Sabtu, 03 Januari 2015

HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA TURKI



 HUKUM KELUARGA ISLAM DI NEGARA TURKI

Oleh:

Maizul Imran, S.HI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Penerapan hukum Islam dalam terma kenegaraan secara serius dan sistematis dimulai pada masa Umar bin Abdul Aziz. Negara pada saat itu merupakan lembaga eksekutif yang menerapkan hukum Islam sebagaimana dirumuskan oleh otorita hukum setempat di masing-masing daerah. Kumpulan hukum (fiqh) yang mengatur hal-hal pokok dilaksanakan secara seragam. Namun berkaitan dengan hal-hal yang detail banyak terjadi perbedaan karena praktek-praktek setempat dan variasi-variasi yang berbeda sebagai hasil ijtihad para ulama.[1]
Legislasi hukum-hukum baru untuk melengkapi hukum Islam dalam skala besar telah dilakukan oleh penguasa-penguasa Turki Usmani pada abad ke-10 H/16 M yang menghasilkan qanun (canon). Qanun adalah produk kesultanan, dan bukan produk kekhalifahan.[2]
Pembaruan hukum Islam dalam format perundang-undangan hukum keluarga.[3] dimulai pada tahun 1917 dengan disahkannya the ottoman law of family rights (Undang-undang tentang hak-hak keluarga) oleh Pemerintah Turki.[4] Pembaruan hukum keluarga di Turki merupakan tonggak sejarah pembaruan hukum keluarga di dunia Islam dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum keluarga di negara-negara lain.
Perkembangan hukum islam, seperti yang telah dapat kita pahami dari penelitian baru-baru ini, menggambarkan dengan cara yang amat bermakna fenomena saling bergantungan dari kesatuan dan keragaman dalam peradaban islam.[5]
Salah satu fenomena yang muncul di dunia muslim pada abad 20 adalah adanya usaha pembaharuan hukum keluarga (perkawinan, perceraian, dan warisan) di negara-negara mayoritas muslim. Turki misalnya, melakukan pembaharuan pada tahun 1917.
Turkiye Cumhuriyeti (Republik of Turkey) yang diproklamirkan sebagai negara modern sejak tahun 1924, yang memiliki motto nasional yurthha sulh, cihandra sulh (peace at home, peace in the world) bukanlah negara agama, tetapi ia menjamin kebebasan beragama.[6] Bahkan menurut sejarah, sikap kerajaan Turki pada masa kejayaannya cenderung tidak memaksakan agama setelah berhasil menaklukan dan menguasai suatu wilayah, mereka tetap memberikan kebebasan pihak gereja untuk menangani urusan umatnya, selain itu dengan melindungi sejumlah gereja Kristen telah menimbulkan simpatik masyarakat setempat terhadap penguasa utsmaniyyah.
Untuk itu pemakalah akan menyajikan perkembangan serta pembaharuan hukum keluarga Islam terutama mengenai hukum perkawinan Islam di Turki dan hukum lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Letak Geografis dan keadaan Penduduk negara Turki
Turki negara Eropa Tenggara dan Asia kecil, berbatsan dengan Georgia, Armenia, Azerbaijan, dan Iran di timur, Irak, Suriah dan laut tengah di selatan, laut hitam di utara, laut Aegea di barat, dan Yunani serta di barat laut. Luas :779.452 km2, diantaranya 755.688 km2 di Asia kecil (Semenanjung Anatolia) da 23.764 km2 di Eropa Tenggara. Penduduk :56.941.000 (1990), sebagian besar diantaranya termasuk etnis Turki. Agama : Islam (98%). Ibu kota :Ankara.
Persinggungan islam dengan Turki melalui sejarah panjang, terhitung sejak abad pertama hijriah hingga suku-suku Turki menjadi penganut dan pembela islam.[7] Dalam proses politik, ketika politik multi partai diperkenalkan di Turki pada tahun 1946, dakwaan bahwa umat islam tidak dapat beribadah dengan bebas muncul secara menonjol diantara tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepada Partai Rakyat Republik yang telah berkuasa selama 27 tahun. Dakwaan ini datang dari sejumlah partai politik yang baru saja terbentuk dengan suatu ideologi islam yang samar-samar sebagai dasarnya. Partai-partai itu antara lain :
           Partai Pembangunan Nasional (Party of  National Development)
           Partai Keadilan Sosial (Party of Social Justice)
           Partai Tani (the cultivator peasent party)
           Partai Pembela Kemurnian (party of purification protection)
           Dan Partrai Konservatif Turki (Turkish conservative Party)
Akan tetapi setelah pemilu tahun 1950 (pemilu bebas pertama Turki) semua partai itu harus bubar cepat atau lambat karena tidak memiliki dukungan pemilih.[8]
Dalam periode 1960-1978, angka rata-rata kenaikan GNP perkapita Turki mencapai 3,6 persen/tahun. Ini merupakan sukses besar. Sementara itu pertambahan penduduk Turki sangat mencolok. Kalau  tahun1940 penduduknya berjumlah 17 juta, maka kini mencapai 56.941.000 jiwa. Turki merupakan satu-satunya negara Timur Tengah yang memiliki dua kota besar yang berkembang dengan rata-rata diatas 5 persen/tahun.
Meskipun Turki termasuk negara sekular, pertumbuhan keagamaannya sangat mencolok. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya penduduk yang menjadi anggota sekte-sekte keagamaan. Pembangunan gama itu sendiri dilakukan oleh pemerintah.
Dalam bidang sarana keagamaan, Turki sekarang ini memiliki tidak kurang dari 62.000 masjid dan pembangunan masjid mencapai 1500 buah/tahun. Penjualan  buku-buku dan kaset-kaset keagamaan menunjukan angka peningkatan yang sangat besar. Selain itu telakh dibangun lebih dari 2.000 unit sekolah Al-qur’an.
B. Perkembangan Hukum Islam di negara Turki
Ketika Imperium kerajaan utsmani masih berkuasa, imperium memberlakukan sistem yudisial dan legal yang digabungkan dengan syariah khususnya yurisprudensi mazhab Hanafi dimana pengadilan diarahkan untuk menerapkan keputusan berbagai kasus. Sistem ini ditopang oleh lembaga keagamaan yang nyaris independen dari  kekuasaan sultan (kepala pemerintahan).[9]
Sultan tidak boleh sewenang-wenang memberlakukan hukum syariah tanpa legitimasi berupa fatwa dari lembaga mufti. Di pihak lain, mufti memiliki kewenangan untuk memilih para hakim yang mengatur pemberlakuan syariah di seluruh wilayah kerajaan. Namun pada masa abad 19, bersamaan dengan lengsernya kekuasaan ustmani, semua lembaga-lembaga keagamaan ini tidak lagi diberlakukan.
Untuk sistematisasi serta kodifikasi sistem hukum, pada tahun 1839 dikeluarkan dekrit Imperium Hatt-I Syarif sebagai pondasi bagi rezim legislative modern.[10]
Revolusi politik yang telah memporak-porandakan wilayah imperium utsmani dan melengserkan jabatan khalifah ikut memberi dampak terhadap penggantian UU sipil tahun 1876 dan hukum keluarga yang baru ditetapkan pada tahun 1915 dan 1917 serta hukum waris dalam mazhab Hanafi yang belum sempat terkodifikasi dengan UU sipil pada tahun 1926.
Sebelumnya untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan status perseorangan, hubungan keluarga dan waris, telah diatur oleh pemerintah utsmani secara formal dengan mengadopsi hukum dari mazhab Hanafi, tetapi hanya berlangsung sampai tahun 1915, perubahan terjadi karena tuntutan perubahan kondisi sosial yang terjadi, sekalipun upaya perealisasiannya dilakukan secara bertahap.
Eksistensi hukum keluarga di dunia sebagai hukum positif mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Tahir Mahmood membagi tiga kategori negara berdasarkan hukum keluarga yang dianut :[11]
1. Negara yang menerapkan hukum keluarga tradisional
Jumlah negara yang masuk kategori ini adalah Saudi Arabia. Yaman, Kuwait, Afganistan, Mali, Mauritania, Nigeria, Sinegal, Somalia, dan lain-lain.
2. Negara yang menerapkan hukum keluarga sekuler
Termasuk dalam kategori ini adalah Turki, Albania, Tanzania, minoritas muslim Philiphina dan Uni Soviet .
3. Negara yang menerapkan hukum keluarga yang diperbarui
Kategori ketiga ini adalah negara yang melakukan pembaruan substantif dan atau pembaruan peraturan. Pembaruan hukum keluarga Islam untyuk pertama kalinya dilakukan di Turki, diikuti Lebanon dan Mesir. Negara Brunei, Malaysia dan Indonesia juga masuk kategori ini.
Turki mempunyai peran penting dalam sejarah hukum Islam, terutama di asia barat. Hukum perdata Turki pada awalnya didasarkan pada mazhab Hanafi, namun kemudian juga menampung mazhab-mazhab lain, seperti dalam Majallah al-ahkam al adhiya[12] yang telah dipersiapkan sejak tahun 1876, namun di dalamnya tidak terdapat aturan tentang hukum keluarga.
Aturan hukum yang berkaitan dengan perkawinan dan perceraian mulai dirintis tahun 1915. Materi perubahan pada tahun tersebut adalah kewenangan (hak) untuk menuntut cerai yang menurut mazhab Hanafi hanya menjadi otoritas suami.[13] Seorang isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya selama bertahun-tahun atau suaminya mengidap penyakit jiwa ataupun cacat badan tidak dapat dijadikan dasar bagi isteri untuk meminta cerai dari suaminya.
Pada tahun yang sama dikeluarkan dua ketetapan umum. Pertama, dalam rangka menolong para isteri yang ditinggalkan suaminya secara resmi didasarkan pada mazhab Hambali (juga ajaran mazhab Maliki sebagai alasan pendukung). Kedua, dalam rangka memenuhi tuntutan perceraian dari pihak isteri dengan alasan suaminya mengidap penyakit tertentu yang membahayakan kelangsungan rumah tangga.[14] Hukum tentang hak-hak keluarga (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al Aila) yang dirintis sejak tahun 1915 kemudian diundangkan pada tahun 1917 adalah hukum keluarga yang diundangkan pertama kali di dunia Islam. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Turki Usmani mengatur tentang hukum perorangan dan hukum keluarga (tidak termasuk waris, wasiat dan hibah). Undang-undang ini bersumber pada berbagai mazhab sunni Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 dalam bagian tertentu berlaku bagi golongan minoritas Yahudi dan Nasrani, karena undang-undang tersebut dimaksudkan untuk menyatukan yurisdiksi hukum pada pengadilan-pengadilan nasional. Undang-undang yang terdiri dari 156 pasal ini hanya berlaku singkat selama dua tahun, namun munculnya undang-undang ini memberikan inspirasi bagi negara lain untuk mengadopsinya dengan beberapa modifikasi.
Beberapa tahun setelah pencabutan Hukum tantang hak-hak keluarga tahun 1917 situasi politik di Turki memberikan sedikit ruang untuk melakukan pembaruan hukum. Pasca konferensi Perdamaian Laussane tahun 1923, pemerintah Turki membentuk komisi hukum untuk mempersiapkan hukum perdata baru. Komisi tersebut berusaha menempatkan Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, Majallah al-ahkam al adhiya tahun 1876 dan hukum tradisional yang tidak tertulis ke dalam hukum baru yang menyeluruh. Namun perbedaan pendapat yang tajam di kalangan modernis dan tradisional – seperti pengambilan materi dari mazhab yang berbeda dalam hukum Islam, yang bersumber dari hukum adat atau hukum luar – menjadikan komite hukum kacau dan dibubarkan.
Guna mengisi kekosongan hukum pasca kegagalan komisi hukum tersebut Pemerintah Turki mengadopsi hukum perdata Swiss tahun 1912 (The civil code of Switzerland, 1912) dengan beberapa perubahan yang disesuaikan dengan kondisi Turki dan diundangkan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 (The Turkish civil code of 1926). Dalam beberapa hal ketentuan dalam hukum perdata Turki tahun 1926 sangat menyimpang dari hukum Islam tradisonal, seperti ketentuan waris dan wasiat yang mengacu pada hukum perdata Swiss tahun 1912.[15]





C. Materi Hukum Keluarga Turki
1. Pertunangan
Hukum keluarga Turki mendorong pengadilan untuk tidak mengadakan perjanjian khusus pernikahan.[16]Jika pesta pertunangan sudah dilakukan, ternyata perjanjian pernikahan batal, pihak yang dianggap bertanggung jawab dengan pembatalan dibebani kewajiban membayar ganti rugi berupa ganti biaya pesta yang telah dikeluarkan. Ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa khitbah bertujuan menjajaki kedua belah pihak sehingga dimungkinkan muncul perasaan cinta dan suka sama suka. Jika ada hadiah yang diberikan dalam pesta pertunangan yang gagal tersebut, hadiah yang dimaksud harus dikembalikan nilainya dalam batas waktu satu tahun.
2. Umur Pernikahan
Dalam undang-undang Turki umur minimal seseorang yang hendak nikah adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.Dalam kasus-kasus tertentu pengadilan dapat mengizinkan pernikahan pada usia 15 tahun bagui laki-laki dan14 tahun bagi perempuan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali.[17]
Di Turki perkawinan pada usia lebih rendah dari usia minimum yang mendapat izin dari pengadilan merupakan kasus pengecualian dan secara umum dilakukan dengan izin wali nikah.
3. Poligami
Undang-undang Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawianan pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa seorang tidak menikah, jika dia tidak membuktikan bahwa pernikahan yang pertama bubar karena kematian, perceraian atau pembatalan. Pernikahanyang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebut telah berumah tangga saat menikah.
Dalam Ottoman Law of Family Rights (Qanun qarar al-huquq Al-a’ilah al-utsmaniyah) tahun 1917 pasal 38 menetapkan dibolehkannya taklik talak bagi  isteri bahwa suaminya tidak boleh menikah lagi dengan wanita lain (poligami). Tahun 1915, sultan dalam ketetapannya menyatakan bahwa isteri dapat minta cerai kalau suami meninggalkan istrinya. Ketetapan lain dikeluarkan pada tahun yang sama, seorang isteri dapat minta cerai dengan alas an suami kena penyakit yang menyebabkantidak mungkin hidup bersama  sebagai suami isteri.[18]
Mengenai poligami, Tahir Mahmud mengutip Al-qur’an (IV:3)yang mengatakan meskipun seseorangdiizinkan mempunyai empat isteri pada waktu yang sama, namun mereka yang tidak memperlakukan isteri-isterinya secara adil dan setara tidak boleh melakukannya. Perkawinan monogami akan lebih baik Karen amenghindarkan laki-laki berbuat tidak adil, bahwa izin bagi laki-laki untuk melakukan poligami sangat kondisional, tidak absolut dan karenanya sangat ketat dengan peraturan, perjanjian atau hukum.
4. Resepsi Pernikahan
UU sipil menyatakan bahwa perkawinan boleh dirayakan sesuai dengan agama masing-masing jika dikehendaki, namun pendaftaran dilakukan sebelum perayaan tersebut. Setelah syarat formalitas dipenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku, kedua pasangan boleh merayakan pernikahan.
5.  Syarat-syarat Pernikahan
Para ulama menetapkan 10 persyaratan bagi keabsahan suatu pernikahan, dan persyaratan tersebut telah disepakati :
      Calon mempelai wanita tidak mahram (yang haram dinikahi) bagi calon mempelai laki-laki, baik dalam waktu tertentu maupun selamanya.
      Shigat ijab Kabul tidak temporal.
      Ada dua orang yang adil
      Pernikahan dilakukan dengan sukarela oleh kedua belah pihak atau tidak dengan paksaan.
      Kedua calon mempelai jelas jati dirinya
      Tidak sedang melakukan ihram haji atau umroh
      Mempelai laki-laki dan para saksi tidak merahasiakan pernikahan
      Pernikahan dengan memberi mas kawin (mahar)
      Salah satu dari kedua calon mempelai tidak sedang sakit membahayakan
      Ada wali yang menikahkan
6. Pembatalan Pernikahan
Suatu pernikahan harus dibatalkan di bawah UUsipil Turki dalam kondisi berikut :
      Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah
      Salah satu pihak pada saat menikah menderita sakit jiwa atau penyakit permanen lain
      Pernikahan termasuk yang dilarang
7. Perceraian dan pemisahan
Menurut UU sipil Turki ada 6 hal yang membplehkan suami isteri menuntut pengadilan mengeluarkan dekrit perceraian, dengan catatan meskipun dekrit perceraian telah diterbitkan, pengadilan boleh memberikan pemilahan yudisial jika rekonlisiasi diantara pasangan memungkinkan. Jika pemilahan diberikan dan tidak ada rekonsiliasi yang terjadi diantara keduanya sampai akhir periode yang diberikan, salah satu pihak boleh meminta cerai. Keenam hal tersebut adalah :
   Salah satu pihak telah memutuskan perceraian.
   Salah satu pihak menyebabkan luka bagi pihak lain.
   Salah satu pihak telah melakukan tindak kriminal yang membuat hubungan perkawianan tidak bisa ditolelir untuk dilanjutkan.
   Salah satu pihak telah pindah rumah dengan cara yang tidak etis atau tanpa ada sebab yang jelas selama sekurang-kurangnya 3 bulan
   Salah satu pihak menderita penyakit mental yang membuat hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir, yang dinyatakan dengan keterangan dokter dalam periode sekurang-kurangnya 3 tahun
   Hubungan suami dan isteri sedemikian tegang sehingga hubungan perkawinan tidak bisa ditolelir
Menurut hukum perdata Turki tahun 1926, seorang suami atau isteri yang hendak bercerai diperbolehkan melakukan pisah ranjang. Jika setelah pisah ranjang dijalani pada waktu tertentu tidak ada perbaikan kondisi rumah tangga, maka masing-masing pihak mempunyai hak untuk mengajukan cerai di pengadilan.
Ketentuan tentang perceraian diatur pada Pasal 129 – 138 Hukum Perdata Turki tahun 1926. Suami atau isteri yang terikat dalam sebuah ikatan perkawinan dapat mengajukan perceraian kepada pengadilan dengan alasan-alasan yang telah ditentukan sebagai berikut :
1. Salah satu pihak berbuat zina.
2. Salah satu pihak melakukan percobaan pembunuhan atau penganiayaan berat terhadap pihak lainnya.
3. Salah satu pihak melakukan kejahatan atau perbuatan tidak terpuji yang mengakibatkan penderitaan yang berat dalam kehidupan rumah tangga.
4. Salah satu pihak meninggalkan tempat kediaman bersama (rumah) tiga bulan atau lebih dengan sengaja dan tanpa alasan yang jelas yang mengakibatkan kerugian di pihak lain.
5. Salah satu pihak menderita penyakit jiwa sekurang-kurangnya 3 tahun atau lebih yang mengganggu kehidupan rumah tangga dan dibuktikan dengan surat keterangan ahli medis (dokter).
6. Terjadi ketegangan antara suami isteri secara serius yang mengakibatkan penderitaan.

Seiring dengan perkembangan zaman Hukum Perdata Turki tahun 1926 mengalami dua kali proses amandemen. Amandemen tahap pertama terjadi pada kurun waktu 1933 – 1956. hasil amandemen ini antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin, pasangan suami isteri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal 125-132). Di samping itu pembayaran ganti kerugian terhadap pihak yang dirugikan akibat perceraian dapat dilaksanakan jika didukung dengan fakta dan keadaan kuat.
Proses amandemen kedua terhadap Hukum Perdata Turki tahun 1926 berlangsung pada tahun 1988-1992. Amandemen tahun 1988 memberlakukan perceraian atas kesepakatan bersama (divorce by mutual consents), nafkah istri dan penetapan sementara selama proses perceraian berlangsung. Amandemen tahun 1990 berkaitan dengan pertunangan, pasca perceraian dan adopsi. Proses amandemen yang dilakukan oleh legislative tersebut berakhir tahun 1992.[19] Materi amandemen tahun 1990 yang berkaitan dengan perceraian, antara lain :
1. Salah satu pihak dapat mengajukan cerai atas dasar perwujudan dari ketidakcocokan tabiat yang berakibat pada rumah tangga yang tidak bahagia.
2. Pihak yang tidak bersalah dan menderita berhak mengajukan cerai dan meminta ganti rugi yang layak dari pihak lain.
3. Pihak yang tidak bersalah dan menjadi miskin berhak mengajukan cerai dan meminta nafkah dari pihak lain selama setahun.

8. Hukum Waris
Buku ketiga UU sipil berkaitan dengan kewarisan. Buku ini mengenalkansemua skema warisan tanpa wasiat, yang diadopsi dari UU Swizerland. Hukum Hanafi tentang kewarisan sebelumnya telah diikuti oleh Turki sampai pada tahun 1926 dan kemudian diganti dengan skema baru.
Salah satu bagian terpenting yang ditawarkan adalah prinsip kesetaraan antara laki-laki perempuan yang berkaitan dengan kewarisan. Al-qur’an menun jukkan tingkat kedekatan proposisi bahwa kesamaan laki-laki harus terjadi dalam pembagian dua kali perempuan.
UU sipil Turki menetapkan bahwa anak-anak yang ditinggal mati oleh ayah harus mendapatkan warisan sama dengan ibunya.

D.      Metode Pembaruan Hukum Keluarga Turki
Perkembangan modern di dunia Islam disebabkan oleh empat faktor:[20]
(1) apakah suatu negara tetap mempertahankan kedudukannya atau didominasi oleh negara eropa.
(2) Watak organisasi ulama atau kepemimpinan.
(3) Perkembangan pendidikan Islam.
(4) sifat kebijakan kolonial dari negara-negara penjajah.
Pembaruan hukum Islam di Turki dapat berjalan lancar, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hukum keluarga diikuti oleh penduduk Turki. Walaupun terdapat perbedaan antara modernis dan tradisonalis, namun tidak sampai pada taraf antipati. Hal ini diantaranya disebabkan oleh watak organisasi ulama di Turki yang tidak mempunyai institusi keagamaan yang kuat seperti di Mesir (al-Azhar). Hal ini sebagai akibat dari sekularisasi yang diterapkan di Turki. Aturan-aturan hukum yang mengatur tentang perceraian dalam perundang-undangan Turki telah mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan fiqh konvensional. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari uraian berikut :
1. Otoritas pengajuan cerai yang sebelumnya mutlak berada di pihak suami, sedangkan istri tidak mempunyai hak sedikitpun untuk dan dengan alasan apapun, sejak munculnya hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 pihak istri diperbolehkan mengajukan perceraian.
2. Perceraian dilakukan di pengadilan yang didahului dengan permohonan cerai dari pihak suami atau isteri (Hasil Amandemen Pasal 129-135).

3. Dalam maslah perceraian menurut fiqh konvensional tidak dikenal istilah pisah ranjang (juditial separation). Hukum perdata Turki tahun 1926 mengatur dan membolehkan pisah ranjang.
4. Pihak suami isteri mempunyai hak yang seimbang dalam pengajuan cerai dengan mendasarkan pada ketentuan perundang-undangan (Pasal 129-138 Hukum Perdata Turki 1926 dan Pasal 134-144 Hasil Amandemen Tahun 1990).
5. Suami atau isteri yang nusyuz (dalam hal ini zina yang dijadikan alasan perceraian) maka perlakuan terhadap suami yang zina sama dengan isteri yang zina.
6. Penyakit jiwaa dalam perundang-undangan Turki termasuk dalam alasan perceraian, sedang dalam fiqh konvensional berkaitan dengan fasakh.
7. Perundang-undangan Turki memberlakukan perceraian atas kesepakataan bersama (suami isteri) berdasar hasil Amandemen tahun 1988.
8. Masing-masing pihak yang merasa dirugikan pihak lain sebagai akibat perceraian diperbolehkan mengajukan tuntutan ganti rugi yang layak (Pasal 143 Hasil Amandemen tahun 1990).
Metode pembaruan hukum Islam yang digunakan di Turki pada tahap awal menggunakan metode takhayyur. Hal ini dapat dilihat pada kodifikasi hukum majallat al-ahkam al-adhiya tahun 1876[21] dengan memilih salah satu dari sekian pendapat mazhab fiqh yang ada.
Aplikasi metode takhayyur dalam perundang-undangan Turki menurut Anderson[22] seperti pada aturan ta’lik talak yang dicantumkan pada Pasal 38 Hukum tentang Hak-hak keluarga tahun 1917 bahwa seorang isteri berhak mencantumkan dalam ta’lik talak bahwa poligami suami dapat menjadi alasan perceraian. Metode pembaruan hukum keluarga yang dominan terutama berkaitan dengan perceraian adalah maslahah mursalah. Hal ini nampak dari ketentuan yang mewajibkan perceraian di Pengadilan, kemaslahatan yang diperoleh adalah sikap kehati-hatian dan kepastian hukum. Keseimbangan hak antara suami isteri dalam pengajuan cerai dengan alsan-alasan yang mendasarinya juga dimaksudkan untuk menghindari kesewenang-wenangan salah satu pihak (suami) yang mengakibatkan kerugian dipihak lain dan mengembalikan posisi isteri yang sering termarjinalkan oleh konstruksi pemahaman hukum Islam.
Pembaruan hukum keluarga di Turki dalam perspektif kategorisasi metode pembaruan, dapat dikemukakan bahwa metode pembaruan extra doctriner reform nampak pada masa-masa awal pembaruan ditandai dengan munculnya protes kaum istri yang merasa terkekang oleh mazhab Hanafi, kemudian memunculkan solusi alternatif perceraian dari pihak isteri yang ditinggal suaminya yang lebih mengacu pada mazhab Hambali dan Maliki. Metode intra doctriner reform lebih mewarnai pembaruan hukum keluarga di Turki seperti penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan dengan hanya mengakui perceraian yang terjadi dalam sidang di pengadilan. Pembaruan ini merupakan bentuk kepastian hukum bagi masyarakat Turki.


BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dinamika pemikiran hukum islam di Turki berkembang jauh lebih awal dibandinh Negara-negara muslim lain dengan munculnya Hatt-I Syarif , sebuah dekrit Imperium Turki yang diterbitkan tahun1839 yang dimaksudkan sebagai pegangan untuk legislasi hukum modern. Setelah itu pembaharuan terus berguir merespon perubahan kondisi sosial, politik serta budaya. Dinamika tersebut memberi Inspirasi kepada cerdik cendikiawan di  Negara-negara muslim lainnya untuk mengadakan usaha yang sama.
Khusus Hukum keluarga di Turki telah mengalami beberapa kali perubahan. Hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917 (The Ottoman Law of Family Rights / Qanun al-huquq al Aila) diperbarui dengan Hukum Perdata Turki Tahun 1926 (Turkish civil code, 1926), kemudian diamandemen dua kali, tahapan tahun 1933-1956 dan tahun 1988-1992. Materi pembaruan hukum keluarga dalam masalah perceraian seputar persamaan hak dalam pengajuan perceraian antara suami istri dan alasan-alasan yang dijadikan dasar perceraian. Metode pembaruan yang diterapkan dalam masalah perceraian adalah lebih mengedepankan maslahah mursalah. Walaupun begitu extra dan intra doctriner reform cukup mewarnai dinamika pembaruan hukum keluarga di Turki.






DAFTAR KEPUSTAKAAN
Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Ciputat Press), 2003
David Pearl and Werner Menski, Muslim Family Law, third edition (London:Sweet and Maxwell, 1998)
Fazlurrahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intentelektual, alih bahasa Ahsin Muhammad, cet. II (Bandung:Pustaka, 2000),
Gustave E. Von Grunebaum, Islam Kesatuan Dalam Keragaman, (Jakarta : Pt.Karya Uni press),1975, cet.II
J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein (Surabaya:Amar Press, 1990)
Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS),2002,
Muhammad Amin, al-shahir bi ibn ibidin, hasyiyah Radd Al-mukhtar,(Beirut : Dar al-fikr),
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Moslem World (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972)
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries History, Text, Comperative Analysis, (New Delhi : Academy of law and religion), 1987
Tahir Mahmood, Status of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised Edition (New Delhi:ALR, 1995),
Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru), 1994



[1]Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Transformasi Intelektual, alih bahasa Ahsin Mohammad, cet IV (Bandung:Pustaka, 2000), h., 108.
[2]Fazlur Rahman, Islam, ...h., 109
[3]Istilah yang sepadan dengan hukum keluarga antara lain: hukum perorangan (personal law), hukum perkawinan, hak-hak keluarga, al-ahwal asyakhsiyyah, dll.
[4] J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, alih bahasa Machnun Husein (Surabaya:Amar Press, 1990), hlm. 27 Lihat pula Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Moslem World (Bombay:N.M.TRIPATHI PVT. LTD, 1972), hlm. 17.
[5]Gustave E. Von Grunebaum, Islam Kesatuan Dalam Keragaman, (Jakarta : Pt.Karya Uni press),1975, cet.II, h.79
[6]Atho Muzhdar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern,(Jakarta:Ciputat Press), 2003, h.36
[7]Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru), 1994,hl.114

[8]Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru), 1994, h.116
[9]Atho muzdhar & Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Ciputat Press), 2003, h.37
[10]Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries History, Text, Comperative Analysis, (New Delhi : Academy of law and religion), 1987,hl.263
[11]Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World (Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD, 1972), h. 3-8.

[12]Kodifikasi hukum Majallah al-ahkam al adhiya mempunyai makna yang penting dalam sejarah yang dikenal sebagai kodifikasi hukum islam yang pertama yang bersumber pada syariƔh. Kodifikasi tersebut mulai terbuka dengan tidak semata-mata mendasarkan pada mazhab Hanafi.
[13]Talak yang diucapkan suami dalam keadaan mabuk, di bawah ancaman, gurauan, sekedar menakut-nakuti, bahkan dalam keadaan mimpi atau keadaan tidak sadar karena sakit menurut mazhab Hanafi tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum. Suami dapat menceraikan isterinya kapanpun ia kehendaki, dan isteri dapat dicerai oleh suaminya, meskipun isteri tersebut tidak menghendaki cerai sama sekali. Para isteri yang merasa terikat oleh mazhab Hanafi tersebut yang justru pertama kali mendesak pemerintah Turki untuk melakukan pembaruan hukum keluarga. Lihat J.N.D. Anderson, Hukum Islam…, h.57-58.

[14]J.N.D. Anderson, Hukum Islam…, h.57-58.
[15]Tahir Mahmood, Family Law…, h. 17-18.lihat pula J.N.D. Anderson, Hukum Islam…, h. 95-96

[16]Naskah Hukum Keluarga Turki ,1952 pasal II ayat I.
[17]Muhammad Amin, al-shahir bi ibn ibidin, hasyiyah Radd Al-mukhtar,(Beirut : Dar al-fikr), h.599
[18]Khairuddin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara, (Jakarta : INIS),2002, h.245
[19] Tahir Mahmood, Status of Personal Law in Islamic Countries:History, Texts and Analysis, Revised Edition (New Delhi:ALR, 1995), h. 84
[20]Fazlurrahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intentelektual, alih bahasa Ahsin Muhammad, cet. II (Bandung:Pustaka, 2000), h. 50-51
[21]David Pearl and Werner Menski, Muslim Family Law, third edition (London:Sweet and Maxwell, 1998), h. 21.
[22]Khoiruddin Nasution, Status Wanita…, h. 279

3 komentar:

  1. Salam saya punya teman pria turki ada rencana menikah .dia sudah berpisah 10 tahun tapi saya suruh minta surat keterangan kedutaan turki dia bilang tidak bisa karna x istrinya tidak mau pisah lewat pengadilan agama .apa benar di negara turki perceraian di larang dan apa yang harus saya lakukan saya ingin menikah di akui dua negara tolong masukan nya saya harus bagaimana,terimakasih

    BalasHapus
  2. Terimakasih atas informasinya gan

    BalasHapus

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh: Maizul Imran, S.HI BAB I PENDAHULUAN A.     Latar belakang Pemilihan Umum. sebag...