Sabtu, 03 Januari 2015

LAFADZ DARI SEGI DILALAH (PENUNJUKAN) ATAS HUKUM pendapat Hanafiyyah dan Jumhur Ulama (Syafi`iyah)



 LAFADZ DARI SEGI DILALAH (PENUNJUKAN) ATAS HUKUM
pendapat Hanafiyyah dan Jumhur Ulama (Syafi`iyah)

Oleh:
Maizul Imran, S.HI



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dilalah lafadz atau kebahasaan.
Sumber hukum dalam qaidah ushuliyah adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqhiyyah.
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji hukum Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath hukum dari segi kebahasaan. Istinbath hukum dari segi kebahsaan sangat penting, karena tidak mungkin bagi seorang faqih dapat mengambil suatu hukum tanpa mengetahui ushlub bahasa dari bahasa (wahyu) yang akan diambilnya . Karena bahasa (wahyu) yang ada dalam al-quran itu berbahasa arab, maka sudah tentu bagi seorang ahli ushul atau faqih harus bisa memahami dan mengerti ushlub bahasa tersebut.
Kita tahu bahwa nash-nash Al-Qur'an dan Sunah adalah dalam bahasa Arab. Maka pemahaman hukum dari nash hanyalah menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi uslub dalam bahasa Arab dan cara-cara dilalahnya, serta apa yang ditunjuki lafazh-lafazhnya, baik dalam bentuk mufrad maupun murakkab (susunan). Oleh karena inilah, maka ulama ushul fiqh menaruh perhatian serius pada penelitian tentang uslub Arab, susunan-nya, dan kata-kata mufradnya, serta mengambil kesimpulan dari penelitian tersebut. Di antara yang ditetapkan oleh ulama bahasa ini ialah : Kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan (dhabith), yang dengan memperhatikannya dapat sampai kepada pemahaman hukum dari nash-nash syar'iyyah dengan suatu pemahaman yang benar, sesuai dengan apa yang difahami oleh bahasa Arab yang nash-nash tersebut datang dengan bahasanya, dan juga menjadi sarana untuk memperjelas nash yang mengandung kesamaran, menghilangkan kontradiksi yang kelihatan di antara nash-nIash itu, dan mentakwilkan sesuatu yang menunjukkan untuk pentakwilannya, serta lainnya yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari berbagai nashnya.
Kaidah-kaidah dan dhabit-dhabit tersebut adalah kebahasaan (lugha-wiyyah) yang diambil dari penelitian uslub bahasa Arab, ia bukanlah suatu pembentukan keagamaan. la merupakan berbagai kaidah untuk memahami susunan kalimat dengan suatu pemahaman yang benar. Maka memahami makna dan hukum daripadanya menempuh jalan bangsa Arab dalam memahami susunan bahasa, mufradat dan uslubnya.
Pembahasan ini dibahas oleh Dr. Wahbah zuhaili dengan judul Dilalah atau cara istinbath hukum dari nash-nash. Pemahaman terhadap dilalah memiliki beberapa metode, tergantung dari segi makna akan dipahami dilalah tersebut. Namun dalam pembahasan makalah ini hanya yang berhubungan dengan penunjukan nash terhadap makna (دَلَالَةُ النَّصِ عَلَى المَعْنَى) yang ada dalam lafadz nash. Dilalah nash terhadap makna pun juga masih di bagi empat antara lain sebagai berikut :
1. Dilihat dari segi bentuk lafadznya  (‘am, khas, musytarok, muawwal)
2. Dilihat dari segi penggunaan lafadznya (hakiki, majaz, shorikh, kinayah)
3. Dilihat dari segi tingkat kejelasan dan kesamaran lafadznya (tingkat kejelasan : dhohir, nash, mufassar, muhakkam) dan ( tingkat kesamaran : khofi, musykil, mujmal, mutasyabih)
4. Dilihat dari segi cara penunjukkan suatu makna (maksud yang terkandung dalam lafadz itu sendiri) (ibarat nash, isyarat nash, dilalah nash, iqtidlo’ nash)
Dari beberapa pembagian diatas, kita akan terfokus kepada pembahasan yang ke empat yaitu dilalah nash terhadap makna ditinjau dari cara penunjukkan suatu makna terhadap lafadz itu sendiri.









BAB II
PEMBAHASAN
A. Urgensi Dilalah dalam Ilmu Ushul Fiqh
Memahami dilalah dalam hal ini menjadi suatu keharusan, mengingat nash syar'i atau perundang-undangan wajib diamalkan sesuai dengan sesuatu yang dipahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya), atau isyaratnya, atau dilalahnya, atau juga iqtidha'nya. Karena segala sesuatu yang dipahami dari nash dengan salah satu jalan dari empat jalan tersebut, maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash, sedangkan nash adalah hujjah atasnya, "Apabila pengertian yang dipahami dengan salah satu jalan tersebut bertentangan dengan pengertian lainnya yang dipahami melalui jalan dari jalan-jalan tersebut, maka makna yang dipahami dari ibarat dimenangkan atas makna yang dipahami melalui isyarat; dan makna yang dipahami melalui salah satu dari dua jalan tersebut dimenangkan atas makna yang dipahami melalui dilalah ".
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah : Bahwasanya nash syar'i terkadang menunjukkan beberapa makna yang beragam melalui cara dilalah tersebut. Dilalah nash tersebut tidaklah terbatas pada makna yang dipahami dari ibaratnya dan huruf-huruf-nya, akan tetapi terkadang pula ia menunjukkan berbagai makna yang dipahami dari isyaratnya, dari dilalahnya, dan dari iqtidha'nya, Setiap makna dari makna-maknanya yang dipahami dengan salah satu dari cara-cara tersebut maka ia termasuk di antara madlul (yang ditunjuki) oleh nash. Nash adalah dalil dan hujjah atas dirinya, dan ia wajib mengamalkannya. Karena seseorang yang dibebani dengan nash (teks) juga dibebani untuk melaksanakan makna yang ditunjuki oleh nash tersebut, dengan salah satu cara yang diakui menurut bahasa. Apabila seorang mukallaf mengamalkan madlul (yang ditunjuki) oleh nash dari sebagian cara dilalahnya dan tidak mengabaikan pengamalan terhadap madlul nash dari cara yang lain, maka sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan nash dari sebagian segi. Oleh karena itulah, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata : "Wajib mengamalkan apa yang ditunjuki oleh ibarat nash dan apa yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash tersebut”.
Untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang terkandung dalam lafadz nash, baik secara harfiyah maupun secara maknawiyah maka sebagai seorang faqih harus mengerti tata cara pemahaman lafadz itu, yaitu dengan cara mempelajari konsep dilalah yang telah disusun oleh ulama ushuliyah.
Pembahasan tentang dilalah ini juga termasuk dalam salah satu cara mempertajam sistem berpikir (ilmu logika). Menurut Amir Syarifuddin , bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dilalah.[1]
B. Makna dilalah
Dilalah berasal Secara bahasa kata “دلالـة adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دَلَّ- يَـدُلُّ yang berarti menunjukkan dan kata dilalah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan dilalah. Arti dilalah (الدلالة) secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut مدلول (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah hukum itu sendiri. Sedangkan kata sesuatu yang disebutkan kedua disebut دليل (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.[2]
Sedangkan dilalah menurut istilah adalah penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dilalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dilalah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut;
مـايـُسْـتَـدَ لُّ بِالـنَّـظْرِالصَّحِيْحِ فِـيْـهِ عَـلَى حُكْمِ شَـرْعِي عَـمَلِي عَـلَى سَــبِـيْـلِ ا لـقَـطْعِ أَوِالـظَنِّ
Artinya; “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun zhanniy.”
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili dalam kitab ushulnya Dilalah adalah :
كَـيْـفِـيَّةُ دَلَالَـةِ اللَّـفْــظِ عَـلَى الْمَـعْـنَى atau كَيْفِيَّةُ دَلَالَتِهِ عَلَى المُرَادِ المُتَكَلِّمِ
Yaitu; penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim atau cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna.
Dilalah sebenarnya merupakan salah satu bagian dalam pembahasan ilmu logika, di mana untuk mengetahui sesuatu  tidak mesti harus melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk atau isyarat disebut berpikir secara dilalah. Oleh karena itu, dalam pembahasan ilmu Ushul al-Fiqh, dilalah adalah memahami suatu hukum syar’i berdasarkan dalil hukum syar’i.[3]
C. Dilalah dalam Pandangan Ulama Hanafiyyah
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu lafzhiyyah.[4]
1. Dilalah Lafzhiyyah (دلالة لفظية)
Dilalah lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Para fuqaha’ hanafiyyah membedakan empat tingkat makna dalam suatu urutan yang dimulai dengan makna eksplisit atau makna langsung suatu nash. Urutan berikutnya adalah makna yang tersirat yang diikuti oleh makna yang tersimpul dan terakhir oleh makna yang dikehendaki. Adapun penjelasan keempat bagian tersebut secara terperinci adalah sebagaimana berikut:
1)  دلالة العبارة atau عبارة النص (makna eksplisit), yaitu makna yang dapat segera dipahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Makna tersebut bisa langsung dipahami dari lafazh yang disebutkan baik dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya (zhahir).[5]
Pemahaman lafazh dalam bentuk ini adalah menurut apa adanya yang dijelaskan dalam lafazh tersebut. Pemahamannya secara tersurat (eksplisit) dalam lafazh. Contohnya dalam firman Allah QS. an-Nisa’ (4): 3.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْا فِيْ الْيَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ. فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”
Dari ayat tersebut terdapat empat makna di dalamnya. Pertama, legalitas pernikahan. Kedua, pembatasan poligami maksimal empat. Ketiga, penetapan asas monogami jika poligami dikhawatirkan mendatangkan ketidakadilan. Keempat, ketentuan bahwa wanita-wanita yatim harus diperlakukan secara adil.[6]
Ciri ‘ibarah an-nash adalah bahwa ia membawa ketentuan definitive (hukum qath’iy) dan tidak memerlukan dalil pendukung. Tetapi jika nash tersebut dikemukakan dengan terma-terma umum, maka ia bisa terkena kualifikasi. Dalam kasus demikian, ia tidak menjadi dalil qath’i tetapi hanya dalil zhanni saja.
Ibarah an-nash bertingkat-tingkat kekuatannya sesuai dengan kejelasan arti lafazhnya. ‘Ibarat dalam bentuk nash lebih kuat penunjukannya dibanding dengan ‘ibarat dalam bentuk zhahir.[7]
2) دلالة الإشارة atau إشارة النص (makna tersirat), yaitu makna yang tidak segera dapat dipahami dari lafazh-lafazhnya, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah makna yang lazim bagi makna yang segera dapat dipahami lafazhnya.[8]
Setiap lafazh menurut ‘ibaratnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh lafazh tersebut. Para ulama ushul juga dapat menangkap bentuk lafazh yang demikian untuk memberi petunjuk (isyarat) kepada maksud lain. Terkadang lafazh itu memberi isyarat kepada lebih dari satu maksud di luar apa yang ditunjukkan oleh ‘ibaratnya (makna eksplisitnya). Contohnya dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 233.
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf…”
Makna eksplisit ayat tersebut adalah jelas menentukan bahwa merupakan kewajiban ayah untuk menafkahi istrinya. Ungkapan المولود له yang berarti ayah sebagai pengganti lafazh الأب yang digunakan oleh Allah dalam ayat ini oleh para mujtahid menjadi titik perhatian. Dari lafazh المولود (yang dilahirkan/anak) dan له (untuknya) tersebut dapat dipahami pula bahwa anak adalah kepunyaan ayahnya, atau dalam istilah hukum “anak itu dinasabkan kepada ayahnya”.[9]
Dengan pemahaman tersebut terlihat bahwa ayat tersebut yang menurut ‘ibaratnya mengandung maksud tertentu, juga menurut isyaratnya menunjukkan kepada maksud yang lain.[10]
3) دلالة الدلالة atau دلالة النص (makna yang tersimpul), yaitu makna yang dipahami dari jiwa dan penalaran nash. Jika ‘ibarat suatu nash menunjukkan hukum suatu kasus dengan suatu  ‘illat yang menjadi dasar hukum tersebut, dan ditemukan kasus lain yang menyamai kasus tersebut dalam segi ‘illat hukumnya atau bahkan ia lebih-lebih lagi, dan hal itu dapat segera dipahami dengan semata-mata memahami bahasa bahasa, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash tersebut mencakup dua kasus tersebut, dan hukum yang ditetapkan bagi manthuq (yang diucapkan) juga berlaku bagi yang dipahami dengan ‘illat yang sama.[11]
Berbeda dari makna ‘ibarat dan isyarat, di mana keduanya ditunjukkan dalam lingkup dan isyarat-isyarat nash, dilalah an-nash tidak ditunjukkan dalam lingkup dan isyarat-isyaratnya. Di samping itu, makna tersebut diperoleh melalui penarikan analogi yang diperoleh melalui inferensi. Dilalah semacam ini sering disebut dengan istilah المفهوم الموافقة dan sebagian ulama menamakannya dengan القياس الجلي.[12]
Dilalah an-nash ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Hukum yang akan diberlakukan kepada kasus yang tidak disebutkan dalam nash keadaannya lebih kuat dibanding dengan kasus yang terdapat dalam nash. Dilalah an-nash dalam bentuk ini disebut dengan المفهوم الأولوي (al-mafhum al-awlawiy) atau disebut pula فحوى الخطاب (fahwa al-khithab). Sebagaimana dalam firman Allah QS. Al-Isra’ (17): 23.
فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka…”
Ibarah an-nash menunjukkan tidak bolehnya mengucapkan kata-kata kasar dan menghardik orang tua. Hukum “tidak boleh” itu juga berlaku pada perbuatan “memukul orang tua” secara lebih kuat, karena sifat “menyakiti” yang menjadi alasan larangan pada pengucapan kasar lebih kuat pada perbuatan “memukul”.
2. Hukum yang akan diberlakukan kepada kasus yang tidak disebutkan dalam nash keadaannya sama dengan kasus yang disebutkan dalam nash. Dilalah an-nash dalam bentuk ini disebut المفهوم المساوى (al-mafhum al-Musawi) atau لحن الخطاب (lahn al-khithab). Contohnya dalam firman Allah: QS. An-Nisa’ (4): 10.
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya…”
Ibarah an-nash dari ayat tersebut menunjukkan tidak boleh memakan harta anak yatim secara tidak patut. Hukum “tidak boleh” ini berlaku pula pada perbuatan yang sama dengan memakan harta anak yatim, misalnya membakarnya atau memusnahkannya. Alasan yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu “menghabiskan” harta anak yatim, terdapat pula pada perbuatan membakarnya atau memusnahkannya yang sama kuatnya dengan perbuatan memakannya secara tidak patut.[13]
4) دلالة الإقتضاء atau إقتضاء النص (makna yang dikehendaki), yaitu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafazh yang kebenarannya tergantung kepada makna yang tidak disebutkan. Atau penunjukan lafazh kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tanpa memunculkannya.[14] Dengan kata lain bahwa dalam suatu ucapan ada suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali jika makna yang tidak disebutkan itu dinyatakan. Contohnya dalam firman Allah QS. Yusuf (12): 82.
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا وَالْعِيْرَ الَّتِيْ أَقْبَلْنَا فِيْهَا
Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya…”
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada “negeri” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat tersebut menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan adalah kata “penduduk” sebelum kata “negeri” sehingga menjadi “penduduk negeri”, yang dapat ditanyai dan memberi jawaban.
2. Dilalah Ghayru Lafzhiyyah (دلالة غير لفظية)
Dilalah ghayru lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil bukan menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Dilalah seperti ini disebut dengan دلالة السكوت (dilalah as-sukut) atau بيان الضرورة (bayan adl-dlarurah). Dilalah semacam ini dibagi menjadi empat macam:[15]
1) Kelaziman yang untuk menyebutkan suatu ketetapan hukum tertentu juga menetapkan hukum yang tidak disebutkan. Misalnya dalam firman Allah QS. An-nisa’ (4): 11.
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;”
Ketetapan bahwa bagian warisan ibu adalah sepertiga, maka bagian ayah adalah dua pertiga ketika ahli waris hanya mereka berdua karena bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
2) Penunjukan keadaan diamnya seseorang yang berfungsi sebagai penjelasan persetujuannya.
3) Menganggap diamnya seseorang sebagai sudah berbicara untuk menghindari adanya penipuan.
4) Penunjukan keadaan diam untuk sesuatu yang berbilangan tetapi dihilangkan untuk menyederhanakan kata.
D. Dilalah dalam Pandangan Ulama Syafi’iyyah
Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah, dilalah itu dibagi menjadi dua macam, yaitu dilalah manthuq dan dilalah mafhum.[16] Sedangkan penjelasannya adalah sebagaimana berikut:
1. Al-Manthuq (المنطوق)
Manthuq secara etimologi berarti sesuatu yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah ushul al-fiqh berarti penunjukan lafazh terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafazh). Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami secara langsung dari lafazh yang tertulis maka cara seperti ini yang disebut pemahaman secara manthuq. Dilalah al-manthuq ini terbagi menjadi dua:
1) Manthuq sharih yaitu makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafazh sesuai dengan penciptaanya, baik secara penuh atau berupa bagiannya. Misalnya, firman Allah dalam Surat an-Nisa’ (4): 3 yang mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat adil, jika tidak, maka wajib membatasi satu saja. Manthuq sharih ini dikenal dengan istilah ‘ibarah an-nash dalam kalangan ulama Hanafiyyah.
2) Manthuq ghayru sharih yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna asli suatu lafazh, tetapi sebagai konsekuensi dari suatu ucapan. Dilalah ini terbagi lagi menjadi:
1. دلالة الإقتضاء atau إقتضاء النص, sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyyah.
2. دلالة الإيماء, yaitu penyertaan sifat dalam hukum sebagai ‘illat hukum yang mana jika sifat tersebut tidak menjadi ‘illat maka penyertaan itu tidak ada artinya. Dengan demikian dilalah ima’ secara sederhana dapat diartikan sebagai petunjuk yang mengisyaratkan sesuatu.
3. دلالة الإشارة atau إشارة النص, sebagaimana dipahami oleh ulama Hanafiyyah, yaitu penunjukan yang tidak dimaksud oleh pembicara.[17]
2. Al-Mafhum (المفهوم)
Mafhum secara etimologi adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan pengertian mafhum menurut ulama ushul adalah pengertian tersirat dari suatu lafazh atau pengertian kebalikan dari pengertian lafazh yang diucapkan. Mafhum menurut mayoritas ulama ushul fiqh – sebagaimana tergambar dalam definisi di atas – dapat dibagi menjadi dua macam:
1) المفهوم الموافقة yaitu mafhum yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafazh. Mafhum ini terbagi menjadi dua, yaitu mafhum awlawiy dan mafhum musawiy, sebagaimana keterangan dalam دلالة النص.[18]
2) المفهوم المخالفة yaitu mafhum yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan hukum yang berlaku berdasarkan mafhum itu berlaku berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuq. Mafhum mukhalafah ini dinamai juga dengan dalil khithab. Mafhum mukhalafah ini terbagi dalam beberapa bentuk, di antaranya adalah:
مفهوم الصفة .1 yaitu penunjukan suatu lafazh yang terkait dengan suatu sifat terhadap kebalikan hukumnya ketika tidak ada sifat tersebut. Contohnya dalam firman Allah QS. An-nisa’ (4): 25.
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki…”
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki mukmin boleh menikahi budak perempuan yang beriman ketika tidak mampu menikahi perempuan beriman yang merdeka. Melalui mafhum mukhalafah diketahui haramnya menikahi budak perempuan yang tidak beriman.
مفهوم الشرط .2 yaitu menetapkan kebalikan hukum yang terkait dengan syarat ketika syarat itu tidak ada. Contohnya dalam firman Allah QS. Ath-Thalaq (65): 6.
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…”
Ayat ini menegaskan adanya kewajiban suami memberi nafkah terhadap istrinya yang telah dithalaq ba’in jika istri tersebut dalam keadaan hamil. Secara mafhum mukhalafah suami tidak berkewajiban memberi nafkah terhadap istrinya yang telah dicerai dalam keadaan tidak hamil.
مفهوم الغاية .3 yaitu penunjukan suatu lafazh yang terkait padanya hukum yang dibatasi dengan limit waktu atas tidak berlakunya hukum itu setelah limit waktunya berlalu. Contohnya sebagaimana dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 187:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”
Ayat ini menjelaskan tentang bolehnya makan dan minum pada malam bulan Ramadlan sampai terbit fajar. Secara mafhum mukhalafah ayat ini dapat dipahami bahwa haram makan dan minum sesudah limit waktu habis, yaitu setelah terbit fajar.
مفهوم العدد .4 yaitu penunjukan suatu lafazh yang terkait padanya hukum dengan bilangan tertentu terhadap hukum kebalikannya ketika bilangan itu tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah QS. An-Nur (24): 4.
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera…”
Berdasarkan ayat ini, hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik melakukan zina, sementara ia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi adalah, adalah didera sebanyak 80 kali. Dalam hal ini tidak boleh mengurangi ataupun menambahi hukuman dera 80 kali.
مفهوم اللقب .5 yaitu meniadakan berlakunya sebuah hukum yang terkait dengan suatu lafazh terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan tersebut. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah QS. Yusuf (12): 4.
إِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِأَبِيْهِ يَأَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِيْ سَاجِدِيْنَ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”
Dari ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada tidak ada kaitannya dengan orang lain.[19]
E. Berhujjah dengan Menggunakan Mafhum Mukhalafah
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Kalangan Hanafiyyah tidak menerima mafhum mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum. Di antara alasan yang dikemukakan kelompok ini bahwa bila mafhum mukhalafah difungsikan pada banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, maka akan merusak pengertian yang terdapat pada ayat dan hadits dan meniadakan hukum yang ditetapkan secara syara’ melalui ayat dan hadits tersebut.[20] Misalnya dalam firman Allah QS. Ali Imran (3): 130.
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Apabila digunakan mafhum mukhalafah terhadap ayat ini maka riba yang tidak termasuk kategori berlipat ganda dihalalkan dan dibolehkan oleh ayat ini. Pemahaman seperti ini jelas keliru karena riba yang tidak berlipat ganda pun dilarang dan haram hukumnya. Ini menunjukkan bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan terhadap al-Qur’an.
Berbeda dengan kalangan Hanafiyyah, jumhur ulama ushul al-fiqh menerima mafhum mukhalafah dengan mengecualikan mafhum al-laqab sebagai hujjah. Mereka mengemukakan beberapa alasan, di antaranya:
1. Sahabat-sahabat besar, para tabi’in dan imam-imam mujtahid menggunakan mafhum mukhalafah.
2. Secara logika adanya kaitan yang terdapat pada nash-nash syariat dalam bentuk sifat, syarat atau ghayah bukan suatu kesia-siaan, tetapi mempunyai manfaat tertentu. Di antara faidahnya mengkhususkan hukum yang dimaksudkan oleh nash dan meniadakan selainnya.[21]
F. Syarat Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah
Ulama yang memperbolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakannya sebagai hujjah. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq atau mafhum muwafaqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal.
2. Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukan sekedar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.
3. Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
4. Dalil mantuqnya (yang tersurat) disebutkan secara terpisah. Seandainya manthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
5. Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku[22]
G. Analisis penulis.
            Dari berbagai uraian diatas dan dari referensi yang berkaitan dengan kajian ini, maka dapat dibuat sebuah peta konsep dari pemikiran para ulama tentang penggunaan lafazd dari segi dilalahnya sebagai berikut:
Golongan Hanafiyyah
(Zhahiriyyah, al-Ghazali, al-Amidi dari syafi`iyyah, Mu`tazilah)
Golongan Jumhur ulama
(Syafi`iyyah, Malikiyyah, Hanabilah)
1.    Segi pembagian dilalah :
a.    Dilalah Lafzhiyyah
1)   Ibarah nash
2)   Isyarah nash
3)   Dilalah nash
4)   Iqtidha` nash
b.    Dilalah ghair lafzhiyyah disebut Dilalah sukut/ bayan dharurah.

1.      Segi pembagian dilalah:
a.    Dilalah Manthuq
a)    Manthuq sharih
b)   Manthuq ghair sharih
1.    Iqtidha`dan ima`
2.    Dilalah isyarah
b.   Mafhum
a)         Mafhum muwafaqah
1.        Aulawi
2.        Musawwi
b)        Mafhum mukhalafah
1.        Sifat
2.        Syarat
3.        Ghayah
4.        Adad
5.        Laqab

2.kesejalanan secara maknawi

a. ibarah nash = manthuq sharih
b. isyarah nash = manthuq ghair sharih (dilalah isyarah)
c. dilalah nash = mafhum muwafaqah
d. iqtidha` nash = manthuq ghair sharih (iqtidha` dan ima`)


3.    Menolak mafhum mukhalafah sebagai hujjah.
Alasan:
Bila mafhum mukhalafah difungsikan pada banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, maka akan merusak pengertian yang terdapat pada ayat dan hadits dan meniadakan hukum yang ditetapkan secara syara’ melalui ayat dan hadits tersebut.
3.menggunakan mafhum mukhalafah dgn syarat-syarat tertentu.
Alasan ;
1.         Sahabat-sahabat besar, para tabi’in dan imam-imam mujtahid menggunakan mafhum mukhalafah.
2.         Secara logika adanya kaitan yang terdapat pada nash-nash syariat dalam bertuk shifat, syarat atau ghayah bukan suatu kesia-siaan, tetapi mempunyai manfaat tertentu. Di antara faidahnya mengkhususkan hukum yang dimaksudkan oleh nash dan meniadakan selainnya.
4.    Apabila terjadi pertentangan makna terhadap dilalah-dilalah:
a.    Dahulukan isyarat nash daripada dilalah nash.
Alasan : bahwa Isyarah al-Nas merupakan unsur dari tata kalimat, sedangakan dilalah al-Nas itu tidak diperoleh dari Mantuq Nas melainkan dari Mafhum Nas, padahal makna yang diperoleh lewat Mantuq lebih kuat bobot dilalahnya dari pada yang diperoleh lewat Mafhum.


a.       Dahulukan dilalah nash daripada isyarat nash.
Alasan : bahwa dilalah Nas itu bersumber dari pemahaman kebahasaan terhadap Nash sehingga ia lebih dekat kepada Ibarah al-Nas, sedangkan Isyarah al-Nas diperoleh melalui pemahaman kebahasaan terhadap Nash.
5.    Semua sepakat tidak beramal dengan mafhum laqab
6.    Semua sepakat tetang bolehnya berhujjah dengan mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum ghayah, mafhum adad, diluar lingkungan nash.


Dengan membandingkan pemikiran aliran Hanafiyyah dan Mutakilimin di atas mengenai deskriktif dalalah al-Nas terhadap hukum, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Bagi aliran Hanafiyyah terdapat empat dalalah, yaitu Ibarah al-Nas, Isyarah al-Nas, dalalah al-Nas, dan Iqtida’ al-Nas.
b)  Bagi aliran Mutakalimin, terdapat dua pokok dalalah, yaitu dalalah Mantuq dan dalalah Mafhum
c) Apa yang disebut sebagai ibarah al-Nas, Isyarah al-Nas, dan Iqtida’ al-Nas dalam pemikiran aliran Hanafiyyah adalah secara maknawi tercakup oleh dalalah Mantuq dalam pemikiran Mutakalimin.
d) Apa yang disebut sebagai dalalah al-Nas dalam pemikiran aliran Hanafiyyah secara maknawi sejalan dengan dalalah Mafhum Muwafaqah dalam pemikiran aliran Mutakalimin.
e) Dalam pemikiran aliran Hanafiyyah tidak dikenal dengan dalalah Mafhum Mukhalafah bahkan, mereka menolak dalalah ini sebagai hujjah Syar’iyyah.
            Dapat dikemukakan pula bahwa bahwa para ulama dari kedua aliran tersebut memiliki titik kesepakatan dan titik perbedaan dalam pemikiran mereka tentang konsep-konsep dalalah al-Nas. Dan titik kesepakatan mereka tersebut adalaha:
a) Ibarah Nas atau Mantuq Sarih merupakan dalalah al-Nas yang peringkatnya yang paling kuat.
b) Mengiringi Ibarah al-Nas atau Mantuq Sarih dalam hal kekuatan illat adalah secara berurutan, Isyarah al-Nas atau Mantuq Ghairu Sarih, lalu dalalah Nas atau Mafhum Muwafaqah, lalu dalalah Iqtida’ atau Mantuq Ghairu Sarih
c) Apabila terjadi pertentangan maknawi antara dalalah-dalalah tersebut, yang harus diutamakan dan dipedomani adalah dalalah yang peringkatnya lebih kuat.
            Namun dalam kasus pertentangan makanawi ini, aliran Mutakalimin lebih mengutamakan dalalah al-Nas  dari pada Isyarah al-Nas ketika terjadi pertentangan maknawi tersebut, sedangkan aliran Hanafiyyah sebaliknya lebih mengutamakan Isyarah al-Nas dari pada dalalah al-Nas.
            Aliran Hanafiyyah beragumentasi bahwa Isyarah al-Nas merupakan unsur dari tata kalimat, sedangakan dalalah al-Nas itu tidak diperoleh dari Mantuq Nas melainkan dari Mafhum Nas, padahal makna yang diperoleh lewat Mantuq lebih kuat bobot dalalahnya dari pada yang diperoleh lewat Mafhum.
            Aliran Mutakalimin beragumentasi bahwa dalalah Nas itu bersumber dari pemahaman kebahasaan terhadap Nas sehingga ia lebih dekat kepada Ibarah al-Nas, sedangkan Isyarah al-Nas diperoleh melalui pemahaman kebahasaan terhadap Nas.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dilalah atau dilalah secara bahasa berarti petunjuk. Sedangkan secara istilah ulama ushul al-Fiqh.
الدلالة هى مايدل اللفظ من معنى
Artinya: “Dilalah adalah suatu pengertian yang ditunjuki oleh lafazh.”
            Dilalah lafzhiyah/الدلالة اللفظيه (penunjukan bentuk lafaz) yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz, suara dan kata, menujukkan kepada maksud tertentu.
            Dilalah ghairu lafzhiyah merupakan dilalah yang ditunjukkan secara tidak jelas oleh lafazhnya. Hanafiyah membagi dilalah ghairu lafzhiyah menjadi empat macam. Mereka menamakan dengan Bayan Dharurah (penjelasan secara darurat). Keempat macam dilâlah itu memberi petunjuk dengan cara sukut/diam.
B.     KRITIK DAN SARAN
Kami dari penulis, menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, dan keterbatasan referensi untuk itu  kami berharap kepada pembaca, terutama dosen pembimbing mata kuliah ini berupa kritik dan sarannya terhadap makalah ini yang bersifat membangun.











DAFTAR KEPUSTAKAAN
 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009)
Moh. Shofiyul Huda MF, Ushul Fiqh: Pengertian, Sejarah dan Pemikiran (Kediri: STAIN Press, 2009)
  Fatihi al-Dariny, al-Manahij al-Ushuliyyah fil Ijtihad bil Ra`yi (Damsyiq: Dar Kitab al-Hadits, 1975)
  Imam Abd Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asrar ala Ushul al-Bazdawi (Beirut: Mathba`ah Shina`i, t.th)
 Muhammad Khudari Beik, Ushul Fiqh (Mesir: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1969)
  Abd Wahhab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar Qalam, 1972)
  Zakiy al-Din Sya`ban, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damsyiq: Dar Kitab al-Hadits, 1958)
  Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar Fikr al-Arabi, t.th)
  Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004)
  Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut : Dar Afaq Jadidah, t.th)
Bacaan :
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011
Arifin, Miftahul, Ushul Fiqh: Kaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997
Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008)
al-Amidi, Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
Al-Ghazali, Mustashfa fi ilm Ushul.
Taj al-Din al-Subki, Jama` al-Jawami`.
Al-Syaukani, Irsyadul Fuhul.
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh Islami.
(Maktabah Syamilah Raudhah file/program).




[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),jilid II, h.126.
[2] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh... jilid II, 131.
[3] Moh. Shofiyul Huda MF, Ushul Fiqh: Pengertian, Sejarah dan Pemikiran (Kediri: STAIN Press, 2009), h.102
[4] Fatihi al-Dariny, al-Manahij al-Ushuliyyah fil Ijtihad bil Ra`yi (Damsyiq: Dar Kitab al-Hadits, 1975) h. 273
[5] Imam Abd Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asrar ala Ushul al-Bazdawi (Beirut: Mathba`ah Shina`i, t.th) jilid 1, h. 67
[6] Muhammad Khudari Beik, Ushul Fiqh (Mesir: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1969) h. 120
[7] Abd Wahhab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar Qalam, 1972) h. 144
[8] Fatihi al-Dariny, al-Manahij al-Ushuliyyah fil Ijtihad bil Ra`yi (Damsyiq: Dar Kitab al-Hadits, 1975) h. 279
[9] Imam Abd Aziz al-Bukhari, Kasyf al-Asrar ala Ushul al-Bazdawi (Beirut: Mathba`ah Shina`i, t.th) jilid 1, h. 70
[10] Zakiy al-Din Sya`ban, Ushul al-Fiqh al-Islami (Damsyiq: Dar Kitab al-Hadits, 1958) h. 313
[11] Fatihi al-Dariny, al-Manahij al-Ushuliyyah fil Ijtihad bil Ra`yi (Damsyiq: Dar Kitab al-Hadits, 1975) h. 312
[12] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),jilid II, h.135.
[13] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),jilid II, h.135-136.
[14] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar Fikr al-Arabi, t.th) h. 143
[15] Muhammad Khudari Beik, Ushul Fiqh (Mesir: Maktabah Tijariyah al-Kubra, 1969) h. 118-119.
[16] Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 170.
[17] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),jilid II, h.144-146
[18] Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar Fikr al-Arabi, t.th) h. 148
[19] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009),jilid II, h.149-152.
[20] Ibn Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut : Dar Afaq Jadidah, t.th) juz 7, h. 886
[21] Fatihi al-Dariny, al-Manahij al-Ushuliyyah fil Ijtihad bil Ra`yi (Damsyiq: Dar Kitab al-Hadits, 1975) h. 392
[22] Fatihi al-Dariny, al-Manahij al-Ushuliyyah fil Ijtihad bil Ra`yi (Damsyiq: Dar Kitab al-Hadits, 1975) h. 405

1 komentar:

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh: Maizul Imran, S.HI BAB I PENDAHULUAN A.     Latar belakang Pemilihan Umum. sebag...