Sabtu, 03 Januari 2015

KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DARI ASPEK LOGIKA HUKUM



KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DARI ASPEK LOGIKA HUKUM

Oleh:
                      Maizul Imran, S.HI                     


BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang Masalah.
Pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika. Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah. Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif. Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pembentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Dilihat dari putusan hakim dapat dilihat banyaknya putusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan, maupun putusan-putusan yang “kontroversial”. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya putusan hakim yang dibanding karena ketidakpuasan terhadap putusan hakim dan banyak juga hakim-hakim yang dilaporkan kepada Komisi Yudisial karena kelakuan hakim itu sendiri..
Putusan hakim juga harus memenuhi unsur nilai dasar kemanfaatan dalam putusan hakim karena putusan hakim selain memenuhi unsur kepastian hukum dan keadilan juga harus bermanfaat bagi seluruh pihak dan tidak berpihak kepada siapapun sehingga dapat dijadikan referensi oleh hakim lain untuk memutuskan suatu perkara dalam materi yang sama (yurisprudensi).
Banyak jalan pemikiran kita dipengaruhi oleh keyakinan, pola berpikir kelompok, kecenderungan pribadi, pergaulan dan sugesti. Juga banyak pikiran yang diungkapkan sebagai harapan emosi seperti caci maki, kata pujian atau pernyataan kekaguman. Ada juga pemikiran yang diungkapkan dengan argumen yang secara selintas kelihatan benar untuk memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan. Logika menyelidiki, menyaring dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar dan bertujuan mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan perorangan.
BAB II
PEMBAHASAN
KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DARI ASPEK LOGIKA HUKUM
A.      Logika Hukum (Legal Reasoning Theorie)
Logika hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum (manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Logika hukum dapat didefinisikan sebagai kegiatan berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek (multidimensional dan multifaset).[1]
Logika hukum sebagai kegiatan berpikir problematis tersistematis mempunyai ciri-ciri khas. Menurut Berman ciri khas Logika hukum adalah:
1.  Logika hukum berupaya mewujudkan konsistensi dalam aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Dasar berpikirnya adalah asas (keyakinan) bahwa hukum harus berlaku sama bagi semua orang yang termasuk dalam yuridiksinya. Kasus yang sama harus diberi putusan yang sama berdasarkan asas similia similibus (persamaan);
2.  Logika hukum berupaya memelihara kontinuitas dalam waktu (konsistensi historikal). Logika hukum akan mengacu pada aturan-aturan hukum yang sudah terbentuk sebelumnya dan putusan-putusan hukum terdahulu sehingga menjamin stabilitas dan prediktabili-tas;
3.  Dalam logika hukum terjadi penalaran dialektikal, yakni menimbang-nimbang klaim-klaim yang berlawan-an, baik dalam perdebatan pada pembentukan hukum maupun dalam proses mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan dan dalam proses negosiasi.[2]

Ada beberapa pakar yang menyebutkan langkah-langkah dalam logika hukum. Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah logika hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the applicable sources of law);
2. Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources of law);
3. Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheren, yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah aturan umum (synthesize the applicable rules of law into a coherent structure);
4. Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
5. Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to the facts).[3]

Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus antara lain:
1. Meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
2. Menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi, pengkualifikasian);
3. Menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
4. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan hukum itu;
5. Menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
6. Mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan penyelesaian;
7. Merumuskan (formulasi) penyelesaian.[4]

Sedangkan Shidarta menyebutkan enam langkah utama logika hukum, yaitu:
1. Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi;
2. Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus ter-sebut dengan sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
3. Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
4. Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
5. Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
6. Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan akhir.[5]

Dalam proses penerapan hukum secara secara teknis operasional dapat didekati dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui logika hukum induksi dan deduksi. Penanganan suatu perkara atau sengketa di pengadilan selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum.[6]
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.[7] Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2.  Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan;
3.  Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang  baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.[8]

Di samping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy).[9] Dalam hal menghadapi norma hukum yang kabur atau norma yang tidak jelas, hakim menafsirkan undang-undang untuk menemukan hukumnya. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah saran atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.[10]
Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia novit, dimana hakim dianggap tahu akan hukumnya.[11] Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau tidak jelas hukumnya. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas.[12] Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan hukum (rechtvinding).
Sudikno Mertokusumo mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konret (das sein) tertentu.[13]
Paul Scholten menyatakan yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning (penghalusan/pengkonkretan hukum).[14] Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan sebagainya).[15] Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).[16]
Dalam rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna hakim merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.[17]
Untuk dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini, seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi (interpretation methoden) dan  konstruksi hukum ini terdiri atas nalar analogi yang gandengannya (spiegelbeeld) a contrario, dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno Mertokusumo disebut penyempitan hukum.[18]
Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum.[19] Ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi hukum dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan buku-buku Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra. Sebaliknya, para penulis yang condong ke sistem Anglo Saxon, seperti Curzon, B. Arief Shidharta, dan Achmad Ali membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi hukum dan metode konstruksi hukum.[20]
Secara umum ada 11 (sebelas) macam metode interpretasi hukum antara lain sebagai berikut:
1.  Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa;
2.  Interpretasi historis, yaitu mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang itu dibentuk dulu;
3.  Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan, artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat ditafsir- kan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus selalu dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan lainnya;
4.  Interpretasi teleologis/sosiologis, yaitu pemaknaan suatu aturan hukum yang ditafsirkan berdasarkan tujuan pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang ingin dicapai dalam masyarakat;
5.  Interpertasi komparatif merupakan metode penafsiran dengan jalan memperbandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai makna suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
6.  Interpretasi futuristik/antisipatif merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitutum) dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum);
7.  Interpretasi restriktif, yaitu metode penafsiran yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu aturan;
8.  Interpretasi ekstensif, yaitu metode interpretasi yang membuat interpretasi melebihi batas-batas yang biasa dilakukan melalui interpretasi gramatikal;
9.  Interpretasi autentik, yakni dimana hakim tidak diperkenankan melalukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri;
10. Interpretasi interdisipliner, yakni dimana hakim akan melakukan penafsiran yang disandarkan pada harmoni-sasi logika yang bersumber pada asas-asas hukum lebih dari satu cabang kekhususan dalam disiplin ilmu hukum;
11. Interpretasi multidisipliner, yakni dimana hakim mem-butuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu lain untuk menjatuhkan suatu putusan yang seadil-adinya serta memberikan kepastian bagi para pencari keadilan.[21]

Dalam metode konstruksi hukum ada 4 (empat) metode yang digunakan oleh hakim pada saat melakukan penemuan hukum, yaitu:
1.  Argumentum Per Analogiam (analogi) merupakan metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum yang baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturan nya;
2.  Argumentum a Contrario, yaitu dimana hakim melaku-kan penemuan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya;
3. Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning) bertujuan untuk mengkonkretkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, pasif, serta sangat umum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu;
4.  Fiksi hukum merupakan metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personifikasi yang baru di hadapan kita.[22]

Di samping metode penemuan hukum oleh hakim berupa interpretasi hukum dan konstruksi hukum, perlu dikemukakan suatu metode penemuan hukum yang lain yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam praktik peradilan sehari-hari sebagai alternatif metode penemuan hukum baru oleh hakim yang berdasarkan pada interpretasi teks hukum. Metode penemuan hukum ini dinamakan hermeneutika hukum. Hermeneutika hukum sebenarnya bukan sesuatu yang berdiri sendiri, sebaliknya justru lebih tepat bila digunakan untuk memecahkan berbagai persoalan hermeneutis dan menemukan kesatuan hermeneutis masa lalu, dimana para ahli hukum dan teolog bertemu dengan mereka yang mengkaji ilmu-ilmu humaniora.[23]
Tujuan hermeneutika hukum di antaranya untuk menempat-kan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi yang lebih luas. Upaya mengkonsteks-tualisasikan teori hukum cara seperti ini mengisyaratkan bahwa hermeneutika mengandung manfaat tertentu bagi yurisprudensi (ilmu hukum). Upaya memandang problema hukum dari kacamata sejarah hukum, konstitusi linguistik hukum, dan implikasi politik dari cara pembacaan dan pemahaman hukum ini mencoba membangun interpretasi hukum yang benar dalam tradisi humanis.[24]
Dalam praktik peradilan tampak metode hermenutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali digunakan sebagai metode penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan begitu dominannya metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum yang sangat legalistik formal sebagai metode penemuan hukum yang telah mengakar cukup lama dalam sistem peradilan di Indonesia. Atau dapat pula sebagian besar hakim belum familiar dengan metode ini, sehingga jarang atau tidak menggunakannya dalam praktik peradilan. Padahal esensi hermeneutika hukum terletak pada pertimbangan triangle hukumnya, yaitu suatu metode menginterpretasikan teks hukum yang tidak semata-mata melihat teks saja semata, tetapi juga konteks hukum itu dilahirkan serta bagaimanakah kontekstualisasi atau penerapan hukumnya di masa kini dan masa mendatang.[25]
B.       FILSAFAT HUKUM ISLAM DARI ASPEK LOGIKA HUKUM.
Pembicaraan tentang pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam istilah usul  al-fiqh disebut ijtihad tidak bisa dipisahkan dengan perubahan-perubahan sosial (transformasi sosial) yang terjadi dan berlangsung dalam kehidupan masyarakat dari zaman ke zaman. Perubahan-perubahan tersebut terjadi baik karena adanya permasalahan-permasalahan yang baru sama sekali maupun karena permasalahan yang telah terjadi di masa yang lalu yang belum terselesaikan. Sehingga di sinilah peran hukum Islam untuk menunjukkan kerelevanan dan kefleksibelannya dalam setiap waktu dan di segala zaman.[26] Secara umum ijtihad itu dapat dikatakan sebagai suatu upaya berpikir serius secara optimal dan maksimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh kepastian jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.[27]
Ijtihad dalam pengertian demikian, adalah upaya untuk mengantisipasi tantangan-tantangan baru yang senantiasa muncul sebagai akibat sifat evolusioner kehidupan. Di sini, peran manusia sebagai khalifah Tuhan dituntut untuk senantiasa berpikir, tetapi bukan dalam pengertian berpikir bebas tanpa kontrol, ia harus berpikir dalam batas-batas bingkai Islam, yakni senantiasa terkait dengan makna al-Qur’an dan Sunnah.
Sekalipun demikian, antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat suatu interaksi yang tidak bisa dipisahkan. Ijtihad, baik langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial yang salah satu di antaranya diakibatkan oleh perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan hal yang perlu disadari adalah bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus senantiasa diberi arah oleh hukum, sehingga perubahan-perubahan sosial tersebut dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan bagi umat manusia, bukan malah sebaliknya.
Walaupun secara umum sebenarnya perubahan masyarakat atau perubahan sosial itu ada yang mempunyai akibat menguntungkan dan membawa pengaruh positif, yang berarti membawa kemajuan dan perkembangan (progress), tetapi ada juga perubahan sosial yang mempunyai akibat merugikan dan membawa pengaruh negatif, yang berarti membawa kemunduran (regress),[28] seperti banyak terjadi perubahan sosial yang menjadikan masyarakat tenggelam di dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil suatu sikap yang tepat terhadap keadaan yang baru itu.
Dalam sosiologi hukum, hukum dalam posisi di atas dituntut untuk dapat memainkan peranan ganda yang sangat penting. Pertama, hukum dapat dijadikan sebagai alat kontrol sosial(social control) terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Kedua, hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (social change), dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu sendiri.[29]
Tujuan yang demikian itu terdapat pada semua sistem hukum, termasuk dalam hal ini hukum Islam. Bahkan, karena hukum Islam didasarkan pada wahyu, hukum Islam itu mempunyai perbedaan dan keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan sistem hukum yang lainnya.[30] Sehingga tidak menuntut kemungkinan hukum Islam itu akan dijadikan sebagai pertimbangan dan rujukan dalam memecahkan masalah dan menetapkan hukum atas suatu masalah oleh masyarakat dunia, tidak hanya oleh mereka yang beragama Islam saja.
Sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, hukum Islam mempunyai tujuan yang jelas, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Tujuan perwujudan ini sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan antara manusia baik secara individu maupun kolektif (habl min al-nas), serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya (habl min al-‘alam). Di atas semuanya itu ditentukan juga oleh ada atau tidaknya keharmonisan hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah sebagai Dzat Pencipta (habl min Allah).[31]
Dalam rangka mewujudkan harmonisasi hubungan-hubungan tersebut di atas, Allah SWT. memberikan pedoman berupa aturan-aturan hukum. Aturan-aturan hukum tersebut berisi peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dalam masalah akidah dan ibadah terdiri dari nash (al-Qur’an dan Hadith) yang rinci, memiliki daya ikat dan validitas yang kuat bersifat qat‘i (pasti).[32]
Oleh karena terdapat pengaturan yang qat‘i, dalam hal ini manusia tidak diperbolehkan melakukan perubahan-perubahan dan pengembangan serta interpretasi lain selain yang dimaksud oleh Shari‘ sedikit pun. Dalam hal ini adalah bidang akidah, ibadah wajib (mahdah) serta bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan yang telah diatur secara rinci oleh nash. Dengan kata lain, dalam bidang ini tidak boleh ada campur tangan manusia sedikit pun, yang dengan sendirinya bidang-bidang tersebut bukanlah merupakan lapangan ijtihad.
Berbeda dengan masalah-masalah tersebut di atas, maka masalah mu’amalah atau social kemasyarakatan dalam arti yang luas, aturan-aturan hukumnya dinyatakan oleh Allah dalam bentuk garis-garis besarnya saja (mujmal) dan bersifat zhanni (tidak pasti). Betitik tolak dari garis-garis besar tersebut, manusia dengan potensi akal yang dianugerahkan Allah kepadanya, diberi “kebebasan” dan “keleluasaan” untuk mencari alternatif-alternatif pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa Islam itu sendiri.[33]
Salah satu tujuan diberikannya kebebasan kepada manusia untuk mencari alternative pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia itu sendiri. Kemaslahatan dan kebutuhan manusia tidaklah tetap, melainkan senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Dimana perubahanperubahan itu terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Oleh karena pengaturan sebagian besar masalah sosial kemasyarakatan dalam hidup dan kehidupan manusia adalah dengan nash-nash dalam bentuk pokok-pokok (ijmal)nya saja, maka masalah sosial kemasyarakatan ini menjadi lapangan ijtihad.[34] Dalam bidang ini, kita dapat melihat bagaimana dinamika hukum Islam dalam mengantisipasi dan mengatasi perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam berbagai bidang. Ini tidaklah berarti bahwa masalah sosial kemasyarakatan tidak mengandung dimensi ibadah. Akan tetapi, pembagian tersebut lebih ditujukan untuk memberikan penekanan terhadap masalah-masalah yang tidak menerima perubahan dan pengembangan dengan berbagai metode ijtihad dan pertimbangan yang diterapkan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstan, permanen, dan stabil, tidak berubah sepanjang masa, betapa pun kemajuan peradaban manusia. Sementara itu, peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabangnya mengalami perubahan-perubahan, berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Sehingga dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip hukum, dibarengi dengan terbuka lebarnya perubahan dan perkembangan cabang- cabangnya, terjaminlah modernisasi dan kemajuan ilmu pengetauan secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum Islam di bidang mu‘amalah      semakin bertambah materi hukumnya, semakin banyak perbendaharaannya dan semakin sempurna pembahasannya.
Dengan kata lain, sebagai sumber tashri‘ ketiga, obyek ijtihad itu adalah segala sesuatu yang tidak diatur secara tegas dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah serta masalah-masalah yang sama sekali tidak mempunyai landasan nash (mala nash fih).
Dalam perspektif pemikiran hukum Islam (ushul al-fiqh) para ulama ushul menerapkan berbagai metode dalam melakukan ijtihad hukum. Metode-metode yang diterapkan itu antara lain, adalah qiyas, istislah, istishab dan ‘urf.[35] Dimana dalam penerapannya, metode-metode tersebut selalu didasarkan pada maqasid al-shari‘ah (tujuan pensyari’atan hukum).
Selanjutnya, dalam melihat metode ijtihad apa yang harus dikembanglanjutkan dan kemungkinan peranan maqasid al-shariah yang lebih besar dalam metode tersebut, penelaahan yang dilakukan harus bertitik tolak dari obyek ijtihad itu sendiri. Dimana dalam penelaahan itu pada akhirnya ditemukan adanya dua macam corak penalaran yang perlu dikembangkan dalam upaya penerapan maqasid al-shari‘ah. Dalam dua corak itu terdapat metode-metode ijtihad yang perlu dikembangkan. Kedua corak itu adalah corak penalaran ta‘lili, dan corak penalaran istislahi.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Logika bertujuan pertama, yaitu untuk menghasikan suatu pemikiran secara kontruktif sehingga menghasilkan suatu pemikiran yang benar. Kedua, yaitu mempertajam pemikiran agar melahirkan pemikiran yang benar dan menghindari suatu kesimpulan yang salah. Ketiga, yaitu untuk berpikir secara sistematis dan metodologis sehingga dapat menemukan problema-problema.
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu wujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada hukum-hukum logika.
Manfaat Logika dibidang hukum, yaitu untuk menemukan masalah-masalah serta menyelesaikan masalah-masalah dengan logika. Logika dapat membantu berpikir agar dapat menghindari kesalahan atau kekeliruan. Berpikir logis sering menggunakan pola pikir Deduktif yaitu suatu penetapan kesimpulan dari yang bersifat umum ke khusus (Premis Mayor to Premis Minor). Namun terkadang logika juga menggunakan pola pikir Induktif (Premis Minor to Premis Mayor/Khusus – Umum).













DAFTAR PUSTAKA
Shidarta, “Karakteristik Logika hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, (Mandar Maju, Bandung 2004)
B. Arief Shidarta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000
Shidarta, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah dibawakan pada Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, (Medan, 2 - 5 Mei 2011),
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2002,
Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009,
Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993,
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011,
D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008,
Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008,
Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008,
Murtada  Mutahhari, Inn al-Din ‘ind Allah al-Islam, ter. Ahmad Sobandi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996),
Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)
Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tashri‘ al-Islam i  fim ala Nash fih (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972),
Muhammad Kamal al-Din Imam, Usul al-Fiqh al-Islami (Iskandariyah: Dar al-Matbuah al Jamiiyah, t.t.),
Kemal A. Faruki, Islamic Jurisprudence (Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994),
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, ter. A. Suaedy & Amirudin ar- Rany (Yogyakarta: LKiS, 2001),
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), , dan Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998),
Muhammad Tholchah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986),
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001),
J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, ter. Machnun Husein (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994),
Abul A’la al-Maududi, Principles of Islam, ter. Abdullah Suhaili (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975)
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996),
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999)
Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1998),


[1] Shidarta, “Karakteristik Logika hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, (Mandar Maju, Bandung 2004), h. 486.
[2]  B. Arief Shidarta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung 2000, h. 166-167.
[3] Shidarta, “Penemuan Hukum Melalui Putusan Hakim”, Makalah dibawakan pada Seminar Pemerkuatan Pemahaman Hak Asasi Manusia Untuk Hakim Seluruh Indonesia di Hotel Grand Angkasa, Komisi Yudisial, (Medan, 2 - 5 Mei 2011), h. 3-4.
[4] Shidarta, “Penemuan Hukum ... h. 4.
[5] Shidarta, “Penemuan Hukum ... h. 4.
[6] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 89.
[7]  Ahmad Rifai, Penemuan Hukum ..., h. 90.
[8] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, 2002, h. 85-87.
[9] Menurut P.W. Brouwer sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antarnorma hukum, dapat dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut, yaitu:
a.     Pengingkaran (disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradoks dengan mempertahankan tidak ada konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex specialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang lazim, yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat dan hukum publik dengan berargumentasi bahwa 2 (dua) hukum tersebut diterapkan secara terpisah meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan tersebut terdapat konflik norma.
b.     Penafsiran ulang (reinterpretation)
Dalam kaitan penerapan 3 asas preferensi hukum harus dibedakan yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi, menginterpretasikan kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel
c.     Pembatalan (invalidation)
Ada 2 macam, yaitu abstrak normal dan praktikal. Pembatalan abstrak normal dilakukan misalnya oleh suatu lembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan peraturan pemerintah (PP) ke bawah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Adapun pembatalan praktikal yaitu tidak menerapkan norma tersebut di dalam kasus konkret.
Di Indonesia, dalam praktik peradilan, dikenal dengan mengenyampingkan. Contoh dalam kasus Majalah Tempo, hakim mengenyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena bertentangan dengan Undang-Undang Pers. 
d.     Pemulihan (remedy)
Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misalnya dalam hal satu norma yang unggul dalam overrulednorm. Berkaitan dengan aspek ekonomi, maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, dengan cara memberikan kompensasi. Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009, h. 31.
[10] Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, halaman 13.
[11]  Ahmad Rifai, Penemuan Hukum ...,hal. 74.
[12] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar)..., h. 161.
[13] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009, h. 37.
[14] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, h. 106-107.
[15] D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung, 2008, h. 11.               
[16] Pontang Moerad, B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, h. 81.  
[17]  Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2008, h. 7.
[18] Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati,.... h. 26.
[19] Achmad Ali,..., h. 121.
[20] Achmad Ali,..., h. 115.
[21]  Ahmad Rifai...., h. 62-72.
[22]  Ahmad Rifai...,h. 74-85.  
[23] Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008, halaman 1.
[24]  Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum ....., h. 1-2.
[25]  Ahmad Rifai,...., h. 89. 
[26] Murtada  Mutahhari, Inn al-Din ‘ind Allah al-Islam, ter. Ahmad Sobandi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 164; Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h.176.
[27] Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tashri‘ al-Islam i  fim ala Nash fih (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), h.7; Muhammad Kamal al-Din Imam, Usul al-Fiqh al-Islami (Iskandariyah: Dar al-Matbuah al Jamiiyah, t.t.),h. 309-310; Kemal A. Faruki, Islamic Jurisprudence (Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1994),h. 79; Abdullahi Ahmed an-Na’im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights and International Law, ter. A. Suaedy & Amirudin ar- Rany (Yogyakarta: LKiS, 2001), h. 54; T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 50, dan Pengantar Ilmu Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.192; M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: antara Tradisi dan Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h.9.
[28] Muhammad Tholchah Hasan, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Jakarta: Bangun Prakarya, 1986), h.19.
[29] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 99-107.
[30] J.N.D. Anderson, Islamic Law in The Modern World, ter. Machnun Husein (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 3-11.
[31] Abul A’la al-Maududi, Principles of Islam, ter. Abdullah Suhaili (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975), h. 140.
[32] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid al-Shari‘ah menurut al-Shatibi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), h. 2.
[33] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.42.
[34] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 107.
[35] Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 1998), h. 196.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PEMILU PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Oleh: Maizul Imran, S.HI BAB I PENDAHULUAN A.     Latar belakang Pemilihan Umum. sebag...