KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DARI ASPEK
LOGIKA HUKUM
Oleh:
Maizul Imran, S.HI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah.
Pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau
kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat
disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan
pengetahuan ilmiah. Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua
jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif. Penalaran deduktif merupakan prosedur
yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui
atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang
bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pembentukan teori,
hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata
lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan
teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan.
Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan
kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Dilihat dari putusan hakim dapat dilihat banyaknya putusan hakim yang
tidak memenuhi rasa keadilan, maupun putusan-putusan yang “kontroversial”. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya putusan hakim yang dibanding karena ketidakpuasan
terhadap putusan hakim dan banyak juga hakim-hakim yang dilaporkan kepada
Komisi Yudisial karena kelakuan hakim itu sendiri..
Putusan hakim juga harus memenuhi unsur nilai dasar kemanfaatan dalam
putusan hakim karena putusan hakim selain memenuhi unsur kepastian hukum dan
keadilan juga harus bermanfaat bagi seluruh pihak dan tidak berpihak kepada
siapapun sehingga dapat dijadikan referensi oleh hakim lain untuk memutuskan
suatu perkara dalam materi yang sama (yurisprudensi).
Banyak jalan
pemikiran kita dipengaruhi oleh keyakinan, pola berpikir kelompok,
kecenderungan pribadi, pergaulan dan sugesti. Juga banyak pikiran yang
diungkapkan sebagai harapan emosi seperti caci maki, kata pujian atau
pernyataan kekaguman. Ada juga pemikiran yang diungkapkan dengan argumen yang
secara selintas kelihatan benar untuk memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan
memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan. Logika menyelidiki, menyaring
dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar dan bertujuan mendapatkan
kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan.
BAB II
PEMBAHASAN
KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DARI ASPEK LOGIKA HUKUM
A. Logika
Hukum (Legal Reasoning Theorie)
Logika hukum (legal reasoning) adalah
kegiatan berpikir problematis tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia)
sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Logika hukum dapat didefinisikan
sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek
(multidimensional dan multifaset).[1]
Logika hukum sebagai
kegiatan berpikir problematis tersistematis mempunyai ciri-ciri khas. Menurut
Berman ciri khas Logika hukum adalah:
1. Logika hukum berupaya
mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum.
Dasar berpikirnya adalah asas (keyakinan) bahwa hukum harus berlaku sama bagi
semua orang yang termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus
diberi putusan yang sama berdasarkan asas
similia similibus (persamaan);
2. Logika hukum berupaya
memelihara kontinuitas dalam waktu (konsistensi historikal). Logika hukum akan
mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah terbentuk sebelumnya dan
putusan-putusan hukum terdahulu sehingga menjamin stabilitas dan
prediktabili-tas;
3. Dalam logika hukum terjadi
penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim-klaim yang berlawan-an,
baik dalam perdebatan pada pembentukan hukum maupun dalam proses
mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses
peradilan dan dalam proses negosiasi.[2]
Ada beberapa pakar yang
menyebutkan langkah-langkah dalam logika hukum. Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah logika hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify
the applicable sources of law);
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk
menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheren, yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan
khusus di bawah aturan umum (synthesize the
applicable rules of law into a coherent structure);
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada
fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta
itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam
hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply
the structure of rules to the facts).[3]
Gr. van der Brught dan
J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seorang hakim
dalam menghadapi suatu kasus antara lain:
1. Meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan
kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya memaparkan
secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
2. Menerjemahkan kasus
itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3. Menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan
hukum itu;
5. Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan
penyelesaian;
7. Merumuskan (formulasi) penyelesaian.[4]
Sedangkan Shidarta
menyebutkan enam langkah utama logika hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur
(peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil
terjadi;
2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus ter-sebut dengan
sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum
dalam peristilahan yuridis (legal term);
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian
mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules),
sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian
diformulasikan sebagai putusan akhir.[5]
Dalam proses penerapan
hukum secara secara teknis operasional dapat didekati dengan 2 (dua) cara,
yaitu melalui logika hukum induksi dan deduksi. Penanganan suatu perkara atau
sengketa di pengadilan selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan
fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitasnya.
Melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah langkah induksi
diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah
penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum.[6]
Dalam identifikasi aturan
hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar
norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.[7] Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka
berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1. Lex superiori derogat legi
inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang
khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang
khususlah yang harus didahulukan;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan
yang baru mengalahkan atau melumpuhkan
peraturan yang lama.[8]
Di samping itu ada langkah
praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy).[9] Dalam hal
menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan
undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan
penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh
masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode
interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[10]
Dalam hal menghadapi
kekosongan hukum (rechts vacuum) atau
kekosongan undang-undang (wet vacuum),
hakim berpegang pada asas ius curia novit,
dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.[11] Hakim
tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas
hukumnya. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya
tidak lengkap atau tidak jelas.[12]
Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).
Sudikno Mertokusumo
mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan
hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk
melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa
hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum
merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang
bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konret (das sein)
tertentu.[13]
Paul Scholten menyatakan yang dimaksud dengan
penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan pada
peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya
harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi
atau ataupun rechtsverfijning (penghalusan/pengkonkretan hukum).[14]
Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya
adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum
adalah proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung
menimbulkan akibat hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim,
ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya).[15]
Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan
atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).[16]
Dalam rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Adapun dalam penjelasan
pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim
dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dengan
demikian ketentuan tersebut memberi makna hakim merupakan perumus dan penggali
nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan,
dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.[17]
Untuk dapat menemukan
hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara menggunakan metode penemuan
hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan
antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan konstruksi hukum ini terdiri atas nalar
analogi yang gandengannya (spiegelbeeld)
a contrario, dan ditambah bentuk
ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno
Mertokusumo disebut penyempitan hukum.[18]
Menurut Achmad Ali, ada 2
(dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik
peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode
konstruksi hukum.[19]
Ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum oleh hakim
menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya yuris Eropa
Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi hukum
dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan buku-buku
Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya,
para penulis yang condong ke sistem Anglo
Saxon, seperti Curzon, B. Arief Shidharta, dan Achmad Ali membuat
pemisahan secara tegas antara metode interpretasi hukum dan metode konstruksi
hukum.[20]
Secara umum ada 11
(sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:
1. Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang
sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2. Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan
perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu
dibentuk dulu;
3. Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu
pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsir- kan seakan-akan
berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis
peraturan lainnya;
4. Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum
yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa
yang ingin dicapai dalam masyarakat;
5. Interpertasi komparatif
merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai
sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. Interpretasi
futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi
yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai
kekuatan hukum (ius constituendum);
7. Interpretasi restriktif,
yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari
suatu aturan;
8. Interpretasi ekstensif,
yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang
biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9. Interpretasi autentik,
yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain
selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu
sendiri;
10. Interpretasi
interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan
pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu
cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
11. Interpretasi
multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi dan bantuan dari
disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta
memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.[21]
Dalam metode konstruksi
hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh hakim pada saat melakukan
penemuan hukum, yaitu:
1. Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode
penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah
peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik yang telah diatur oleh
undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;
2. Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim
melaku-kan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang
menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu
terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku
kebalikannya;
3. Penyempitan/Pengkonkretan
hukum (rechtsverfijning) bertujuan
untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak,
pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa
tertentu;
4. Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru,
sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.[22]
Di samping metode penemuan
hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan konstruksi hukum, perlu
dikemukakan suatu metode penemuan hukum yang lain yang dapat dipergunakan oleh
hakim dalam praktik peradilan sehari-hari sebagai alternatif metode penemuan
hukum baru oleh hakim yang berdasarkan pada interpretasi teks hukum. Metode penemuan
hukum ini dinamakan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum sebenarnya bukan
sesuatu yang berdiri sendiri, sebaliknya justru lebih tepat bila digunakan
untuk memecahkan berbagai persoalan hermeneutis dan menemukan kesatuan
hermeneutis masa lalu, dimana para ahli hukum dan teolog bertemu dengan mereka
yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.[23]
Tujuan hermeneutika hukum
di antaranya untuk menempat-kan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi
hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih luas. Upaya mengkonsteks-tualisasikan
teori hukum cara seperti ini mengisyaratkan bahwa hermeneutika mengandung
manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum). Upaya memandang problema
hukum dari kacamata sejarah hukum, konstitusi linguistik hukum, dan implikasi
politik dari cara pembacaan dan pemahaman hukum ini mencoba membangun
interpretasi hukum yang benar dalam tradisi humanis.[24]
Dalam praktik peradilan
tampak metode hermenutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali digunakan
sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia. Hal ini
disebabkan begitu dominannya metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum
yang sangat legalistik formal sebagai metode penemuan hukum yang telah mengakar
cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar
hakim belum familiar dengan metode ini, sehingga jarang atau tidak
menggunakannya dalam praktik peradilan. Padahal esensi hermeneutika hukum
terletak pada pertimbangan triangle hukumnya,
yaitu suatu metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata
melihat teks saja semata, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan serta
bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa
mendatang.[25]
B. FILSAFAT HUKUM ISLAM DARI ASPEK LOGIKA HUKUM.
Pembicaraan tentang pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam istilah usul al-fiqh disebut ijtihad tidak
bisa dipisahkan dengan perubahan-perubahan sosial (transformasi sosial) yang
terjadi dan berlangsung dalam kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman.
Perubahan-perubahan tersebut terjadi baik karena adanya
permasalahan-permasalahan yang baru sama sekali maupun karena permasalahan yang
telah terjadi di masa yang lalu yang belum terselesaikan. Sehingga di sinilah peran hukum Islam untuk menunjukkan
kerelevanan dan kefleksibelannya dalam setiap waktu dan di segala zaman.[26]
Secara umum ijtihad itu dapat dikatakan sebagai suatu upaya berpikir
serius secara optimal dan maksimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya
untuk memperoleh kepastian jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul
dalam masyarakat.[27]
Ijtihad dalam pengertian demikian, adalah upaya untuk mengantisipasi tantangan-tantangan baru yang senantiasa muncul sebagai akibat sifat evolusioner kehidupan.
Di sini, peran manusia sebagai khalifah Tuhan dituntut untuk senantiasa
berpikir, tetapi bukan dalam pengertian berpikir bebas tanpa kontrol, ia
harus berpikir dalam batas-batas bingkai Islam, yakni senantiasa terkait dengan makna al-Qur’an dan Sunnah.
Sekalipun
demikian, antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi yang tidak bisa
dipisahkan. Ijtihad, baik langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
sosial yang salah satu di antaranya diakibatkan oleh perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sedangkan hal yang perlu disadari adalah bahwa
perubahan-perubahan sosial itu harus senantiasa diberi arah oleh hukum, sehingga perubahan-perubahan sosial
tersebut dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan bagi umat manusia, bukan malah sebaliknya.
Walaupun secara umum sebenarnya perubahan masyarakat atau perubahan sosial
itu ada yang mempunyai akibat menguntungkan dan membawa pengaruh positif, yang
berarti membawa kemajuan dan perkembangan (progress), tetapi ada juga
perubahan sosial yang mempunyai akibat merugikan dan membawa pengaruh negatif,
yang berarti membawa kemunduran (regress),[28]
seperti banyak terjadi perubahan sosial yang menjadikan masyarakat tenggelam di
dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil suatu
sikap yang tepat terhadap keadaan yang baru itu.
Dalam
sosiologi hukum, hukum dalam posisi di atas dituntut untuk dapat memainkan peranan ganda yang sangat penting. Pertama,
hukum dapat dijadikan sebagai alat kontrol sosial(social control)
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (social
change), dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu sendiri.[29]
Tujuan yang
demikian itu terdapat pada semua sistem hukum, termasuk dalam hal ini hukum Islam. Bahkan, karena hukum Islam didasarkan
pada wahyu, hukum Islam itu mempunyai perbedaan dan keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan sistem hukum
yang lainnya.[30] Sehingga tidak menuntut
kemungkinan hukum Islam itu akan dijadikan sebagai pertimbangan dan rujukan dalam
memecahkan masalah dan menetapkan hukum atas suatu masalah oleh masyarakat
dunia, tidak hanya oleh mereka yang beragama Islam saja.
Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, hukum Islam mempunyai
tujuan yang jelas, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Tujuan perwujudan ini sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan
antara manusia baik secara individu maupun kolektif (habl
min al-nas), serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya (habl min al-‘alam). Di atas
semuanya itu ditentukan juga oleh ada atau tidaknya keharmonisan hubungan antara manusia sebagai makhluk
dengan Allah sebagai Dzat Pencipta (habl min Allah).[31]
Dalam rangka
mewujudkan harmonisasi hubungan-hubungan tersebut di atas, Allah SWT. memberikan pedoman berupa aturan-aturan hukum.
Aturan-aturan hukum tersebut berisi peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dalam masalah
akidah dan ibadah terdiri dari nash (al-Qur’an dan Hadith) yang rinci, memiliki daya ikat
dan validitas yang kuat bersifat qat‘i (pasti).[32]
Oleh karena
terdapat pengaturan yang qat‘i, dalam hal ini manusia tidak diperbolehkan melakukan perubahan-perubahan dan
pengembangan serta interpretasi lain selain yang dimaksud oleh Shari‘ sedikit pun. Dalam hal ini adalah
bidang akidah, ibadah wajib (mahdah) serta bidang yang berkaitan
dengan kehidupan sosial kemasyarakatan yang telah diatur secara rinci oleh nash. Dengan kata lain, dalam bidang ini tidak boleh ada
campur tangan manusia sedikit pun, yang dengan sendirinya
bidang-bidang tersebut bukanlah merupakan lapangan ijtihad.
Berbeda
dengan masalah-masalah tersebut di atas, maka masalah mu’amalah atau social kemasyarakatan dalam arti yang luas, aturan-aturan
hukumnya dinyatakan oleh Allah dalam bentuk garis-garis besarnya saja (mujmal) dan bersifat zhanni (tidak pasti). Betitik tolak dari garis-garis besar tersebut, manusia dengan potensi akal
yang dianugerahkan Allah kepadanya, diberi “kebebasan” dan “keleluasaan” untuk mencari alternatif-alternatif
pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan yang
dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam itu sendiri.[33]
Salah satu tujuan diberikannya kebebasan kepada manusia untuk mencari alternative
pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan
adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia itu sendiri. Kemaslahatan dan kebutuhan manusia tidaklah tetap, melainkan senantiasa mengalami
perubahan-perubahan. Dimana perubahanperubahan itu terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena pengaturan sebagian besar masalah sosial kemasyarakatan dalam
hidup dan kehidupan manusia adalah dengan nash-nash dalam bentuk
pokok-pokok (ijmal)nya saja, maka masalah sosial kemasyarakatan ini
menjadi lapangan ijtihad.[34]
Dalam bidang ini, kita dapat melihat bagaimana dinamika hukum Islam dalam
mengantisipasi dan mengatasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam
masyarakat dalam berbagai bidang. Ini tidaklah berarti bahwa masalah sosial kemasyarakatan tidak mengandung dimensi
ibadah. Akan tetapi, pembagian tersebut lebih ditujukan untuk memberikan
penekanan terhadap masalah-masalah yang tidak menerima perubahan dan pengembangan dengan berbagai metode ijtihad dan
pertimbangan yang diterapkan.
Jadi, dapat
dikatakan bahwa jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstan, permanen, dan stabil, tidak berubah sepanjang masa, betapa pun
kemajuan peradaban manusia. Sementara itu, peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabangnya mengalami
perubahan-perubahan, berkembang sejalan dengan perkembangan
zaman. Sehingga dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip hukum, dibarengi dengan terbuka lebarnya perubahan dan
perkembangan cabang- cabangnya, terjaminlah modernisasi dan kemajuan ilmu
pengetauan secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya
perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang
hukum Islam di bidang mu‘amalah semakin bertambah materi hukumnya, semakin banyak perbendaharaannya dan semakin
sempurna pembahasannya.
Dengan kata lain, sebagai sumber tashri‘ ketiga, obyek ijtihad itu
adalah segala sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam nash
al-Qur’an dan al-Sunnah serta masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai
landasan nash (mala nash fih).
Dalam
perspektif pemikiran hukum Islam (ushul al-fiqh) para ulama ushul menerapkan berbagai metode dalam melakukan ijtihad hukum. Metode-metode yang
diterapkan itu antara lain, adalah qiyas, istislah, istishab dan ‘urf.[35]
Dimana dalam penerapannya, metode-metode tersebut selalu didasarkan pada maqasid al-shari‘ah (tujuan
pensyari’atan hukum).
Selanjutnya,
dalam melihat metode ijtihad apa yang harus dikembanglanjutkan dan kemungkinan peranan maqasid al-shariah yang
lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan yang dilakukan harus bertitik tolak dari obyek ijtihad itu sendiri.
Dimana dalam penelaahan itu pada akhirnya ditemukan adanya dua macam
corak penalaran yang perlu dikembangkan dalam upaya penerapan maqasid al-shari‘ah. Dalam dua corak itu terdapat
metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan. Kedua corak itu
adalah corak penalaran ta‘lili, dan corak penalaran istislahi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Logika bertujuan
pertama, yaitu untuk menghasikan suatu pemikiran secara kontruktif sehingga
menghasilkan suatu pemikiran yang benar. Kedua, yaitu mempertajam pemikiran
agar melahirkan pemikiran yang benar dan menghindari suatu kesimpulan yang
salah. Ketiga, yaitu untuk berpikir secara sistematis dan metodologis sehingga
dapat menemukan problema-problema.
Penalaran
induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil
pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru
yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari
penalaran deduktif. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua
penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan
dilaksanakan dalam suatu wujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah
dan taat pada hukum-hukum logika.
Manfaat Logika
dibidang hukum, yaitu untuk menemukan masalah-masalah serta menyelesaikan
masalah-masalah dengan logika. Logika dapat membantu berpikir agar dapat
menghindari kesalahan atau kekeliruan. Berpikir logis sering menggunakan pola
pikir Deduktif yaitu suatu penetapan kesimpulan dari yang bersifat umum ke
khusus (Premis Mayor to Premis Minor). Namun terkadang logika juga menggunakan
pola pikir Induktif (Premis Minor to Premis Mayor/Khusus – Umum).
DAFTAR PUSTAKA
Shidarta, “Karakteristik Logika hukum Dalam Konteks
Keindonesiaan”,
(Mandar Maju, Bandung 2004)
B. Arief Shidarta, Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat
Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,
Mandar Maju, Bandung 2000
Shidarta, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah dibawakan pada
Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia
di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, (Medan, 2 - 5 Mei 2011),
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011,
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2002,
Philipus M. Hadjon
& Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2009,
Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993,
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu
Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum,
Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011,
D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum,
Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta,
PT. Refika Aditama, Bandung, 2008,
Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum
Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008,
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M.
Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008,
Murtada Mutahhari, Inn al-Din ‘ind Allah al-Islam, ter.
Ahmad Sobandi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996),
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta:
Gema Insani Press, 1998)
Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tashri‘ al-Islam i fim ala Nash fih (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972),
Muhammad Kamal al-Din Imam, Usul al-Fiqh
al-Islami (Iskandariyah: Dar al-Matbu‘ah al Jami‘iyah, t.t.),
Kemal A. Faruki, Islamic Jurisprudence (Delhi:
Adam Publishers and Distributors, 1994),
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an
Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, ter. A. Suaedy & Amirudin ar- Rany (Yogyakarta: LKiS, 2001),
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), , dan Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang
Ijtihad: antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998),
Muhammad Tholchah Hasan, Prospek Islam dalam
Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986),
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001),
J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, ter.
Machnun Husein (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994),
Abul A’la al-Maududi, Principles of Islam, ter.
Abdullah Suhaili (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975)
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid
al-Shari‘ah menurut al-Shatibi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996),
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum
Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 1999)
Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1998),
[1] Shidarta, “Karakteristik Logika hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”, (Mandar Maju, Bandung 2004), h.
486.
[2] B. Arief Shidarta,
Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi
Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu
Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000, h. 166-167.
[3] Shidarta, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah dibawakan pada
Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia
di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, (Medan, 2 - 5 Mei 2011), h. 3-4.
[6] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, h. 89.
[7] Ahmad
Rifai, Penemuan Hukum ..., h. 90.
[8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2002,
h. 85-87.
[9] Menurut P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh
Philipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antarnorma hukum, dapat dilakukan
langkah praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu:
a.
Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini
seringkali merupakan suatu paradoks dengan mempertahankan tidak ada konflik
norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam
konflik pragmatis atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis.
Suatu contoh yang lazim, yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum
privat dan hukum publik dengan berargumentasi bahwa 2 (dua) hukum tersebut
diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan
tersebut terdapat konflik norma.
b.
Penafsiran ulang (reinterpretation)
Dalam kaitan
penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan yang pertama adalah
reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi,
menginterpretasikan kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel
c.
Pembatalan (invalidation)
Ada 2 macam,
yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak normal dilakukan
misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan peraturan
pemerintah (PP) ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan
praktikal yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret.
Di Indonesia,
dalam praktik peradilan, dikenal dengan mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah
Tempo, hakim mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena
bertentangan dengan Undang-Undang Pers.
d.
Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan
pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misalnya dalam hal satu norma yang
unggul dalam overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai
ganti membatalkan norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi. Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri
Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2009, h. 31.
[10] Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, halaman 13.
[11] Ahmad
Rifai, Penemuan Hukum ...,hal.
74.
[12] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)..., h. 161.
[13] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu
Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009, h. 37.
[14] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum,
Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, h. 106-107.
[15] D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan
Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief
Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 11.
[16] Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum
Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, h.
81.
[17] Yudha
Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan
Konstruksi Hukum, Alumni,
Bandung, 2008, h. 7.
[18] Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri
Djatmiati,.... h. 26.
[19] Achmad Ali,..., h. 121.
[20] Achmad Ali,..., h. 115.
[21] Ahmad
Rifai...., h. 62-72.
[22] Ahmad
Rifai...,h. 74-85.
[23] Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M.
Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman 1.
[24]
Gregory Leyh, Hermeneutika
Hukum ....., h. 1-2.
[26] Murtada Mutahhari, Inn al-Din ‘ind Allah al-Islam, ter.
Ahmad Sobandi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 164; Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai
Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h.176.
[27] ‘Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tashri‘ al-Islam i fim ala Nash fih (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h.7; Muhammad Kamal al-Din Imam, Usul al-Fiqh al-Islami (Iskandariyah: Dar
al-Matbu‘ah al Jami‘iyah, t.t.),h. 309-310; Kemal A. Faruki, Islamic Jurisprudence (Delhi:
Adam Publishers and Distributors, 1994),h. 79; Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an
Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, ter. A. Suaedy & Amirudin ar- Rany (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 54; T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang:
PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 50, dan Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.192; M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: antara Tradisi dan
Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h.9.
[28] Muhammad Tholchah Hasan, Prospek Islam
dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), h.19.
[29] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2001), h. 99-107.
[30] J.N.D. Anderson, Islamic Law in The
Modern World, ter. Machnun Husein (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 3-11.
[31] Abul A’la al-Maududi, Principles of
Islam, ter. Abdullah Suhaili (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975), h. 140.
[32] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 2.
[35] Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional:
Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 1998), h. 196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar