pengadilan merupakan kasus pengecualian dan secara umum dilakukan
dengan izin wali nikah.
3. Poligami
Undang-undang Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama
perkawianan pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa seorang tidak
menikah, jika dia tidak membuktikan bahwa pernikahan yang pertama bubar karena
kematian, perceraian atau pembatalan. Pernikahanyang kedua dinyatakan tidak sah
oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat
menikah.
Dalam Ottoman Law of Family Rights (Qanun qarar al-huquq
Al-a’ilah al-utsmaniyah) tahun 1917 pasal 38 menetapkan dibolehkannya
taklik talak bagi isteri bahwa suaminya
tidak boleh menikah lagi dengan wanita lain (poligami). Tahun 1915, sultan
dalam ketetapannya menyatakan bahwa isteri dapat minta cerai kalau suami
meninggalkan istrinya. Ketetapan lain dikeluarkan pada tahun yang sama, seorang
isteri dapat minta cerai dengan alas an suami kena penyakit yang
menyebabkantidak mungkin hidup bersama
sebagai suami isteri.[18]
Mengenai poligami, Tahir Mahmud mengutip Al-qur’an (IV:3)yang
mengatakan meskipun seseorangdiizinkan mempunyai empat isteri pada waktu yang
sama, namun mereka yang tidak memperlakukan isteri-isterinya secara adil dan
setara tidak boleh melakukannya. Perkawinan monogami akan lebih baik Karen
amenghindarkan laki-laki berbuat tidak adil, bahwa izin bagi laki-laki untuk
melakukan poligami sangat kondisional, tidak absolut dan karenanya sangat ketat
dengan peraturan, perjanjian atau hukum.
4. Resepsi Pernikahan
UU sipil menyatakan bahwa perkawinan boleh dirayakan sesuai dengan
agama masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran dilakukan sebelum
perayaan tersebut. Setelah syarat formalitas dipenuhi sesuai dengan peraturan
yang berlaku, kedua pasangan boleh merayakan pernikahan.
5. Syarat-syarat Pernikahan
Para ulama menetapkan 10 persyaratan bagi keabsahan suatu
pernikahan, dan persyaratan tersebut telah disepakati :
• Calon mempelai wanita tidak mahram (yang
haram dinikahi) bagi calon mempelai laki-laki, baik dalam waktu tertentu maupun
selamanya.
• Shigat ijab Kabul tidak temporal.
• Ada dua orang yang adil
• Pernikahan dilakukan dengan sukarela oleh
kedua belah pihak atau tidak dengan paksaan.
• Kedua calon mempelai jelas jati dirinya
• Tidak sedang melakukan ihram haji atau
umroh
• Mempelai laki-laki dan para saksi tidak
merahasiakan pernikahan
• Pernikahan dengan memberi mas kawin
(mahar)
• Salah satu dari kedua calon mempelai tidak
sedang sakit membahayakan
• Ada wali yang menikahkan
6. Pembatalan Pernikahan
Suatu pernikahan harus dibatalkan di bawah UUsipil Turki dalam
kondisi berikut :
• Salah satu pihak telah berumah tangga saat
menikah
• Salah satu pihak pada saat menikah
menderita sakit jiwa atau penyakit permanen lain
• Pernikahan termasuk yang dilarang
7. Perceraian dan pemisahan
Menurut UU sipil Turki ada 6 hal yang membplehkan suami isteri
menuntut pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian, dengan catatan meskipun
dekrit perceraian telah diterbitkan, pengadilan boleh memberikan pemilahan
yudisial jika rekonlisiasi diantara pasangan memungkinkan. Jika pemilahan
diberikan dan tidak ada rekonsiliasi yang terjadi diantara keduanya sampai akhir
periode yang diberikan, salah satu pihak boleh meminta cerai. Keenam hal
tersebut adalah :
• Salah satu pihak telah memutuskan perceraian.
• Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak
lain.
• Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal
yang membuat hubungan perkawianan tidak bisa ditolelir untuk dilanjutkan.
• Salah satu pihak telah pindah rumah dengan
cara yang tidak etis atau tanpa ada sebab yang jelas selama sekurang-kurangnya
3 bulan
• Salah satu pihak menderita penyakit mental
yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir, yang dinyatakan dengan
keterangan dokter dalam periode sekurang-kurangnya 3 tahun
• Hubungan suami dan isteri sedemikian tegang
sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir
Menurut hukum
perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau isteri yang hendak bercerai
diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jika setelah pisah ranjang dijalani pada
waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga, maka masing-masing
pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di pengadilan.
Ketentuan
tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata Turki tahun 1926.
Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat mengajukan
perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan sebagai
berikut :
1. Salah satu
pihak berbuat zina.
2. Salah satu
pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak
lainnya.
3. Salah satu
pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan
penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga.
4. Salah satu
pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan
sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain.
5. Salah satu
pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang
mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli
medis (dokter).
6.
Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan
penderitaan.
Seiring dengan
perkembangan zaman Hukum Perdata Turki tahun 1926 mengalami dua kali proses
amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada kurun waktu 1933 – 1956. hasil
amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin,
pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah
ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta
tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak
masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian
terhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika
didukung dengan fakta dan keadaan kuat.
Proses
amandemen kedua terhadap Hukum Perdata Turki tahun 1926 berlangsung pada tahun
1988-1992. Amandemen tahun 1988 memberlakukan perceraian atas kesepakatan
bersama (divorce by mutual consents), nafkah istri dan penetapan
sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan
dengan pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen yang
dilakukan oleh legislative tersebut berakhir tahun 1992.[19]
Materi amandemen tahun 1990 yang berkaitan dengan perceraian, antara lain :
1. Salah satu
pihak dapat mengajukan cerai atas dasar perwujudan dari ketidakcocokan tabiat
yang berakibat pada rumah tangga yang tidak bahagia.
2. Pihak yang
tidak bersalah dan menderita berhak mengajukan cerai dan meminta ganti rugi
yang layak dari pihak lain.
3. Pihak yang
tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan cerai dan meminta nafkah dari
pihak lain selama setahun.
8. Hukum Waris
Buku ketiga UU sipil berkaitan dengan kewarisan. Buku ini
mengenalkansemua skema warisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU Swizerland.
Hukum Hanafi tentang kewarisan sebelumnya telah diikuti oleh Turki sampai pada
tahun 1926 dan kemudian diganti dengan skema baru.
Salah satu bagian terpenting yang ditawarkan adalah prinsip
kesetaraan antara laki-laki perempuan yang berkaitan dengan kewarisan.
Al-qur’an menun jukkan tingkat kedekatan proposisi bahwa kesamaan laki-laki
harus terjadi dalam pembagian dua kali perempuan.
UU sipil Turki menetapkan bahwa anak-anak yang ditinggal mati oleh
ayah harus mendapatkan warisan sama dengan ibunya.
D.
Metode
Pembaruan Hukum Keluarga Turki
Perkembangan
modern di dunia Islam disebabkan oleh empat faktor:[20]
(1) apakah suatu negara tetap mempertahankan kedudukannya atau
didominasi oleh negara eropa.
(2) Watak
organisasi ulama atau kepemimpinan.
(3)
Perkembangan pendidikan Islam.
(4) sifat
kebijakan kolonial dari negara-negara penjajah.
Pembaruan hukum
Islam di Turki dapat berjalan lancar, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
hukum keluarga diikuti oleh penduduk Turki. Walaupun terdapat perbedaan antara
modernis dan tradisonalis, namun tidak sampai pada taraf antipati. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh watak organisasi ulama di Turki yang tidak
mempunyai institusi keagamaan yang kuat seperti di Mesir (al-Azhar). Hal ini
sebagai akibat dari sekularisasi yang diterapkan di Turki. Aturan-aturan hukum
yang mengatur tentang perceraian dalam perundang-undangan Turki telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan fiqh konvensional. Hal
ini setidaknya dapat dilihat dari uraian berikut :
1. Otoritas
pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak berada di pihak suami, sedangkan istri
tidak mempunyai hak sedikitpun untuk dan dengan alasan apapun, sejak munculnya
hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 pihak istri diperbolehkan mengajukan
perceraian.
2. Perceraian dilakukan di pengadilan yang didahului dengan
permohonan cerai dari pihak suami atau isteri (Hasil Amandemen Pasal 129-135).
3. Dalam maslah
perceraian menurut fiqh konvensional tidak dikenal istilah pisah ranjang
(juditial separation). Hukum perdata Turki tahun 1926 mengatur dan membolehkan
pisah ranjang.
4. Pihak suami
isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cerai dengan mendasarkan
pada ketentuan perundang-undangan (Pasal 129-138 Hukum Perdata Turki 1926 dan
Pasal 134-144 Hasil Amandemen Tahun 1990).
5. Suami atau
isteri yang nusyuz (dalam hal ini zina yang dijadikan alasan perceraian) maka
perlakuan terhadap suami yang zina sama dengan isteri yang zina.
6. Penyakit
jiwaa dalam perundang-undangan Turki termasuk dalam alasan perceraian, sedang
dalam fiqh konvensional berkaitan dengan fasakh.
7.
Perundang-undangan Turki memberlakukan perceraian atas kesepakataan bersama
(suami isteri) berdasar hasil Amandemen tahun 1988.
8. Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai
akibat perceraian diperbolehkan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak
(Pasal 143 Hasil Amandemen tahun 1990).
Metode
pembaruan hukum Islam yang digunakan di Turki pada tahap awal menggunakan
metode takhayyur. Hal ini dapat dilihat pada kodifikasi hukum majallat
al-ahkam al-adhiya tahun 1876[21]
dengan memilih salah satu dari sekian pendapat mazhab fiqh yang ada.
Aplikasi metode
takhayyur dalam perundang-undangan Turki menurut Anderson[22]
seperti pada aturan ta’lik talak yang dicantumkan pada Pasal 38 Hukum tentang
Hak-hak keluarga tahun 1917 bahwa seorang isteri berhak mencantumkan dalam
ta’lik talak bahwa poligami suami dapat menjadi alasan perceraian. Metode
pembaruan hukum keluarga yang dominan terutama berkaitan dengan perceraian
adalah maslahah mursalah. Hal ini nampak dari ketentuan yang mewajibkan
perceraian di Pengadilan, kemaslahatan yang diperoleh adalah sikap
kehati-hatian dan kepastian hukum. Keseimbangan hak antara suami isteri dalam
pengajuan cerai dengan alsan-alasan yang mendasarinya juga dimaksudkan untuk
menghindari kesewenang-wenangan salah satu pihak (suami) yang mengakibatkan
kerugian dipihak lain dan mengembalikan posisi isteri yang sering
termarjinalkan oleh konstruksi pemahaman hukum Islam.
Pembaruan hukum keluarga di Turki dalam perspektif kategorisasi
metode pembaruan, dapat dikemukakan bahwa metode pembaruan extra doctriner
reform nampak pada masa-masa awal pembaruan ditandai dengan munculnya
protes kaum istri yang merasa terkekang oleh mazhab Hanafi, kemudian
memunculkan solusi alternatif perceraian dari pihak isteri yang ditinggal
suaminya yang lebih mengacu pada mazhab Hambali dan Maliki. Metode intra
doctriner reform lebih mewarnai pembaruan hukum keluarga di Turki seperti
penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan dengan hanya mengakui
perceraian yang terjadi dalam sidang di pengadilan. Pembaruan ini merupakan
bentuk kepastian hukum bagi masyarakat Turki.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dinamika
pemikiran hukum islam di Turki berkembang jauh lebih awal dibandinh
Negara-negara muslim lain dengan munculnya Hatt-I Syarif , sebuah dekrit
Imperium Turki yang diterbitkan tahun1839 yang dimaksudkan sebagai pegangan
untuk legislasi hukum modern. Setelah itu pembaharuan terus berguir merespon
perubahan kondisi sosial, politik serta budaya. Dinamika tersebut memberi
Inspirasi kepada cerdik cendikiawan di Negara-negara muslim lainnya untuk
mengadakan usaha yang sama.
Khusus Hukum
keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali perubahan. Hukum tentang
hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun
al-huquq al Aila) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish
civil code, 1926), kemudian diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956
dan tahun 1988-1992. Materi pembaruan hukum keluarga dalam masalah perceraian
seputar persamaan hak dalam pengajuan perceraian antara suami istri dan
alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian. Metode pembaruan yang diterapkan
dalam masalah perceraian adalah lebih mengedepankan maslahah mursalah.
Walaupun begitu extra dan intra doctriner reform cukup mewarnai dinamika
pembaruan hukum keluarga di Turki.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Atho Muzhdar
& Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,
(Jakarta:Ciputat Press), 2003
David Pearl and
Werner Menski, Muslim Family Law, third edition (London:Sweet and Maxwell,
1998)
Fazlurrahman, Islam
dan Modernitas Tentang Transformasi Intentelektual, alih bahasa Ahsin
Muhammad, cet. II (Bandung:Pustaka, 2000),
Gustave E. Von
Grunebaum, Islam Kesatuan Dalam Keragaman, (Jakarta : Pt.Karya Uni
press),1975, cet.II
J.N.D.
Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein
(Surabaya:Amar Press, 1990)
Khairuddin
Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS),2002,
Muhammad Amin,
al-shahir bi ibn ibidin, hasyiyah Radd Al-mukhtar,(Beirut : Dar al-fikr),
Tahir Mahmood, Family
Law Reform in the Moslem World (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972)
Tahir Mahmood, Personal
Law in Islamic Countries History, Text, Comperative Analysis, (New Delhi :
Academy of law and religion), 1987
Tahir Mahmood, Status
of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised
Edition (New Delhi:ALR, 1995),
Van Hoeve, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru), 1994
[1]Fazlur Rahman, Islam
dan Modernitas Transformasi Intelektual, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet IV
(Bandung:Pustaka, 2000), h., 108.
[2]Fazlur Rahman, Islam,
...h., 109
[3]Istilah yang
sepadan dengan hukum keluarga antara lain: hukum perorangan (personal law),
hukum perkawinan, hak-hak keluarga, al-ahwal asyakhsiyyah, dll.
[4] J.N.D.
Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein
(Surabaya:Amar Press, 1990), hlm. 27 Lihat pula Tahir Mahmood, Family Law
Reform in the Moslem World (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972), hlm. 17.
[5]Gustave E. Von
Grunebaum, Islam Kesatuan Dalam Keragaman, (Jakarta : Pt.Karya Uni
press),1975, cet.II, h.79
[6]Atho Muzhdar
& Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,(Jakarta:Ciputat
Press), 2003, h.36
[7]Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru),
1994,hl.114
[8]Van Hoeve, Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru), 1994, h.116
[9]Atho muzdhar
& Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Ciputat
Press), 2003, h.37
[10]Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries History, Text,
Comperative Analysis, (New Delhi : Academy of law and religion),
1987,hl.263
[11]Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World (Bombay:N.M.
TRIPATHI, PVT. LTD, 1972), h. 3-8.
[12]Kodifikasi hukum Majallah
al-ahkam al adhiya mempunyai makna yang penting dalam sejarah yang dikenal
sebagai kodifikasi hukum islam yang pertama yang bersumber pada syariƔh.
Kodifikasi tersebut mulai terbuka dengan tidak semata-mata mendasarkan pada
mazhab Hanafi.
[13]Talak
yang diucapkan suami dalam keadaan mabuk, di bawah ancaman, gurauan, sekedar
menakut-nakuti, bahkan dalam keadaan mimpi atau keadaan tidak sadar karena
sakit menurut mazhab Hanafi tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum. Suami dapat
menceraikan isterinya kapanpun ia kehendaki, dan isteri dapat dicerai oleh
suaminya, meskipun isteri tersebut tidak menghendaki cerai sama sekali. Para
isteri yang merasa terikat oleh mazhab Hanafi tersebut yang justru pertama kali
mendesak pemerintah Turki untuk melakukan pembaruan hukum keluarga. Lihat
J.N.D. Anderson, Hukum Islam…, h.57-58.
[14]J.N.D. Anderson, Hukum
Islam…, h.57-58.
[15]Tahir Mahmood, Family Law…, h. 17-18.lihat pula J.N.D.
Anderson, Hukum Islam…, h. 95-96
[16]Naskah Hukum Keluarga Turki ,1952 pasal II ayat I.
[17]Muhammad Amin, al-shahir
bi ibn ibidin, hasyiyah Radd Al-mukhtar,(Beirut : Dar al-fikr), h.599
[18]Khairuddin
Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS),2002, h.245
[19] Tahir Mahmood,
Status of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis,
Revised Edition (New Delhi:ALR, 1995), h. 84
[20]Fazlurrahman, Islam
dan Modernitas Tentang Transformasi Intentelektual, alih bahasa Ahsin
Muhammad, cet. II (Bandung:Pustaka, 2000), h. 50-51
[21]David Pearl and
Werner Menski, Muslim Family Law, third edition (London:Sweet and
Maxwell, 1998), h. 21.
[22]Khoiruddin
Nasution, Status Wanita…, h. 279
terima kasih atas informasinya keren gan dan bermanfaat
BalasHapusDep. Perdata FH UII Selenggarakan Kuliah Umum Hadapi MEA Soal Perlindungan Konsumen
Salam saya punya teman pria turki ada rencana menikah .dia sudah berpisah 10 tahun tapi saya suruh minta surat keterangan kedutaan turki dia bilang tidak bisa karna x istrinya tidak mau pisah lewat pengadilan agama .apa benar di negara turki perceraian di larang dan apa yang harus saya lakukan saya ingin menikah di akui dua negara tolong masukan nya saya harus bagaimana,terimakasih
BalasHapusTerimakasih atas informasinya gan
BalasHapus